ENERGYWORLD.co.id – Bersamaan dengan konferensi perubahan iklim di Paris (7/21) lalu, juga berlangsung The Global Landscape Forum 2015 yang diikuti oleh berbagai private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun perkebunan. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktif terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik.
WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiatif restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan.
Berdasarkan rilis yang diterima ENERGYWORLD, Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan, “Jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya.”
Inisiatif landscape ini disinyalir sebagai bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”. Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka.
“Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiatif ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri?” gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.
Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI.
“Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya,” tanyanya.
“Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam,” tambahnya.
WALHI mempertanyakan, bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi.
Terakhir WALHI juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (WAW)