EnergyWorld.co.id – Rencana PT Freeport Indonesia (Freeport) membangun smelter (pengolahan dan pemurnian konsentrat atau mineral) di Gresik, Jawa Timur, wajib ditolak. Harusnya smelter Freeport berdiri di Papua. Hal ini dikatakan ekonom senior UI Prof Emil Salim, kisruh perpanjangan kontrak Freeport yang berakhir pada 2021 yang menyeret sejumlah tokoh nasional, punya makna khusus. Dalam hal ini, pemerintah jangan sampai kecolongan lagi.
“Setiap kegiatan eksploitasi sumber daya alam kita, haruslah memberi kemakmuran bagi rakyat sekitar areal penambangan. Dan, kemakmuran itu bukan hanya untuk generasi sekarang, tapi juga untuk generasi yang akan datang,” kata Emil di Jakarta, Jumat (11/12/2015).
Artinya, lanjut mantan menteri kependudukan dan lingkungan hidup era Presiden Soeharto ini, industri tambang wajib membangun industri hilir yang memberikan nilai tambah. Yaitu membangun unit pengolahan dan pemurnian mineral mentah alias smelter. Untuk industri yang menggali sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, harus ada nilai tambah berupa adanya hilirisasi, yakni smelter. Dalam konteks Freeport, dia wajib bangun smelter,” tegas Emil.
Kata Emil, tembaga dan emas yang dikeruk Freeport dari perut bumi Papua, merupakan sumber kekayaan alam yang tidak diperbaharui. Pada akhirnya, pasca eksploitas Freeport hanya meninggalkan lubang galian serta kerusakan lingkungan. Untuk itu, Freeport wajib membangun smelter. “Jika nanti tembaga dan emasnya habis yang bersisa di Papua hanya tinggal lubang,” paparnya.
Terkait kerjasama Freeport dengan Newmont untuk membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, dia tidak sepakat. Seharusnya, Freeport membangun smelter di Papua, bukan di Gresik. “Harus ada value added dari kegiatan Freeport. Jawabannya adalah hilirisasi, makanya jangan bangun smelter di Gresik tapi di Papua,” kata Emil. Kalau Freeport ngotot memilih Gresik, menurut Emil, tidak sejalan dengan prinsip keadilan serta pelanggaran terhadap konstitusi.
“Jelaslah Freeport harus bangun hilirisasi di Papua. Karena dampak dari nilai tambah itu harus untuk masyarakat di sekitar tambang,” tegas Emil.
Ditepi lain Ketua Asosiasi Smelter R.Sukhyar memandang bahwa semua harus diteliti kalau menemenuhi atau tidak memenuhi dari sana kita melihatnya,
“Saya kira saya tidak mau berbicara sangat detail justifikasi yang ingin disampaikan biarkan saja dilihat saja ada AMDAL dan sebagainya kalau memang bagus ya, memang haruus diingat bahwa ini kan sebenarnya ekspansi produksi dari satu juta menjadi dua juta ya kan, dan akan lebih cepat membangun disanakan?”tanya R Sukhyar dalam acara Indonesia Mining Conference, Rabu, 16 Desember 2015 di Hotel Shangrila Jakarta.
Ia juga menjelaskan tidak mungkin tidak melakukan AMDAL pasti melakukan AMDAL. Kalau kita membangun di Papau itu sudah menjadi kebijakan tetapi tidak dalam waktu dekat nanti setelah ada pasokan dari Freeport produksinya tinggi kemudian ada Newmont kemudian ada pemegang Kontrak Karya lainnya, jelas mantan Dirjen Minerba erea Presuden SBY ini.
Sukhyar juga menilai bahwa jika akan bisa memasok 800 ribu konsentrat smelter yang disana, oleh sebab itu yang dilakukan pemerintah saat ini adalah industri-industri apa yang akan mendampingi smelter di Papua karena apa tembaga yang dihasilkan itu akan juga sebagai basis tembaga, kemudian produk seperti asam sulfat slecknya akan dimanfaatkan oleh petrokimia dan industry semen, maka industri-industri tadi akan dibangun di Papua dan manakala rencana itu demikian pemerintah harus mengatur, “Kita mengawal ini secara ketat dan bukan terpisah industri tetapi dalam suatu kawasan mungkin di selatan didekat Timika atau di dekat Freeport itu sendiri,”jelasnya.(edi supriadi)