Home Energy BBM Mempertanyakan Pungutan Dana Energi yang Menyertai Penurunan Harga BBM

Mempertanyakan Pungutan Dana Energi yang Menyertai Penurunan Harga BBM

1217
0
"Pemerintah mulai memupuk Dana Ketahanan Energi. Jadi tadi diputuskan Dana Ketahanan Energi dari Premium kita pungut Rp 200 per liter, dari Solar Rp 300 per liter," kata Sudirman dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Rabu (23/12).

ENERGYWORLD.co.id – Pemerintah secara resmi telah mengumumkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) per 5 Januari 2015. Harga premium menjadi Rp 7.150 per liter dan solar menjadi Rp 5.950 per liter. Sebelumnya, harga premium Rp 7.400 per liter, sedangkan harga solar Rp 6.700 per liter (23/12).

Telepas dari hiruk pikuk berita panas turunnya harga BBM tersebut, pengamat energy Ferdinand Hutahaean mengingatkan pentingnya untuk mempertanyakan adanya pungutan dana energi oleh pemerintah sebesar Rp.200/ltr yang menyertai kebijakan penurunan harga BBM tersebut.

“Ini bentuk ketidakadilan pemerintah kepada masyarakat karena dilakukan di tengah lemahnya daya beli masyarakat. Mestinya penurunan harga lebih serius agar lebih mendorong daya beli masyarakat dan tidak mengadakan pungutan seperti yang diumumkan,” ujar Ferdinand mempertanyakan.

Mengapa pemerintah dikatakan tidak adil? Menurut Ferdinand, hal ini karena ketika harga minyak mentah tinggi, pemerintah justru tidak memungut dana energi dari para kontraktor kerja sama di sektor migas, termasuk pemerintah tidak menyisihkan bagian hasilnya dari harga minyak mentah sebagai dana energi. Lalu kenapa justru sekarang ketika harga minyak rendah malah publik yang dibebankan dengan dana energi?

Meskipun dasar hukumnya memang memungkinkan adanya pungutan itu yaitu UU No.30 thn 2007 tentang energi. Tapi menurut Ferdinand ada beberapa hal yang patut dipertanyakan dan dijelaskan.

Pertama yang paling jadi pertanyaan sekarang adalah momennya yang belum tepat. Artinya belum waktunya rakyat dibebani pungutan baru yang malah lebih besar jadinya dari jumlah penurunan. Premium contohnya akhirnya hanya turun Rp.150/liter sementara pemerintah dapat Rp.200/ltr di luar keuntungan yang didapat pertamina dari harga keekonomian. Ini namanya tidak berkeadilan sosial antara pemerintah dengan rakyatnya.

Kedua, mekanisme penampungan dana ini seperti apa? Disimpan oleh siapa? Di rekening mana? Peruntukannya bagaimana? Inikan harus jelas dipublikasikan.

Ketiga, dana ini juga disebut sebagai dana stabilisasi jika minyak naik, apakah BBM tidak akan naik jika terjadi kenaikan harga minyak dunia hinga batasan kenaikan Rp.200/ltr BBM? Jika dana stabilisasi, dasar hukumnya apa? Ini juga belum jelas.

Keempat, harus jelas juga disampaikan oleh pemerintah dari Rp.200/ltr itu berapa yang untuk dana energy, berapa yang untuk dana stabilisasi harga BBM? Tidak boleh tidak jelas, karena nanti bisa-bisa pembangunan energi baru tidak ada sama sekali karena ada alasan dana dipakai untuk stsbilisasi atau sebaliknya stabilisasi tidak jalan dengan alasan dananya habis untuk energi baru. Intinya harus clear dan tidak boleh dizona abu-abu karena rentan penyimpangan.

Kelima, pemerintah juga harus mengumumkan berapa total dana yang diterima dari pungutan ini selambat lambatnya setiap 3 bulan berbarengan dengan periode evaluasi harga BBM. Ini harus dilakukan agar publik mengetahui berapa besar publik sudah mensubsidi pemerintah.

Terkait dengan masalah terakhir ini, Ferdinand menyarakan agar dana energi tersebut diserahkan pada investasi langsung yang dikelola Pertamina untuk pembangunan SPBG dan Geothermal atau panas bumi. (WAW)

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.