EnergyWorld.co.id – Belum lagi rakyat menikmati angin surga yang diberikan oleh pemerintah, ternyata terselip kebijakan perihal pemungutan dana dari penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang kabarnya akan digunakan sebagai dana ketahanan energi
Menurut pengamat energi, Yusri Usman, kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut mengandung kontroversi alias melawan peraturan yang ada.
“Ketentuan pasal 30 UU nomor 30 tahun 2007, mengatur bahwa penelitian dan pengembangan teknologi penyedian dan pemanfaatan energi didanai oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui APBN / ABPD, serta kalangan swasta. Sehingga tidak seenaknya saja Menteri ESDM menggunakan pasal tersebut dengan memungut dana masyarakat dari harga penjualan BBM,” kata Yusri, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (26/12) kepada energyworld.co.id
Seharusnya menurut Yusri, hal tersebut harus melalui persetujuan DPR dan DPRD. Terlebih menurutnya, belum ada peraturan pemerintah (PP) yang dibuat untuk mengatur kegiatan tersebut, masuk dalam ranah penerimaan negara bukan pajak ( BNPB.)
Yusri pun menyayangkan penjelasan Andang Bahtiar, sebagai ketua tim percepatan eksplorasi Kementerian ESDM yang dinilainya membela Menteri ESDM, Sudirman Said.
“Soal dana ketahanan energi lebih aneh lagi, menggunakan pasal 27 ayat 5 dan 6. Menurut saya dimaksud oleh pasal 27 itu bukan pungutan dari penjualan BBM tapi penyisihan penerimaan negara dari hasil penjualan hasil eksploitasi/produksi migas agar sebagian dimanfaatkan untuk kegiatan ekaplorasi dan sebagainya. Jadi semacampetroleum fund. Sedangkan pungutan dana ketahanan energi itu lebih mirip carbon tax. Tidak bisa pasal 27 UU 30 dijadikan sebagai dasar hukumnya carbon tax. Petroleum fundjuga tidak bisa dipakai utk pengembangan energi non migas. Untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) bukan dari petroleum fund, tapi daripricing policy terhadap EBTKE itu sendiri,” jelas Yusri.
Masih menurut Yusri, soal penentuan harga BBM ini pemerintah juga terkesan pemerintah tidak taat terhadap aturan yang ada.
“Ada Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 yang di tanda tangani oleh Presiden Jokowi pada akhir Desember 2014 dan Permen ESDM nomor 39 tahun 2014 yang direvisi dengan Permen ESDM nomor 4 tahun 2015 yang di tanda tangani oleh Sudirman Said, pada awal Januari 2015. Seharusnya setiap bulan harga BBM ditentukan berdasarkan rata-rata harga minyak MOPS (Mean of Plats Singapore) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang dihitung mulai tanggal 25 sampai dengan tanggal 24 bulan berikutnya,” papar Yusri.
Akibat kebijakan yang dibuat pemerintah tanpa mempertimbangkan dampak luasnya tersebut, menurut Yusri justru memperlemah daya beli masyarakat. Bahkan menyumbang proses perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional yang kemudian ditetapkan pemerintah bahwa penentuan harga BBM dilakukan per 6 bulan juga tidak mempunyai payung hukumnya.
“Jadi semakin lengkaplah penderitaan rakyat akibat kebijakan pemerintah di bidang energi ini. Padahal banyak hal ketidak efisiensi yang dilakukan oleh Pertamina yang belum bisa dilihat keberhasilannya dalam memperbaiki menyangkut hal tingkat loses yang tinggi pada saat transportasi minyak dari hulu hingga hilirnya dan ketidakefisienan semua kilang-kilang Pertamina,” tandasnya. (AY/RNZ)