ENERGYWORLD.co.id – Di tengah suasana Jakarta yang mencekam akibat teror bom dan baku tempat antara aparat keamanan dengan pelaku teror bom di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Januari 2016, PT Freeport Indonesia (PT FI) mengajukan penawaran saham divestasi sebesar 10,64 %, atau sebesar US$1,7 miliar dari total 100% saham senilai US$ 16,2 miliar.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies Budi Santoso menilai, harga saham yang ditawarkan PT Freeport Indonesia sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23,6 triliun (dalam kurs rupiah Rp 14.000 per US$ 1) dinilai terlalu mahal mengingat umur kontrak karya yang dimiliki hanya tersisa lima tahun dan aset yang sudah berusia 40 tahun.
Menurutnya, nilai saham Freeport tidak mungkin sampai US$ 16,2 miliar. Apalagi Freeport memasukkan nilai cadangan emas dan tembaga di tambang Grasberg, Papua yang notebene bukan milik anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan asal Amerika Serikat.
“Kalau pemerintah membeli dengan harga segitu dimana Freeport memasukan cadangan emas dan tembaga dalam portofolionya berarti pemerintah membeli barang miliknya sendiri,” kata Budi kepada media, Jumat, 15 Januari 2016, seperti yang dikutip oleh energitoday.com.
Menurut Budi, pemerintah harus tegas terhadap Freeport, khususnya dalam menilai saham yang diajukan perusahaan itu. Pasalnya, dalam kontrak karya disebutkan produksi tambang belum menjadi milik perusahaan pemegang kontrak hingga kewajiban kepada negara dalam bentuk royalti dipenuhi. Dengan begitu Freeport tidak bisa memasukkan proyeksi cadangan emas dan tembaga yang akan habis pada 2041 dalam nilai saham perusahaan.
“Aset-aset Freeport yang umurnya sudah 40 tahun lebih juga tidak mungkin nilai bukunya masih tinggi,” kata Budi.
Freeport sebelumnya telah mengirim surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait divestasi tahap pertama sebesar 10,64% saham. Freeport dalam suratnya mengajukan harga US$ 1,7 miliar dari total 100% saham senilai US$ 16,2 miliar.
Penawaran harga divestasi Freeport seharusnya diserahkan ke pemerintah pada 14 Oktober lalu, untuk kemudian dievaluasi kewajaran harganya selama maksimal 90 hari. PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara yang mewajibkan Freeport melepas sahamnya sebesar 30% ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (underground mining).
Hingga 2020 PTFI masih harus melepas 20,64% sahamnya, mengingat pemerintah sampai saat ini baru memiliki 9,36% saham. Untuk tahap awal, Freeport hanya diwajibkan melepas 10,64 % saham pada 2016. Dengan demikian, kepemilikan nasional menjadi 20%. Sementara 10% sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020.
Pengajuan penawaran saham ini seharusnya diserahkan sejak Oktober 2015 lalu, namun Freeport menyerahkannya pada tanggal terakhir deadline, yakni 14 Januari, di mana tepat pada saat itu terjadi teror bom di Jakarta.
Freeport adalah masalah krusial Indonesia menyangkaut hajat hidup 250 juta rakyat Indonesia. Dalam satu analisa, seandainya kekayaan Freeport yang mengeruk Sumber Daya Alam di Papua hasilnya sebagian besar untuk Indonesia maka bukan saja rakyat Papua kaya raya juga rakyat Indonesia akan sekolah gratis sampai perguruan tinggi.
DPR RI juga sekarang sedang gigih mengungkap skandal Freeport dan sedang digulirkan Pansus Freeport untuk mengungkap semua. Jangan sampai Teror Bom di Jakarta ini menjadi pengalihan isu.(MAIA SAHIRA)