ENERGYWORLD.co.id – Setelah merebak heboh berbagai kasus di sektor energi kita dimulai menjelang akhir tahun 2014 dan berlanjut terus sampai dengan tahun 2016 yaitu ” kasus pembubaran Petral, program pembangunan listrik nasional 35.000 MW, kasus PT Freeport Indonesia yang penuh kontrovesial dan terakhir merebak kisruh status di laut atau di darat rencana pembangunan kilang LNG blok Masela”, yang semua kasus tersebut semuanya telah membentuk kubu pro dan kontra baik di level eksekutif tingkat pusat dan daerah, legislatif dan apalagi di kelompok masyarakat.
Terjadi saling klaim bahwa masing-masing kelompok menyatakan pendapat dia paling benar, dan begitu juga sebaliknya sehingga memunculkan stigma kuat adanya “perang antar geng atau pecah kongsi sahabat lama yang saling balas dendam saat berkuasa kembali ” ataupun disebut petarungan antara kelompok ” neolib vs kerakyatan “.
Akibatnya publik sudah sangat biasa jika saat ini melihat sebuah proses pembelajaran yang buruk bagi rakyat sebagai totonan setiap hari di media elektronik, cetak dan media sosial. Kasus saling bantah dan saling serang antar Menteri dalam Pemerintahan JKW JK , seperti antara Rizal Ramli dgn Sudirman Said , Jonan dgn Rini dlm kasus Kereta api cepat dan Menteri PDT dengan Direksi Garuda, Menpora dalam kasus “pembekuan aktifitas PSSI dan terakhir merebak keras kasus blok Masela yang dipicu pernyataan keras yang terkesan penuh emosional oleh Sudirman Said pada tgl 27 Febuari 2016 dalam acara dialog “Ketahanan Energi untuk Apalagi” yang antara lain pernyataan diumbar di depan para insan pers dan dilanjuti rilis resmi dari Kementerian ESDM adalah “di Pemerintahan ada pejabat busuk dan pura pura bekerja. Sudirman Said minta pejabat model begini segera menghentikan aksinya, dan kalau tidak menghentikan aksinya, dia yakin aksi pejabat busuk dan penipu tersebut akan segera terbongkar. Hal ini juga ditujukan kepada pihak yang pura pura bekerja untuk rakyat tapi punya kepentingan”.
Ada 2 hal pertanyaan besar publik mengapa tiba-tiba Sudirman Said bereaksi keras pada tgl 27 Febuari 2016 dan pertanyaan berikutnya apakah negara kita ini masih ada Pemimpinnya alias Komandannya atau juga ada Pemimpinnya tetapi lemah alias tak berdaya ditekan dari kiri kanan dan atas bawah. Itulah pertanyaan panjang anak negeri ini dan entah sampai kapan akan mendapat jawabanya.
Kalau melihat 2 kasus yg dilontarkan oleh Sudirman Said dengan modus yang sama yaitu kasus “Papa minta saham” di PT Freeport Indonesia dan ” Joempa kawan lama di Blok Masela” memperlihatkan Sudirman Said menerapkan statergi dalam dunia sepak bola yang dikenal bahwa “pertanahanan yang baik adalah terus melakukan penyerangan”.
Padahal kalau kita melihat secara jernih kasus “papa minta saham” yang diledakkan pada medio November 2015 , akan tetapi faktanya Menteri ESDM telah membuat surat tgl 7 Oktober 2015 yang ditafsirkan banyak pihak telah memberikan kepastian kepada PT Freeport Indonesia adanya kepastian beroperasi pasca berakhir kontrak karya pada Desember 2021 dan pada tgl 29 juli 2015. Dirjen Minerba 2015 telah memberikan izin eksport konsentrat kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) dan bahkan terkahir pada 12 Febuari 2016 telah memberikan kembali izin ekport konsentrat sebesar 1 juta metrik ton tanpa kewajiban memberikan sisa jaminan keseriusan sebesar USD 400 juta untuk pembangunan smelter (progres 11, 5 % dalam bentuk dokumen Amdal) dan melanggar MOU yang dibuat tgl 24 juli 2014 serta melanggar Undang Undang Minerba nmr 4 thn 2009.
Nyatanya Dirjen Minerba pada tgl 31 Agustus 2015 telah membuat surat ke PT Freeport Indonesia yang secara tidak menyatakan bahwa PT Freeport Iindonesia tidak mempunyai itikad baik terhadap isi UU Minerba nmr 4 tahun 2099 , dan pada tgl 26 Febuari 2016 telah beredar luas di kalangan wartawan surat perjanjian jasa konsultasi antara perusahaan Tridaya Advisory yang dikomandani oleh Erry Riyana Hardjapamekas dengan KKKS PSC Inpex Shell di blok Masela yang ditandatangani pada 25 Agustus 2015 menghebohkan jagat minyak dan gas (migas) nasional.
Apalagi dari laporan saran pertimbangan yang dibuat oleh Tridaya Advisory, pada 11 Desember 2015 kepada Inpex Shell Blok Masela yang menyarankan dua hal; Pertama,”Inpex dan Shell agar berkomunikasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM”. Kedua, secara tegas menyatakan bahwa “Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya adalah pihak yang diluar rantai otoritas terkait pembangunan Kilang Masela”.
Seperti diketahui, Peraturan Presiden nmr 10 tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi 10 Januari 2015 bahwa secara struktural Kementerian ESDM berada dibawah koordinasi Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya yg berwenang dan bertanggung jawab melakukan Koordinasi, singkronisasi dan Pengendalian kepada 4 kementrian dan khususnya Kementerian ESDM sesuai perintah undang undang. Selain mengundang tanya besar bagi publik mengapa rekomendasi yang dibuat diduga melibatkan Kuntoro Mangkusubroto (mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era Presiden Megawati Seokarnoputri dan Ketua Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) juga bertentangan bahkan melanggar dengan ketentuan Peraturan yang berlaku, khususnya hubungan antar kementerian.
Sehingga akan menjadi persoalan serius untuk bisa dibawa keranah hukum untuk dugaan perbuatan jahat oleh mantan pejabat negara dalam dokumen konsultasi yang dikeluarkan oleh PT Tridaya Advisory untuk KKKS3 Inpex Masela untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pejabat negara, padahal jasa konsultasi antara PT Tridaya Advisory yang telah dibayarkan oleh Inpex Masela akan juga dibayar oleh uang rakyat/Negara dalam mekanismen “cost recovery ” apabila POD Blok Masela sudah diteken oleh Menteri ESDM sesuai Peraturan Presiden nmr 9 tahun 2013.
Menurut saya sikap kepanikan Sudirman Said dalam menyikapi bocornya dokumen tgl 11 Desember 2015 yang sangat berimplikasi luas secara hukum yang menyebabkan dia harus membuat reaksi secara berlebihan dengan lebih awal disajikan pencitraan sebagai tokoh “malaikat” yang sangat bersih dalam memperbaiki sektor energi di negeri ini.
Jadi publik menilai langkah pejabat pejabat yang mengumbar dan menuding kelompok lain yang punya kepentingan dan pura-pura kerja, secara tidak langsung sesungguhnya tuduhan tersebut lebih tepat dialamatkan ke diri kita sendiri. Seperti istilah “satu telunjuk diarahkan ke orang lain, seketika juga 4 jari lain telah menunjuk diri kita sendiri”. Padahal menurut saya soal blok Masela bisa diselesaikan dengan mudah demi kepentingan nasional untuk mensejahterakan rakyat.
Sebaiknya Pemerintah bisa memerintahkan ke SKKMigas dengan menyetujui saja POD yang sudah ada dengan petunjuk untuk melakukan studi FEED ( Front End Enginering Design ) untuk skema LNG dengan konsep di laut ataupun di darat yang pada akhirnya sebagai keputusan final dalam bentuk FID ( Final Invesment Decision ) akan ditentukan dari hasil FEED dengan mempertimbangkan harga gas pada saat thn 2018 dan faktor ekonomi yang bermanfaat untuk negara dan penduduk di sekitar tapak proyek sesuai perintah konstitusi ( Pancasila, UUD 1945 dan NKRI ).
Maka segeralah hentikan semua polimik yg tidak perlu alias ” pepesan kosong ” yg dapat merugikan bangsa kita sendiri.
Dari semua kekisruhan soal blok Masela ini menurut hemat penulis, lebih berbahaya bagi negara apabila ada pejabat negara yang selalu berbicara untuk kepentingan rakyat tetapi kebijakannya sungguh sunguh bekerja untuk kepentingan asing dan cukong-cukong di belakangnya daripada para pejabat diduga busuk yang selalu pura pura kerja. Jadi, berhentilah bersandiwara. Jangan menebar fitnah untuk menyembunyikan niat dan perbuatan jahat karena rakyat sangat cerdas membaca perilaku dan tingkah elit dan pemimpin Indonesia. Anak negeri ini akan mencatat sebagai sejarah yang buruk.
Malah sebaiknya kita fokus mengawal revisi UU Minerba dan Undang Undang Migas yg sedang bergulir di DPR RI komisi 7 agar diperoleh hasil sesuai cita cita Proklamasi. Merdeka
*) Jakarta 2 Maret 2016. Ditulis oleh Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) untuk ENERGIWORLD.co.id