ENERGYWORLD – Seperti diketahui, banyak kasus korupsi luar biasa yang terungkap sejak SKK Migas yang sebelumnya bernama BP Migas, ini berdiri. Adapun kasus korupsi yang menonjol adalah kasus penjualan kondensat bagian negara oleh BPMigas / SKKMigas kepada TPPI yang terdapat potensi kerugian negara mencapai 37 triliun. Serta kasus Kernel Oil oleh Rudi Rubiandini dalam tender kondesat dan minyak mentah pada agustus 2013, silam.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, dalam pertemuan bersama segenap komponen masyarakat peduli kedaulatan energi di Dermaga Cafe, tepi Sungai Musi, Palembang, 12 Maret 2016 lalu.
“Nah bagaimana juga dengan keterangan Barullah Akbar dari BPK RI pada akhir tahun 2013 yang mengeluarkan pernyataan di beberapa media bahwa ada dugaan korupsi sewa wisma Mulia untuk kantor SKK Migas pada Djoko Chandra yang saat ini buron dalam kasus hukum Bank Bali dan FSO Joko Tole yang katanya kerugian negaranya bisa lebih besar dari kasus Century,” ungkap Yusri.
Bahkan belakangan kata Yusri, ditahun 2015 terungkap adanya penjualan minyak bagian negara di blok Cepu kepada kilang swasta PT TWU tanpa proses tender yang dilakukan oleh Exxon Mobil Cepu berdasarkan kuasa jual oleh BP Migas tahun 2011. Hal-hal ini lah yang menimbulkan pertanyaan besar, mengapa penegak hukum masih tidak menyidik kasus ini?
“Sementara komsumsi BBM kita hari ini sudah mencapai 1,6 juta BOPD , sehingga kita mengimport minyak mentah. Dan produk BBM sudah mencapai sekitar 900.000 BOPD. Sungguh ironis memang karena dulunya negara kita sebagai pengeksport migas dan sekarang rakus importnya. Kalau sudah begini untuk apalagi dipertahankan lembaga SKK Migas sebab keberadaannya bukan membantu negara, namun malah menjadi beban,” tegas Yusri.
Hadir dalam sarasehan tersebut beberapa tokoh energi dan ekonomi seperti Enny Sri Hartati dari INDEF yang menegaskan jangan sampai anugerah dari Tuhan berupa sumber daya alam yang melimpah akan menjadikan kutukan bagi bangsa kita.
Dan dalam kesempatan tersebut, Salamudin Daeng dari Yayasan Pendidikan Bung Karno dan Cholik, mengatakan ada banyak penyimpangan negara dalam memberikan izin konsesi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam saat ini. Dimana hasil kalkulasinya dari seluruh izin-izin untuk konsesi migas, tambang, mineral, perkebunan dan kehutanan serta perikanan dan kawasan industri sudah melebihi luasan seluruh darat wilayah NKRI.
“Jadi kedepannya, jangan heran bahwa rakyat kita menyewa kepada investor asing utk bisa hidup dinegaranya sendiri,” jelas Salamudin Daeng.
Sementara itu Agung Marsudi Susanto GMPK ( Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi ) Riau berkata keras soal status kedepan kontrak blok Rokan oleh Chevron di Riau. Bahwa menurutnya, setiap pengelolaan blok migas dan tambang mineral diatas 50 tahun adalah sama saja dengan invasi suatu negara melalui korporasi mereka kepada negara kita.
Negara Nombok
Dari pertemuan sejumlah tokoh yang peduli terhadap kedaulatan energi nasional, belum lama di Dermaga Cafe, tepi Sungai Musi, Palembang, pada 12 Maret 2016 lalu, terungkap bahwa negara di buat nombok oleh SKK Migas.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. kata Yusri, sejak diberlakukan UU Migas nomor 22 tahun 2001 ternyata lifting migas kita turun drastis, dari yang awalnya sempat mencapai 1, 6 juta BOPD, saat ini malah tidak mampu mencapai liftingnya 800,000 BOPD.
“Anehnya, dari informasi yang dirilis terakhir oleh kepala SKK Migas pada 5 Januari 2016, menyebutkan, dalam realisasi anggarannya untuk tahun 2015 sudah membayar semuanya cost recovery untuk seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar USD 13,9 miliar dan hanya mendapat revenue berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar USD 12,86 miliar. Akibatnya kata Yusri, negara menombok biaya sebesar USD 1,04 miliar kepada KKKS,” jelas Yusri, Senin (14/3).
Sementara itu Ferdinand Hutahean dari Energy Watch Indonesia (EWI) bersikap keras yang melihat bahwa saat ini banyak para pemimpin bangsa ini yang sesat pikir.
“Kecuali Pak Habibie dan Bung Karno yang sangat komit dan konsekuen terhadap idiologi Trisakti dan Nawacitanya. Dan kalau melihat dari Sabang sampai Marauke bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi proyek migas dan tambang, taraf hidup mereka sangat tidak signifikan,” tegas Ferdinand.(RZ/AY)