ENERGYWORLD.co.id – Sejumlah aktivis kampus yang peduli kedaulatan energi menamakan diri Aktivis Mahasiswa Jogja Tergabung Tim Pukul Mundur Freeport gelar Diskusi Publik dengan tajuk “Pukul Mundur Freeport (Edisi ke-2)”,acara di gelar di Teaterikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Jum’at 18 Maret 2016,
adalah tema kali ini Strategi Hukum dan Politik dalam Rangka Nasionalisasi Freeport untuk Kesejahteraan Rakyat. Berikut adalah rangkuman yang didapat dalam event itu:
Dalam Edisi ke-2 ini merupakan komitmen bagi tim Pukul Mundur Freeport untuk melakukan gerakan jangka panjang dalam rangka Nasionalisasi Freeport. “Tim memusatkan pada aspek hukum, khususnya UU Minerba/2009. Memberikan penegasan kepada pemerintah terkait dengan perubahan Kontrak Karya ke Ijin Usaha Penambangan dan pembangunan smelter serta pemurnian konsentrat 100% hasil tambang di dalam negeri (jatah waktu 5 tahun sejak diundangkan, 2014) yang sampai saat ini belum dilaksanakan.
Selain itu juga ditegaskan Abdullah bahwa Tim Pukul Mundur Freeport mendukung pembangunan smelter di Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Hal ini terkait erat dengan kemajuan dan pembangunan Papua serta sebagai bentuk “bayaran” atas dikeruknya emas Papua selama puluhan Tahun. Jangan sampai terjadi “mau manisnya tak mau pahitnya, mau emasnya tak mau pembangunannya”
Tim Pukul Mundur Freeport (dengan merujuk hasil diskusi edisi 1) mendorong didirikannya Perguruan Tinggi Negeri khusus Pertambangan. “Hal ini untuk melakukan emansipasi terhadap sumber daya manusia di Papua dalam rangka persiapan setelah Freeport dinasionalisasi tahun 2021,”tegasnya
Hal yang sama disampaikan Dr. Ahmad Redi, S.H, M.H. Dosen FH Universitas Tarumanegara yang menilai momentum berahirnya Kontrak Karya Freeport Indonesia pada tahun 2021 harus dimanfaatkan oleh Republik Indonesia dengan membuat regulasi yang menguntungkan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Pemerintah harus memiliki sikap yang tegas terkait banyaknya ketidak patuhan Freeport Indonesia kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, contoh paling jelas adalah ketidak patuhan Freeport terhadap UU Minerba/2009 dalam hal semelter. Ketidak patuhan paling mencolok adalah tidak dilaksanakannya pasal 170, bahkan dalam kontrak karya disebutkan kewajiban membangun smelter apabila memenuhi syarat keekonomian di dalam negeri,” jelas Ahmad.
Namun Ahmad d menilai pada kenyataanya, UU Minerba yang disahkan pada 2009 dengan memberi tenggang waktu 5 tahun (2014), PT Freeport harus melakukan proses pemurnian di dalam negeri. Fakta lebih miris lagi adalah, jangankan melakukan pemurnian di dalam negeri secara menyeluruh, smelternya saja belum dibangun sampai saat ini, serunya.
Ahmad juga mengatakan bahwa Strategi dan Taktik Nasionalisasi dengan menunggu Kontrak Karya Habis. Secara procedural, Perpanjangan KK menjadi IUP yaitu sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) PP No. 23/2010, diatur bahwa KK yang belum memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP perpanjangan tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PP No.23/2010 mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan.
“Perpanjangan KK menjadi IUP diberikan oleh Menteri ESDM (Pasal 112B PP No.24 Tahun 2012). Untuk memperoleh IUP, pemegang KK harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM paling cepat dalam jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sebelum KK berakhir (Pasal 112B ayat (2) PP No. 24 Tahun 2012),” paparnya.
Harusnya masih kata Ahmad berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan yang kuat untuk tidak memperpanjang KK PT Freeport dengan IUP. Selanjutnya pada 2018/2019 PT Freeport sudah dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK menjadi IUP.
“Momentum permohonan perpanjangan inilah yang harus dipertegas oleh pemerintah untuk tidak memperpanjang dan mengakhiri KK PT Freeport,”ungkap
Ditempat yang sama Sugiarto, S.H. AdvokatPublik dalam paparnya mengatakan Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan prinsip hukum ketatanegaraan, kaitannya dengan sentralisasi dan de-sentralisasi.
“Pada saat ini, Indonesia telah bersepakat dengan desentralisasi, yaitu memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah dalam langkah-langkah pembangunan, termasuk pertambangan. Salah satu bentuk komitmen de-sentralisasi adalah tidak ada logika Kontrak Karya dalam pertambangan, yang ada ialah permohonan ijin kepada daerah,” ujarnya.
Keberadaan Kontrak Karya Freeport menrur Sugiato merupakan bentuk ketidak konsistenan pemerintah dalam prinsip de-sentralisasi kekuasaan karena secara langsung mereduksi wewenang daerah.
“Perjuangan nasionalisasi aset, khususnya Freeport, dapat dijalankan dengan dua jalur yang biasa ditempuh dalam dunia advokasi, yaitu litigasi dan non litigasi. Jalur litigasi dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah, bisa atas menteri terkait bahkan atas presiden sekalipun (dengan logika menteri adalah pembantu Presiden, apa yang dilakukan menteri bisa dianggap sebagai “kelakukan” presiden),”ungkap Sugiarto.
Lebih jauh Sugiarto menilai bahwa jalur non litigasi dapat ditempuh dengan melakukan konsolidasi dengan elemen-elemen masyarakat lain yang se-visi dengan gerakan nasionalisasi aset (Freeport).
“Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan organisasi terhadap masyarakat agar mengerti betapa pentingnya menguasai aset-aset ekonomi strategis seperti Freeport,”tegasnya.
Event yang dihadiri 200 orang ini terdiri dari Organisasi Ekstra Mahasiswa, BEM/DPM Kampus di Jogja, Aktivis LSM, dll. (EWINDO)