ENERGYWORLD – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari lembaga Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Greenpeace Indonesia, KRuHA dan Gita Pertiwi, terutama yang bergerak di bidang pengelolaan sampah dan lingkungan hidup akan mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (Perpres PLTSa). Pasalnya, “Kami siap uji materiil dan setidaknya ada lima hal yang akan kita perkarakan,” kata Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Margaretha Quina.
Dia mengungkapkan, lima alasan uji materiil tersebut meliputi, Perpres tersebut mempromosikan hanya percepatan PLTSa teknologi termal, yang justru tidak ramah lingkungan. Padahal UU Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 29 ayat (1) huruf g melarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
“Kedua, lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa, termasuk pencemar yang bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali, sehingga bertentangan dengan UU Pengelolaan Sampah, UU Kesehatan dan UU Ratifikasi Konvensi Stockholm,” terangnya.
Ketiga, percepatan PLTSa bertentangan dengan asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah, yang secara eksplisit menghendaki perubahan paradigma pengelolaan sampah ke arah pengurangan, komprehensif dan tidak hanya berfokus pada timbunan sampah di hilir.
“Keempat, Perpres Percepatan PLTSa yang mengizinkan konstruksi dimulai sebelum pengembang mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” katanya.
Sementara kelima, berkaitan dengan skema penunjukan langsung terhadap pengembang PLTSa, pembebanan biaya pembangunan proyek dan biaya pembelian listrik, yang sesungguhnya tidak layak secara ekonomi di dalam APBN. “Terdapat potensi pelanggaran UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagalistrika,” tutupnya. -rzh/ds