Home Kolom Membangun Energi Perlu Persistensi

Membangun Energi Perlu Persistensi

1717
0

Pengantar

Berikut ini adalah tulisan dari Menteri ESDM Sudirman Said, kami sengaja kutip dari laman www.esdm.go.id karena mungkin dirasa perlu. Dan tanpa kami sunting selamat menyimak:

Membangun Energi Perlu Persistensi

Catatan dari Wina, Austria.

Beberapa jam setelah selesai “mengantarkan” Pertamina menandatangani kontrak pasokan LPG di Iran, saya dan tim Kementerian ESDM langsung terbang ke San Fransisco untuk menghadiri pertemuan pertama Mission Innovation dan forum ke 7 Clean Energy Ministerial (CEM7), tanggal 1 Juni 2016. Pada pagi berikutnya kami harus berada di Wina untuk pertemuan tahunan anggota OPEC yang biasa disebut dengan OPEC Conference. Pekan yang amat padat dan melelahkan, tetapi sungguh menggembirakan.

Ketika di Teheran, kita mendapatkan kabar baik karena kerjasama ekonomi yang telah dirintis sejak Peringatan Konferensi Asia Afrika, April 2015, mulai terlihat hasilnya. Kontrak jual beli LPG ditandatangani antara Pertamina dengan National Iranian Oil Company (NIOC). Di samping LPG, saat ini Pertamina dan NIOC sedang mengupayakan pembentukan suatu Joint Venture yang akan menggarap kesempatan bersama termasuk akses Pertamina ke ladang-ladang minyak Iran yang berbiaya produksi rendah, kerjasama pembangunan Kilang LNG di Iran, dan kerjasama dalam pasokan dan trading minyak mentah maupun produk ikutannya.

Patut dicatat, inilah salah satu manfaat dari bergabungnya kembali Indonesia ke OPEC: direct deal dengan negara-negara produsen minyak, akan meningkatkan efisiensi rantai pasokan BBM kita. Berbagai rintisan kerjasama ini sekaligus akan menghapus mitos bahwa bekerjasama dengan negara Timur Tengah, adalah hal yang sangat sulit. Kini tak kurang dari 15 peluang kerjasama investasi dan ekonomi telah teridentifikasi dan sedang terus diupayakan realisasinya.

Forum Menteri Energi Bersih ke-7 di San Fransisco diawali dengan “working breakfast” para pimpinan delegasi dan para milyarder philantropis seperti Bill Gates dan Richard Branson. Diskusi dipimpin oleh Menteri Energi Amerika Serikat, Dr. Ernest Moniz, ahli nuklir yang kebetulan menjadi pemimpin perundingan pencabutan sanksi dengan Iran. Diskusi ini menandai dimulainya inisiatif kemitraan global di bidang inovasi menuju energi bersih dan energi terbarukan yang dikenal dengan Mission Innovation. Bill Gates dan beberapa tokoh menyampaikan pandangannya tentang perlunya revolusi energi bagi masa depan yang lebih baik. Sarapan pagi yang padat isi!!.

Mission Innovation diluncurkan di Paris, pada November 2015 bersamaan dengan Konperensi Paris COP 21. Presiden Jokowi ikut serta meluncurkan inisiatif ini bersama 20 pemimpin dunia. Ide dasarnya adalah membangun kolaborasi antara pemerintah, dunia bisnis, akademisi, dan “global experts” untuk melakukan riset dan pengembangan energi, dengan jangkauan pemikiran 50 TAHUN (!!!) yang akan datang. Bill Gates lah yang mengambil inisiatif menghimpun dana awal mengajak para milyarder kondang. Komitmen senilai USD 20 miliar dollar telah terkumpul. Negara anggota Mission Innovation yang dapat meningkatkan dana riset energinya menjadi dua kali lipat dalam lima tahun mendatang, akan mendapat dukungan investasi dan riset dari dana Mission Innovation.

Setidaknya Indonesia punya empat modal dasar untuk terlibat secara aktif dalam Mission Innovation ini. Pertama, kita punya forum tahunan Bali Clean Energy Forum (BCEF) yang akan menjadi ajang diskusi, berbagi informasi, dan memperkuat jejaring kerja global.  Kedua, kita akan jadikan Bali sebagai wilayah percontohan energi bersih sekaligus membangun Center of Execellence (CoE) Energi Terbarukan. Ketiga, Program Indonesia Terang (PIT) akan menjadi model bagi elektrifikasi wilayah-wilayah kepulauan yang sulit. Keempat, target ambisius kita melakukan lompatan energi baru terbarukan dalam energi mix kita dari 6 % di tahun 2015 menjadi 25 % di tahun 2025.

Menyimak materi diskusi sepanjang sesi, dan juga forum-forum publik yang berlangsung sejak 31 Mei sampai dengan 3 Juni 2016, terasa benar semangat melihat jauh ke depan, dalam urusan membangun energi. Teknologi mobil listrik yang sedang “happening” sepertinya akan semakin murah dan perkembanganya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. India berhasil melakukan revolusi hemat energi dengan mengharuskan pemasangan lampu LED. Korea Selatan diapresiasi karena usaha mengembangkan fasilitas penyimpanan tenaga listrik berskala besar. Sejumlah penghargaan dan kompetisi sudah dilangsungkan sejak bertahun-tahun yang lalu, untuk mendorong inovasi dan “revolusi” pengelolaan energi.
***
Forum OPEC di Wina sebenarnya forum rutin saja. Tapi tetap saja perhatian media luar biasa. Sikap Iran dan Saudi Arabia dan negara negara teluk dalam urusan kuota produksi menjadi perhatian utama. Juga spekulasi apakah anggota OPEC mampu bersepakat memilih Sekjennya yang baru. Pertemuan anggota kali ini berjalan relatif mulus, bahkan beberapa anggota yang sudah lama bergabung menyebutnya sebagai “one of the most effective meetings”.

Diskusi tentang tren energi dan lingkungan dikaitkan dengan posisi OPEC sebagai organisasi negara penghasil energi fosil terbesar berlangsung hangat, sampai-sampai seluruh yang hadir melewatkan makan siangnya. Perhatian dan “kekhawatiran” akan evolusi energi menuju energi yang lebih ramah lingkungan dikemukakan oleh beberapa anggota. Hasil-hasil konferensi COP 21 dan target-target Sustainable Development Goals (SDG) di bidang energi mewarnai diskusi yang mengambil sebagian besar waktu persidangan. Ada kesamaan pandangan bahwa OPEC juga harus terus mewawas kecenderungan dan memikirkan arah jangka panjang peran energi fosil, dikaitkan dengan berbagai perkembangan dunia yang (secara kebetulan) sedang didiskusikan di San Fransisco.

Sungguh merupakan posisi yang patut disyukuri, bahwa Indonesia berada pada dua komunitas energi: komunitas pengguna dan penghasil energi fosil di OPEC, dan komunitas energi baru, energi bersih di CEM, International Energy Agency (IEA), dan aktif dalam Mission Innovation. Jika kita cukup aktif di kedua komunitas tersebut, tidak saja kita dapat berperan sebagai jembatan; tetapi juga kita dapat menggunakannya sebagai “leverage” dalam pengelolaan sektor energi kita. Direct deal pasokan energi, akses pada investasi, teknologi, informasi, dan keahlian akan dapat kita raih sekaligus.

Pertanyaannya adalah, seberapa konsisten dan persisten Indonesia dalam mengelola peluang-peluang yang sudah mulai terbuka. Pendekatan yang bersifat strategis dan berorientasi jangka panjang menjadi prasyarat dari investasi berskala besar. Investasi berskala besar dan jangka panjang sangat tidak nyaman pada ketidakpastian dan kebijakan yang berubah-ubah yang sulit ditebak arahnya.

Cerita tentang mobil listrik, revolusi LED di India, large scale storage di Korea Selatan, adalah inisiatif strategis yang perlu kesabaran, idealisme, konsistensi, dan persistensi.  Di balik sejumlah pencapaian dan penghargaan, pasti para ilmuwan, para penentu kebijakan dan para insinyur ahli telah bekerja keras merajut segala upaya. Idealisme dan kreativitas pasti telah menjadi fondasi bagi karya mereka. Mereka adalah para penentu kecenderungan yang pikiran dan karyanya melampaui usianya.

Sejarah telah membuktikan hanya idealisme yang mampu menyelesaikan masalah-masalah besar. Membangun listrik, membangun energi terbarukan, mendorong konservasi energi, mencukupi kebutuhan BBM, melistriki 12.659 desa tertinggal; seluruhnya menbutuhkan ketulusan, kejujuran, dan tentu saja kompetensi, kreativitas, dan sikap persisten.

Lawan dari idealisme dan pendekatan strategis adalah pendekatan pragmatis dan transaksional. Pendekatan yang hanya memikirkan kepentingan sesaat, apa yang ada di depan mata, dan mengabaikan perspektif jangka panjang.

Pola kerja “what is it for me”, dan “ambil sekarang, urusan belakangan” adalah jebakan yang selalu menganga. Harus diakui, masa transisi dan ikhtiar pembenahan masih jauh dari selesai, dan karenanya harus terus diperjuangkan. Semoga saja kita mampu melalui masa transisi yang tidak mudah ini.

Wina, 2 Juni 2016

Sudirman Said

www.energyworld.co.id