ENERGWORLD – Mantan tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi mengatakan perilaku ‘Integrated Supply Chain’ (ISC) Pertamina tidak ubah seperti apa yang terjadi pada Petral sebelumnya yang dibubarkan karena banyak mafia dalam pengadaan minyak.
Menurutnya, apa yang terjadi pada ISC tidak sesuai harapan Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Dia menuturkan bahwa pola yang dipraktekkan oleh ISC denga cara ‘memainkan’ proses tender dan pada akhirnya merugikan keuangan negara dan masyarakat karena menjadikan harga penjualan minyak pada masyarakat semakin mahal.
“Waktu Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan ISC sebagai ganti Petral mestinya lebih baik, tapi realitanya sama saja. Ini mengindikasikan mafia migas masih bermain di sekitar ISC bahkan modus yang digunakan serupa, yakni memainkan proses tender. Hasil tender yang dimainkan mafia migas akan menyebabkan harga pengadaan lebih mahal sehingga merugikan keuangan negara,” kata dia di Jakarta, seperti dilansir dari Aktual.com, Sabtu (18/6/2016).
Sebelumnya Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menduga adanya kongkalikong ISC-Pertamina dalam pengadaan minyak pada 7 Juni 2016. Pasalnya, dalam dokumen tender yang dilakukan pertamina, peserta hanya diberikan waktu kurang dari 48 jam untuk melakukan penawaran, bahkan untuk aktifitas tender term hanya selama enam bulan.
“Penawaran tender minyak hanya diberikan waktu kurang dari 48 jam, evaluasinya 3 hari. Biasanya dilakukan minimal 7 hari kerja. Ini terlihat kalau ISC kerjanya buru-buru, terkesan manipulatif. Itu sama saja dengan pembunuhan, perampokan, dilakukan dengan waktu yang secepat-cepatnya,” ujar Yusri kepada Aktual di Jakarta, Selasa (14/6).
Menurutnya, tender yang terburu-buru dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya tersebut dinilai tidak wajar dan menimbulkan dugaan ISC-Pertamina memenangkan pihak tertentu.
“Jadi kalau waktunya dibatasi dengan tidak wajar, sudah dapat diduga bahwa pemenangnya diarahkan ke rekanan yang dijagokan ISC-Pertamina,” ungkapnya.
Apalagi lanjut Yusri, dalam syarat lelang itu disebut nama jenis minyaknya seperti Champion (Brunei), Kikeh, Tapih dan labuhan ( Malaysia) dan Escravos, Qua Iboe, forcado dari Afrika Barat. Itu sama saja ISC Pertamina telah terikat diri pada jenis minyak tertentu.
“Bisa jadi ISC-Pertamina sudah dikuasai oleh vendor tertentu yang juga rekanan ISC, terkecuali tender langsung ke NOC-nya seperti Petronas NNPC (Nigeria). Namun kalau yang dimenangkan trading company, tentu aneh bin lucu,” ungkapnya.
Menurutnya, ISC seharusnya menonjolkan spesifikasi minyak mentah yang sesuai dengan desain dan kebutuhan kilang Cilacap, kilang Balikpapan dan Balongan.
“Cukup disebut jenis minyak ringan (light crude) dan minyak menengah (heavy light crude) atau heavy crude dengan batasan minimum dan maksimu derajat API dan Kandungan sulfur serta konten. Dari PONA=parafinic olefinic naphthenic atau aromayic, kita akan tahu type crude tersebut.” pungkasnya. -aktl/rza/dsb