ENERGYWORLD – Fakta menarik diungkapkan kantor berita Reuters. Pada Rabu, 18 Desember 2013, Reuteurs melaporkan, net carrying value assets dari Conocophillips Algeria Ltd itu di akhir Oktober pada tahun yang sama hanya sekitar US$ 850 juta, atau separuhnya dari total nilai akuisisi yang sebesar US$ 1,75 miliar. Sementara jumlah produksi yang dilaporkan juga tidak sebesar yang disampaikan klaim Pertamina, tapi hanya berkisar 11.000 bph.
Artinya, ada penggelembungan klaim produksi minyak lebih dari separuhnya, dari 11.000 bph menjadi 23.000 bph. Seorang pebisnis migas membisikkkan, bila diuangkan, selisih produksi minyak itu bisa mencapai US$ 150,75 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Bila ditotal, kerugian Pertamina dalam akuisisi di blok Aljazair saja mencapai US$ 1,05 miliar atau setara Rp 11,6 triliun. Angka ini berasal dari selisih hasil perhitungan net carrying value assets (US$ 850 juta) dengan yang harus dibayarkan Pertamina (US$ 1,75 miliar), ditambah dengan nilai selisih produksi minyak (US$ 150,75 juta). Uang yang tidak sedikit. Kemana larinya?
Sekilas, proyek-proyek ambisius Pertamina ini menakjubkan. Pertanyaan paling mendasar, selain kemana sisa hitungan uang yang diduga mengalir tak jelas, juga dari mana Pertamina mendapatkan dana untuk akuisisi-akuisisi dan pembangunan gedung 99 lantai yang bila ditotal angkanya lebih dari Rp 50 triliun itu?
Kita tahu setiap tahun Pertamina membukukan laba di bawah Rp 30 triliun. Tahun 2012 mencetak laba Rp25,89 triliun atau sekitar US$2,76 miliar. Jumlah ini naik sekitar 14,7% dari pendapatan tahun 2011 yang sebesar US$ 2,398 miliar.
Tahun 2013 Pertamina menargetkan laba sekitar US$ 3,05 miliar atau sekitar Rp 33,5 triliun. Sementara tahun 2014 Pertamina memasang target laba bersih sebesar US$ 3,44 miliar (Rp 37,8 triliun) yang akan diperoleh dari pertumbuhan agresif semua lini dari hulu hingga hilir. Pertamina juga menargetkan pertumbuhan aset konsolidasi sebesar US$ 52,6 miliar atau naik sekitar 13% dari tahun ini.
Laba itu masih harus disetorkan ke negara sebesar 2/3 dari total keuntungan. Jelas, angka ini tidak sebanding dengan rencana-rencana besar Pertamina.
Sementara dari sisi kewajiban, utang Pertamina sudah menggunung. Ikhtisar laporan keuangan Pertamina 2012 menunjukan, rasio utang terhadap modal (Debt to Equity Ratio / DER), pada tahun 2012 sudah mencapai 67,05%. Jumlah DER 2012 ini naik dari 2011 yang sebesar 55,15%, 42,43% (2010), 27,25% (2009), dan 15,45% (2008).
Pada 2012, rasio utang jangka pendek Pertamina terhadap modal (Short Term to Equity Ratio) mencapai 27%, naik dari periode 2011 yang sebesar 24,18%, 18,5% (2010), 10,39% (2009), dan 8,35% (2008).
Utang Pertamina akan bertambah besar, mengingat pembiayaan ekspansi ke luar negeri untuk akuisisi-akuisisi ini akan menggunakan utang kembali melalui penerbitan surat utang global (Global Bonds). Pada Mei 2013, BUMN ini menjual global bonds senilai US$ 3,25 miliar atau setara Rp 30,8 triliun. Obligasi diterbitkan dalam dua seri, dengan masing-masing bernilai US$ 1,625 miliar.
Bila ditilik dari sisi kinerja, kendati kinerja Pertamina positif di bawah Karen, namun masih belum mampu bersaing dengan raksasa-raksasa migas negara lain. Yang terdekat dengan Petronas.
BUMN migas milik Negeri Jiran Malaysia itu pernah belajar jadi perusahaan minyak nasional (Nasional Oil Company/NOC) dari PT Pertamina (Persero). Tapi kini, Petronas mampu menjadi perusahaan migas raksasa dengan memberikan kontribusi sangat besar kepada pemerintahnya.
Pada tahun 2012, Petronas mampu menyetor dana ke Pemerintah Malaysia hingga Rp 190 Triliun, jauh lebih tinggi daripada sumbangan Pertamina ke pemerintah Indonesia Rp 7,7 triliun. Pada 2012, total laba Pertamina sekitar 25,89 triliun. Sumbangan Petronas itu setara 40% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Malaysia. Bandingkan dengan setoran Pertamina yang hanya 1,6% dari total APBN Indonesia.
Pada periode 2012 Pertamina jauh ketinggalan dibanding perusahaan sejenis di negara lain. Pada periode tersebut, BUMN migas Malaysia, Petronas, mencatatkan kenaikan pendapatan hingga 700% alias tujuh kali lipat dibanding 2011. Angka yang sama ditorehkan Petrobras, raksasa energi Brasil yang juga mencatatkan kenaikan pendapatan hingga tujuh kali lipat.
Belum besarnya Pertamina, juga bisa ditilik dari sisi penguasaan dan produksi migasnya. Saat ini, Pertamina menguasai 47% ladang migas Indonesia. Namun, hasilnya belum optimal lantaran masih banyak lapangan migas yang nganggur. Akibatnya, produksi migas Pertamina hanya menduduki posisi nomor 3 di bawah Total E&P Indonesie dan Chevron Pacific Indonesia.
Sesuai estimasi lifting migas pemerintah pada tahun ini, Total E&P Indonesie dengan wilayah kerja Mahakam dan Tengah menjadi produsen terbesar dengan produksi 382,2 ribu barel setara minyak per hari. Lalu Chevron Pacific Indonesia di wilayah kerja Rokan dan Siak dengan estimasi produksi migas 335 ribu barel setara minyak per hari. Sementara Pertamina EP dengan wilayah kerja seluruh Indonesia estimasi produksi migas sebesar 290,3 ribu barel setara minyak per hari. – Bersambung
-TIM /EWINDO