ENERGYWORLD – Lepas dari kinerja yang cukup membawa positif Pertamina, mundurnya Karen tetap menimbulkan tanda tanya. Ini mengingat belakangan santer isu politik suap dan korupsi di industri migas pasca kasus Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Pengamat BUMN Said Didu mengakui, selama ini petinggi Pertamina banyak mendapat tekanan. Selain itu ada benturan antara nilai-nilai profesionalisme dan ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil keputusan untuk Pertamina.
“Saya yakin Bu Karen menghayati betul pertentangan dua hal tersebut karena rawan terhadap masalah hukum di kemudian hari,” kata Said kepada media.
Tiga tekanan yang ada di tubuh Pertamina atas ketidaktegasan pemerintah, menurut Said, ada tiga hal yaitu soal bahan bakar minyak (BBM) subsidi, elpiji, dan ladang migas di Indonesia.
Pertama, tentang kebijakan BBM subsidi yang selalu berubah-ubah, termasuk rencana pembatasan mulai dari RFID (Radio-frequency identification) sampai pelarangan di SPBU. “Ini kebijakannya kan macam-macam dan selalu berubah-ubah dari Kementerian ESDM,” jelas Said.
Kedua, tentang harga jual elpiji 12 kg. Dalam undang-undang korporasi, Pertamina dilarang menjual eljipi 12 kg di bawah harga keekonomian karena tidak diberi subsidi. Pertamina juga bisa kehilangan potensi laba jika terus menjual rugi elpiji 12 kg.
“Ini sudah jelas sekali bahwa melanggar hukum kalau (harga elpiji 12 kg) tidak dinaikkan. Tapi dipaksa jual murah terus oleh pemerintah,” ujar Said.
Ketiga, adalah ketidaktegasan pemerintah untuk memberikan Pertamina prioritas dalam menggarap ladang minyak dan gas yang tersebar di seluruh Indonesia. “Intinya Bu Karen tidak kuat menjadi bemper pemerintah. Kebijakan pemerintah ini mengutamakan kebijakan populis sementara risiko hukumnya akan ke Pertamina,” tutur Said.
Pernyataan Said bisa dimengerti. Persoalan hukum memang tengah gencar di industri migas pasca penangkapan Rudi Rubiandini oleh KPK. Dan, belakangan soal penetapan tersangka Menteri ESDM Jero Wacik sebagai tersangka.
Karen tercatat beberapa kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait korupsi dan pencucian uang SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini. Antara lain, pada 7 November 2013, lalu pada 27 Januari 2014, dan pada 4 Maret 2014.
Saat bersaksi di persidangan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang SKK Migas dengan terdakwa mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 4 Maret 2014, Karen mengaku ada perasaan takut diperiksa KPK.
“Sebagai seorang profesional, tentunya masuk ke kantor KPK agak ngeri-ngeri ya,” paparnya ketika itu.
Kepada majelis hakim, Karen membantah adanya pemberian uang kepada anggota DPR dari Pertamina. Permintaan uang itu dinilai sebagai cerita yang dia dengar selama menjabat sebagai Dirut Pertamina sejak 2009.
Setelah kasus-kasus tersebut, akhirnya Karen mundur dari posisi Dirut Pertamina. Lantas, apakah mundurnya Karen karena tersangkut persoalan dengan KPK?
“Nggak ada hubungannya lah (dengan KPK), mundur atau tidak kan hak dia. Nggak ada pengaruhnya,” kata juru bicara KPK Johan Budi, melalui pesan singkat dalam laman GE, Senin, 18 Agustus 2014, saat ditanya soal kasusnya Karen masih tersandung di kasus Rudi Rubiandini.
Johan menyebutkan bahwa suatu saat Karen bisa kembali diperiksa KPK kalau diperlukan.
Nama Karen tersandung di KPK dalam kasus suap SKK Migas dengan tuduhan bagi-bagi setoran kepada anggota DPR Komisi VII untuk pengesahan APBN Perubahan 2013.
Namun, Karen membantahnya saat menjadi saksi dalam persidangan lanjutan perkara korupsi SKK Migas, dengan terdakwa Rudi Rubiandini. ”Pertamina (saya) tidak pernah melakukan itu (memberi uang kepada anggota DPR),” kata dia, saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa, 4 Maret 2014.
Bantahan Karen tersebut tak sesuai dengan kesaksian resmi yang dihimpun penyidik KPK dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam BAP yang dibacakan Majelis Hakim Tipikor, disebutkan, pengakuan Karen kepada KPK tentang percakapan antara dirinya dengan Rudi, pada 12 Juni 2013.
Dalam pembicaraan tersebut, diterangkan, adanya permintaan agar Karen, selaku Dirut Pertamina, menyediakan sejumlah uang senilai US$ 150 ribu. Permintaan itu dilakukan oleh Rudi, sebagai Kepala SKK Migas.
Maksud permintaan tersebut, adalah untuk menambah kekurangan setoran ke Komisi VII yang jumlahnya US$ 300 ribu. Setoran tersebut untuk pengesahan anggaran dalam APBN Perubahan 2013.
Namun, masih menurut BAP, desakan Rudi tersebut ditolak Karen. Kata dia, Pertamina sudah memberikan setoran tersebut, tanpa melalui Rudi. Akan tetapi, diterangkan Karen dalam persidangan, ungkapan tersebut adalah siasat dia agar tak dikejar Rudi.
Sebab kata dia, Rudi mengancam akan melaporkan Karen ke Kementerian ESDM jika permintaan itu tak digubris. “(Sudah memberi sendiri) Itu adalah siasat saya saja,” ujar Karen. Dia membela diri, dengan mengatakan terpaksa berucap demikian lantaran untuk menghentikan pembicaraan dan paksaan dari Rudi.
Tersangkut paut persoalan hukum, yang agaknya turut membuat Karen akhirnya melepas kursi panas Pertamina.
Bila ditilik dari sejarah, Pertamina sejak jaman Orde Baru memang selalu menjadi sapi perah penguasa. Kita tentu masih ingat, pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo, Pertamina pernah terjerumus ke dalam utang super jumbo, akibat salah penggunaan dana hasil utang jangka pendek.
Pada 10 Maret 1975, Pertamina tercatat gagal bayar kepada konsorsium Bank Kanada senilai US$ 65 juta. Sehingga pada 14 Maret 1975, Bank Indonesia mengeluarkan dana US$ 650 juta sebagai kredit kepada Pertamina untuk melunasi utang-utang jangka pendeknya. Total utang jangka pendek Pertamina ternyata sungguh fantastis, mencapai US$ 10,5 miliar atau 30% Produk Domestik Bruto (PDB) saat itu.
Pada 20 Mei 1975, Menteri Pertambangan dan Energi Mohammad Sadli mengumumkan secara rinci kemana saja uang tersebut mengalir. Abra kadabra… Sebagian dari proyek yang didukung dana Pertamina tersebut tidak ekonomis dan tidak ada hubungannya dengan fungsi Pertamina.
Indikasi sapi perah hingga kini masih sangat kental terasa. Misalnya, dalam kontroversi wacana pembubaran Pertamina Energy Trading Ltd (PT Petral) yang mencuat tahun lalu. Hingga kini, Ptral dipercaya banyak kalangan sebagai pintu masuk perahan bagi penguasa.
Sejumlah pekerjaan rumah kini menunggu penyelesaian pasca mundurnya Karen. Masih banyak tugas yang belum selesai. – Bersambung
-TIM /EWINDO