ENERGYW0RLD – Rilis diberbagai media pada 14 juli 2016 tentang “sukses Pertamina dalam swasembada solar”, disampaikan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, bahwa penyaluran biosolar pada periode yang sama juga mengalami penurunan, jumlahnya hanya mencapai 82 persen dari rata rata normal 35.319 kiloliter perhari, dan lebih jauh dia mengatakan “penurunan komsumsi solar juga membuat Pertamina berhasil mencatatkan swasembada solar sehingga bisa mengurangi beban anggaran negara yang selama ini dikeluarkan untuk impor solar”.
Maka atas keberhasilan Pertamina tersebutlah telah mendapatkan apresiasi Dirjen Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja dalam pemberitaan di media CNN Indonesia dengan judul yang bombastis “Dirjen Migas Acungin Jempol Swasembada Solar Pertamina” (14/07/2016), dia menilai capain tersebut tidak hanya mengurangi beban anggaran negara, namun juga meningkatkan nilai tambah dari pembelian minyak mentah perusahaan.”Yang jelas kita beli crude dan diolah di dalam negeri, jadi ada nilai tambah dengan pengolahan solar di dalam negeri,” ujar Dirjen Migas.
Justru menjadi aneh karena komentar Wianda dan Dirjen Migas kalau kita simak secara cerdas penjelasan lebih awal oleh Direktur Pengolahan PT Pertamina Rahmad Hardadi pada masih di lansir CNN Indonesia (20/4/2016) yang menyatakan “Pertamina sedang mempertimbangkan ekspor solar mengingat produksi solar dalam negeri mengalami surplus sebesar 140 ribu barel per bulan. Namun, lebih lanjut dia menyatakan sampai saat itu perusahaan belum punya negara tujuan ekspor yang akan disasar. Hal itu akan ditentukan setelah Pertamina melihat kondisi harga BBM.
“Tentu kami akan cari negara yang memiliki harga yang bagus,” dan ini disebabkan oleh tidak banyak terserap oleh sektor riil, utamanya sektor Pertambangan yang kini lagi loyo akibat harga komoditi yg rendah dan berimbas terhadap konsumsi solar selama dua bulan, sehingga Pertamina menghentikan impor solar,”jelasnya.
Masih kata Rachmad dan secara tegas dia menyatakan bahwa ini bukan karena produksinya bertambah banyak. Tetapi karena serapan dari konsumsi yang turun,” jelas Rachmad Hardadi di Jakarta.
Bahkan pada waktu yang bersamaan Dirut Pertamina Dwi Sucipto juga menyatakan bahwa disamping serapan solar yang turun, juga karena faktor adanya program Mandatori B-20 yang bisa menghemat kebutuhan solar sebesar 2.5 hingga 3 juta kiloliter pertahun.
“Meskipun ada rencana untuk menjual kelebihan solar keluar negeri adalah opsi terakhir yang akan dilakukan oleh Pertamina setelah upaya memanfaatkan untuk aktifitas pemboran yang mingkin bisa mengangkat harga jual solar itu,”jeals Dwi Sucipto.
Sehingga berita swasembada solar sebagai berita kesuksesan Pertamina tersebut disikapi dengan penuh tanda tanya. Maka pendapat Direktur Esekutif CERI, Yusri Usman yang mengatakan bahwa, kita secara cerdas harus mengevaluasi dulu berapa produksi dan konsumsi solar Pertamina pada 3 tahun belakangan ini, bahwa tahun 2014 Pertamina mencatat permintaan solar dalam negeri sebesar 171.92 juta barel dan sebanyak 125,81 juta barel dipenuhi oleh kilang dalam negeri dan sisanya sebesar 46 juta barel dari impor, sementara itu pada tahun 2015 permintaan solar turun menjadi 148, 37 juta barel dan 125,4 juta barel dari kilang dalam negeri dan sisanya 11, 6 juta barel di impor, nah kalau di akhir Mei 2016 Pertamina berhasil menambah pasokan solar 11.500 Bph dari kilang TPPI, sehingga Pertamina selain tidak lagi mengimpor solar, berhasil juga memangkas impor.
Didalamnya termasuk program bauran unsur nabati dalam solar atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang menghasilkan biosolar sudah berapa persentasenya. Jangan sampai kelebihan pasokan yang dicitrakan sebagai “prestasi Pertamina” itu sesungguhnya merupakan beban bagi Pertamina.
Karena faktanya, sejak tahun 2015 daya serap solar lebih banyak pada aktifitas industri tambang mineral yang ditutup akibat larangan ekspor dan tambang batubara yang harganya anjlok. Dan hal ini terjadi juga pada industri perikanan akibat kebijakan Menteri KKP Susi yang dulu diduga banyak solar subsidi disalahgunakan penyalurannya dan dijual ditengah laut perkebunan serta industri lainnya banyak mengalami pengurangan aktifitasnya. Faktor pertumbuhan ekonomi nasional dibawah kisaran 5 persen. Loyonya aktifitas ini tentu saja akan membawa dampak pada menurunnya konsumsi solar.
“Kalau ini terjadi, maka yang harus dipikirkan dan dilakukan oleh Pertamina adalah, mau dibawa ke mana hasil kelebihan produksi solar tersebut? Apakah produksi kilangnya yang akan diturunkan? Selanjutnya, apabila kelebihan pasokan itu diekspor, tentu harus dikaji apakah kebijakan yang dilakukan tersebut akan memberikan profit atau beban usaha? Atau, hanya malah digunakan secara keliru sebagai pencitraan, seolah-olah hal tersebut prestasi luar biasa Pertamina,” tutur Yusri.
Karena masih menurut Yusri, mengekspor kelebihan produksi solar kita yang gradenya rendah bukanlah perkara mudah. Malah, bisa-bisa Pertamina akan menderita kerugian, karena hanya negara yang tidak peduli terhadap lingkungan saja yang mau membelinya, itu pun dengan harga murah.
“Kesulitan Pertamina dalam mengekspor solar dapatlah dipahami. Solar produk Pertamina spesifikasi kandungan “sulfurnya sekitar 3500 ppm dengan Cetane Number 48″ cenderung tidak ramah lingkungan. Kira-kira negara mana ya, yang mau tampung?” pungkas Yusri di Jakarta, Jumat malam (15/7/2016). -RNZ/red