“Tender PLTGU Poco Poco, Direksi PLN layak jadi Tersangka”
Oleh Yusri Usman*)
Saat ini publik sudah dibuktikan bahwa “poco poco” merupakan lagu yang sangat disenangi oleh para ibu-ibu untuk menari “gerak maju mundur” sudah tertular nyata dalam proses tender PLTGU Jawa 1 yang dilakukan oleh direksi Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pasalnya tender PLTGU Jawa 1 tersebut diawal Mei 2016 juga telah terjadi perubahan mendadak ditengah jalan, bahwa yang pada proposal awalnya sumber gas sebagai energi pembangkit disyaratkan merupakan kewajiban konsorsium pemenang tender yang menyediakannya, diubah menjadi disediakan oleh PLN dan sumber gasnya berasal dari lapangan Tangguh Papua.
Selain perubahan tersebut, ternyata diujung jadwal pengajuan proposal yang sudah ditetapkan pada tangal 25 Juli 2016 merupakan batas akhir penyerahan penawaran oleh peserta tender, mendadak ditunda menjadi tanggal 25 Agustus 2016, sehingga kegagalan program Presiden Jokowi untuk dapat merealisasikan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW diakhir tahun 2019 semakin nyata akan mengalami kegagalannya.
Kalau merujuk keterangan pihak Konsorsium Pertamina dengan Marubeni dan Total Gas & Power yang dikemukan oleh Ginanjar bahwa perubahan mendadak ditengah jalan telah merugikan pihak Pertamina sebesar USD 1, 5 juta akibat perubahan tersebut, dan kalau sejak awal PLN tidak mensyaratkan konsorsium untuk menyediakan gas, tentu Pertamina tidak perlu repot repot mencari tambahan anggota konsorsium seperti menggandeng Total Gas & Power yang dapat memberikan jaminan sumber gas yang terjamin dengan harga yang sangat kompetitif, dan atas kekecewaannya terhadap PLN (Katadata 22/05/2016), faktanya juga Pertamina pd tgl 13 Mei 2016 sempat melayangkan surat protes ke pihak Panitia tender PLN, bahkan belakangan sempat beredar kabar adanya intervensi pihak oknum BUMN yang merangkap Komisaris untuk menekan Pertamina supaya tidak usah berpartisipasi aktif di bisnis hilir pembangkit.
Walaupun belakangan akibat intervensi tersebut juga diduga sempat dibuat memo pertimbangan tehnis dari staff di Direktorat Energi Terbarukan Pertamina kepada Dirut Pertamina, yang ditenggarai kesimpulan dari memo tersebut adalah sebaiknya Pertamina lebih baik menarik dari kepesertaannya dalam tender tersebut.
Sehingga dugaan intervensi tersebut adalah untuk memuluskan adanya anggota konsorsium dari kompetitor Pertamina yang akan dijagokan sebagai pemenangnya.
Padahal sejak program listrik 35.000 MW digulirkan oleh Pemerintah Jokowi – JK dengan penuh kontroversial dan sempat memancing pro kontra diruang publik dengan argumentasinya, sehingga untuk mengantisipasi ganguan yang tidak perlu, maka Presiden telah memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengawal proses proyek itu sejak awal perencanaan sampai dengan pelaksanaan kontruksi dan komersialnya, agar tidak disalah gunakan oleh pihak pihak yang dapat menggagalkan tujuannya dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Apalagi menurut info yang beredar bahwa perubahan syarat soal alokasi gas yang disediakan oleh pihak PLN masih menjadi pertanyaan besar apakah memang benar PLN sudah mendapat alokasi tambahan pasokan gas dari lapangan Tangguh untuk kebutuhan PLTGU Jawa 1, atau bisa jadi alokasi tambahan itu hanya merupakan “pepesan kosong” saja dan sebagai strategi untuk menyingkirkan pihak Konsorsium Pertamina seperti diduga pada saat perubahan mendadak di tengah jalan.
Agar publik sebagai konsumen akhir pembeli listrik tidak dirugikan oleh ulah “mafia infrastruktur listrik”, dituntut Penegak Hukum menyelidiki lebih hal jauh terhadap anomali informasi informasi yang beredar, termasuk pembuktian oleh Penegak Hukum kepada Menteri ESDM, karena sesuai Peraturan Menteri ESDM nomor 06 tahun 2016 yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri ESDM nomor 37 tahun 2015 yang pada pasal pasal secara tegas diatur, khususnya pada pasal 3 berbunyi ” Menteri yang menetapkan alokasi dan pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri ataupun diekspor “.
Sehingga apabila pihak Direksi PLN tidak dapat membuktikan adanya persetujuan alokasi gas dari Menteri ESDM pada bulan Mei 2016 untuk kebutuhan PLTGU Jawa 1 dan terkait adanya kerugian sudah nyata oleh pihak Pertamina sebesar USD 1, 5 juta , maka dapatlah disimpulkan sudah memenuhi 2 unsur tindak pidana korupsi dialamatkan kepada pihak pihak yang bersepakat jahat dalam tender ini.
Lebih jauh bahwa, seolah tidak percaya di era saat ini masih ada Direksi BUMN berpikir dan bersikap lebih mengedepankan saling membunuh sesamanya daripada bersinergi sesama BUMN, padahal Menteri BUMN untuk PLTGU Jawa 1 bisa menugaskan kepada konsorsium sesama BUMN yang terdiri dari Pertamina dengan PLN dan PGN , sehingga wacana pembetukan holding BUMN energi yang digadang gadang bu Rinso hanya “pepesan kosong” saja , karena peraturannya telah ada.
Sejak tanggal 3 September 2008 Menteri BUMN telah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN nomor: 05/MBU/2008 perihal “perlunya sinergi antar BUMN” dan lebih dipertegas lagi dengan surat edaran nomor: SE-03/MBU.S/2009 yang ditujukan kepada seluruh Direksi BUMN untuk dapat melaksanakan perintah Menteri BUMN agar tercapai efisiensi.
Tetapi, faktanya sangat berbeda dalam implementasinya. Setiap kebijakan dalam sektor energi terkesan masing-masing pihak lebih mengedepankan sikap “egosentris dan arogansi”. Tentu saja, dari kondisi ini publik dapat menyimpulkan bahwa Direksi BUMN ini telah lalai dalam mengamanatkan perintah UU BUMN dan Peraturan Menteri.
Harusnya Menteri dan Direksi BUMN menyadari bahwa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri itu merupakan “roh” sebagai pedoman dari setiap kebijakan yang dilakukan.
Sehingga kalau Penegak Hukum berhasil menemukan bukti bukti dugaan perbuatan melawan hukum seperti tersebut diatas, maka Menteri BUMN layak juga dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.
Jakarta 26 Juli 2016
*) Yusri Usman adalah Center of Energy and Resources Indonesia.