ENERGYWORLD – Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, meminta Menteri ESDM yang baru, Archandra Tahar, tidak kehilangan momentum untuk melanjutkan reformasi tata kelola sektor energi dan akselerasi pembangunan infrastruktur energi.
“Terdapat tiga aspek yang perlu mendapatkan perhatian Menteri ESDM, yaitu reformasi institusi dan kelembagaan sektor migas dan minerba, percepatan penyediaan akses energi, dan inovasi kebijakan dan teknologi,” terangnya dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (28/7/2016).
Dia mencontohkan reformasi sektor migas dan minerba, yakni penyusunan UU Minyak dan Gas untuk menggantikan UU No. 22/2001 yang dibatalkan tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi.
“UU Migas yang saat ini masih berlaku dipandang tidak lagi efektif sebagai payung hukum regulasi sektor migas, yang semakin kompleks dan beresiko. Ketiadaan perangkat hukum dan peraturan yang pasti telah terbukti menyurutkan minat investasi di sektor hulu migas yang semakin turun dalam 10 tahun terakhir ini,” tulisnya.
Kemudian, Menteri ESDM harus memastikan keputusan investasi migas dilakukan secara terukur, proses yang transparan, berdasarkan aturan main dan regulasi yang jelas. Preseden kasus perubahan POD lapangan Abadi/Masela menjadi contoh adanya ketidakpastian proses keputusan investasi sektor migas dan ketidakjelasan regulasi.
Berbagai faktor ini membuka politisasi yang menyebabkan keputusan pengembangan lapangan Abadi dilakukan melalui proses politik yang tidak transparan dan prudent serta menyampingkan perhitungan teknis-ekonomis.
Kemudian, penyempurnaan UU Mineral dan Batubara juga mendesak dilakukan untuk memastikan pengusahaan minerba dilakukan secara bertanggung jawab, transparan dan berkelanjutan. Dimana penyempurnaan pelaksanaan kebijakan clean and clear untuk ijinijin pertambangan perlu terus dilakukan, serta memutus praktek-praktek yang tidak sehat dalam pemberian ijin dan pengusahaan pertambangan. Untuk itu Kementerian ESDM harus melanjutkan kerja sama yang lebih erat dengan KPK dan instansi lainnya,untuk memastikan reformasi di sektor pertambangan tetap berlanjut dan berhasil.
“Pemerataan akses listrik bagi 9 juta rumah tangga yang belum terjangkau listrik hingga hari ini dan penyediaan bahan bakar dan teknologi memasak yang bersih bagi 22-24 juta rumah tangga yang bergantung pada biomassa tradisional perlu diterjemahkan dalam kerangka kerja yang terukur. RPJMN 2015-2019 mentargetkan 96 persen rasio elektrifikasi pada akhir 2019, untuk itu Menteri ESDM hanya punya waktu 3 tahun untuk menyediakan listrik bagi 6 juta rumah tangga dan meletakan dasar-dasar yang kokoh untuk mencapai elektrifikasi 100 persen sebelum 2025. Pada saat yang bersamaan, Menteri ESDM juga dituntut memastikan penyediaaan pasokan listrik nasional untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dan memenuhi target konsumsi listrik sebesar 1200 kWh/kapita pada 2019, sebagaimana target RPJMN,” terangnya.
Sementara untuk keberhasilan pelaksanaan program 35 ribu MW tidak dapat dibaikan. Dalam hal ini menteri ESDM harus memastikan bahwa PLN mampu membangun pembangkit 10 ribu MW hingga 2019 dan jaringan transmisi dan distribusi yang dibutuhkan dengan tepat waktu. Demikian juga, memastikan agar realisasi pembangunan pembangkit listrik swasta (IPP) sebesar 25 ribu MW tidak mengalami keterlambatan.
“Penyediaan tenaga listrik untuk daerah terpencil tidak boleh ditunda, dan diperlukan pendekatan yang inovatif dan dukungan pendanaan sangat diperlukan. Menteri ESDM harus memastikan PLN melaksanakan seluruh proses pengadaan dan pembangunan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance, menetapkan standar kualitas pembangkit dan jaringan yang dibangun, dan mencegah terjadinya praktek-praktek transaksional dan “bagi-bagi” proyek kepada politisi atau partai politik. Menteri ESDM harus mendesak PLN menerapkan “zero tolerance” atas praktek-praktek korupsi. Selain itu, memastikan pelaksanaan RUPTL 2016-2025 secara konsisten oleh PLN,” tutupnya Rep/Rko