PLN DAN PEMBANGKANGAN TERHADAP KEPUTUSAN SIDANG KABINET
Oleh Ferdinand Hutahaean
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara yang berdiri sejak 27 Oktober 1945 dengan slogan yang cukup baik yaitu Listrik untuk kehidupan yang lebih baik.
Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke 19 pada saat belanda melalui perusahaannya N.V. Netherland Indische Electriciteit Matschappiji (NIEM) membangun PLTU dengan kapasitas total 7.550 KW ditepian kali Ciliwung. Itulah pertama sekali listrik di Hindia Belanda dibangun 1987.
Pada tahun 1945 saat Indonesia merdeka, seluruh pembangkit listrik kemudian direbut dan dikuasai oleh negara. Kemudian 27 Oktober 1945 oleh Soekarno dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas. Total kapasitas listrik kala itu mencapai sekitar 150 MW.
Kemudian 1 Januari 161 menjadi BPU-PLN mengelola Listrik dan Gas. 1 Januari 1965 BPU PLN bubar menjadi 2 badan usaha yaitu PLN dan PGN. 1972 kemudian berubah menjadi Perum PLN dan pada tahun 1992 ditetapkan sebagai pemegang kuasa kelistrikan melalui PP 17 Tahun 1990. Begitulah sejarah singkat PLN.
Dalam perjalanan waktu beroperasi, listrik di monopoli oleh PLN dan pertumbuhan pembangunan listrik terus bertumbuh hingga kini total mencapai sekitar 53 GW. Angka yang kurang memenuhi kebutuhan listrik nasional yang semestinya saat ini sudah harus minimal 65 GW untuk memenuhi ratio elektrifikasi dan minimal 80 GW hingga tahun 2020.
Monopoli kelistrikan ini justru menjadi ironi ketika PLN harus merugi dan terlilit hutang yang sangat besar dengan ratio hutang terhadap aset sangat buruk. Mestinya PLN tidak boleh merugi bila melihat jenis tarif yang ada di PLN. Ada 2 jenis tarif PLN yaitu tarif komersil dan tarif subsidi. Semua jenis tarif itu tentu sudah menghitung cost production, cost operation dan margin perusahaan. Tidak ada tarif yang tidak memasukkan faktor laba dalam hitungan. Apabila pemerintah punya kebijakan menjual listrik dibawah harga keekonomian maka pemerintah mengganti selisih harga tersebut dalam bentuk subsidi ke PLN. Jadi memang tidak boleh rugi seharusnya, kecuali karena salah kelola.
Pada salah satu kesempatan sidang kabinet di Istana, arahan presiden kepada PLN sangat jelas dan tegas yaitu PLN agar memberikan gambaran anggaran dan kemampuan dalam partisipasi PLN dalam listrik 35 GW, PLN DAN PEMBANGKANGAN TERHADAP KEPUTUSAN SIDANG KABINET PLN agar tidak hanya melihat dirinya terkait pembangkit Mikro/Mini Hydro tetapi memikirkan serapan tenaga kerja, Dirut PLN dan Menteri BUMN agar menghitung kembali hal-hal makro dan jangan hanya menghitung kebutuhan PLN, Transmisi butuh 300T, apakah PLN mampu sediakan?
Itulah beberapa point penting arahan Presiden dalam satu sidang kabinet.
Arahan Presiden tersebut sangat jelas dan tidak butuh ahli tafsir kalimat untuk menjabarkan itu dalam sebuah kebijakan. Pertanyaannya sekarang, Mengapa PLN dan Mentri BUMN malah ingin membeli pembangkit dengan mengakuisisi PGE dari Pertamina? bukankah itu langkah membeli pembangkit dan bukan membeli listrik?
Langkah ini memang jadi aneh dan terkesan kasar membangkang kepada keputusan sidang kabinet, membangkan kepada Presiden secara langsung maupun tidak langsung. Mengapa Dirut PLN dan Mentri BUMN berani membangkang kepada presiden? Tidak jawaban yang pasti kecuali presiden harus segera mencopot Dirut PLN.
Pembangkangan ini jika dibiarkan dampaknya akan luas dan menjadi preseden buruk dalam pemerintahan Jokowi. Presiden harus mengembalikan citranya ditengah kabinet kerjanya sebelum bicara citranya ditengah masyarakat. Jangan sampai presiden kehilangan kekuasaan dan legitimasi ditengah kabinetnya sendiri. Karena bila itu terjadi, maka presiden akan juga kehilangan kekuasaan dan legitimasi ditengah masyarakat. Dan ini akan merongrong wibawa presiden dan lembaga kepresidenan.
Solusi atas masalah bangsa ini tentu tidak akan bisa didapat jika yang mencari solusi dan membuat kebijakan adalah orang-orang yang problematik, orang-orang yang bermasalah dan tidak paham tugasnya. -ed