ENERGY – Jaringan Tambang (JATAM) mengecam keputusan Menteri ESDM, Arcandra Tahar yang menyetujui perpanjang izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia hingga 11 Januari 2017.
“Inilah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi,” ujar Direktur Kampanye JATAM, Ki Bagus Hadi Kusuma, di Jakarta, Jumat (12/8).
Jaringan Tambang (JATAM) mengecam keputusan Menteri ESDM, Arcandra Tahar yang menyetujui perpanjang izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia hingga 11 Januari 2017.
“Inilah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi,” ujar Direktur Kampanye JATAM, Ki Bagus Hadi Kusuma, di Jakarta, Jumat (12/8).
Keputusan itu dinilainya tidak hanya sebabkan tumpang tindih peraturan yang ada, bahkan sebuah bentuk pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan.
Dipaparkan Hadi, dalam UU 4/2009 pasal 170 menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya yang telah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam Negeri paling lambat lima tahun sejak diberlakukan yakni 2014. Artinya, setelah tahun 2014 tidak lagi diperbolehkan melakukan ekspor produk mentah atau konsentrat.
Dasar kebijakan pemerintah keluarkan izin ekspor yakni PP 1/2014 dan Permen ESDM 11/2014, menurutnya bertentangan dengan UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Dalam realisasinya pun pemerintah dianggap telah melanggar Permen yang dibuat.
“Peraturan Menteri ESDM 11 tahun 2014 pasal 13 mengatakan perpanjangan ekspor diberikan apabila pembangunan Smelter mencapai 60 persen. Faktanya, hingga April 2016, kemajuan pembangunan smelter Freeport di Gresik hanya 30 persen, namun perpanjangan izin ekspor Freeport tetap diberikan hingga lima kali,” jelas Hadi.
Tak hanya itu, saat sebelum berakhirnya perpanjangan izin ekspor yang ketiga (25 Januari 2016), pemerintah menegaskan tidak akan perpanjang izin ekspor sebelum Freeport membayar dana jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta.
Namun ketentuan ini kembali bisa dinegosiasikan oleh Freeport tanpa membayar sepeserpun dana jaminan smelter, hingga akhirnya mereka mendapat kembali perpanjangan izin ekspor.
“Dengan alasan menyelamatkan pendapatan negara, Pemerintah selalu memberi kenyamanan bagi Freeport untuk terus mengeruk emas di Papua,” kecamnya.
Pada tahun 2014, ungkap Hadi, Freeport menyetor pajak dan royalty sebesar Rp 5,6 triliun. Di tahun yang sama, pendapatan negara dalam APBN sebesar Rp 1.667,1 triliun.
“Artinya, besaran pajak dan royalti yang disetor Freeport tidak sampai 0,4 persen dari pendapatan Negara,” pungkas Hadi. -akt/tm