Dirgahayu 71 Tahun Indonesia Merdeka, Energi Nasional Terima Kado Busuk!
Disaat negara kita mengalami defisit penerimaan negara dari sektor energi dan sumber daya alam, kita telah dipertontonkan suatu drama yang tragis soal pengangkatan seorang Menteri ESDM berkewarganegaraan asing.
Padahal Archandra Tahar sebagai anak bangsa yang pinter dan berprestasi dengan beberapa penemuan dibidang tehnologi “offshore” yang ingin mengabdikan kemampuannya untuk kemajuan bangsa dan negara harus berakhir tragis dan terhempas semakin tidak jelas masa depan dirinya sendiri apalagi untuk memikirkan nasib orang lain.
Bisa jadi dia adalah korban dari lembaga kepresidenan yang dikelola secara tidak profesional, kesalahan administrasi status kewarganegaraan adalah pintu paling mudah menyingkirkannya, sehingga langkah-langkah besar dia mengoreksi kebijakan disektor energi oleh pejabat lama seperti revisi anggaran POD IDD Chevron Kaltim dan Blok Masela dgn skema kilang didarat (OLNG ) serta proyek pembangkit listrik 35.000 MW dianggap mengancam kepentingan elit-elit pemilik modal yang bisa juga terkait elit-elit politik dan itu sdh menjadi rahasia umum, bahkan bisa juga diduga mengancam persiapan mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi persiapan pertarungan tahun 2019.
Sudah tentu timbul banyak pertanyaan di publik adalah hal yang aneh dan mengapa Presiden tidak menggunakan organnya untuk mengecek rekam jejak seorang Menteri, seperti yang sudah dilakukan pada saat pembentukkan Kabinet pertama pada Oktober 2014, mengadakan klarifikasi semua kandidat Menteri ke BIN, KPK dan PPATK.
Demikian juga mengapa mekanisme yang sudah baku selama ini tidak dilakukan, akhirnya yang menyebabkan Presiden salah mengambil keputusannya dalam melantik Menteri ESDM dan telah memberhentikannya.
Padahal biasanya dalam memilih pejabat yang pada level Dirjen dan direksi BUMN strategis, kan sejak dulu melalui pembahasan TPA (Tim Penilai Akhir), contoh semasa Pak SBY, TPA dipimpin oleh Pak Budiono dan sekretarisnya adalah Menteri Seskab , angotanya adalah Mensesneg, Menko dan Menteri terkait usulan Dirjen tersebut dipromosikan.
Sehingga Kementerian Sekretaris Negara yang paling harus diminta pertanggungjawabannya dalam kasus Achandra ini, apalagi dalam Pemerintahan JKW – Jk sekarang malah ada lembaga Kepala Staff Presiden (KSP) untuk mendukung kebijakan Presiden, belum lagi ada tambahan beberapa staff khusus Presiden, yang dulu tidak ada…koq malah produknya makin membuat kacau dan memalukan Presiden dimata rakyat dan dunia.
Akibatnya saat ini Kementerian ESDM saat ini dipimpin oleh Pelaksana tugas yang menurut ketentuannya tidak dapat memutuskan kebijakan yang sangat penting, padhal kementerian yang banyak mengurus soal hajat hidup orang banyak ini juga harus setiap hari mengambil keputusan keputusan penting, seperti penentuan harga minyak Indonesia sebagai patokan transaksi (ICP), persetujuan POD oleh usulan KKKS melalui SKKMigas dan status perpanjangan blok migas yang akan berakhir kontrak PSC serta proses transisi blok migas seperti blok Mahakam.
Apalagi program pembangunan 4 kilang minyak yang selalu digadang Pertamina selama ini juga belum ada tanda-tanda progresnya, baru dalam bentuk berita-berita “angin sorga” saja, belum lagi banyak tender PLTG dan PLTU dari program 35.000 MW masih gagal dalam proses tendernya seperti PLTG Jawa 1, PLTU Jawa 5 dan PLTG Pontianak dll.
Mengingat beratnya masalah defisit energi dan pembenahan tata kelola energi yang cukup rumit sangat dipengaruhi pemburu rente, kita mengharapkan Presiden harus segera mungkin menetapkan Menteri baru yang profesional, loyal pada Bangsa dan Negara, independen serta mempunyai rekam jejak yang baik terbebas dari pengaruh elit-elit parpol, mafia energi dan sumber daya alam.
Merdeka !!!
Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
Jakarta 17 Agustus 2016