*RELAKSASI EKSPOR KONSENTRAT, FAKTA PEMBERONTAKAN KEPADA UNDANG-UNDANG*
_Oleh : Ferdinand Hutahaean_
_Direktur Eksekutif EWI_
Hampir sebulan sudah Kementerian ESDM dipimpin oleh PLT yaitu Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Dan hampir sebulan jugalah banyak kebijakan yang aneh dan serba coba – coba muncul. Mengambil kebijakan strategis yang seharusnya tidak bisa dilakukan oleh seorang PLT Menteri juga menghiasi keruwetan rejim ini. Aneh memang jika Presiden tidak juga menemukan sosok pengganti Archandra Tahar, padahal bangsa ini begitu banyak putra putri terbaik yang nasionalis dan paham tentang arah kebijakan ESDM. *Tapi biarlah keanehan itu juga menjadi bagian dari hak Prerogratif Presiden atau hak suka-suka Presiden*.
Kembali kepada Kementrian ESDM dan kebijakan-kebijakan kontroversial yang dilakukan oleh PLT Menteri ESDM. Ada 2 hal yang paling menggeletik atas pernyataan-pernyataan PLT Menteri ESDM yang kita nilai malah mewakili kepentingan pengusaha dan bukan kepentingan negara. Mungkin karena PLT Menteri ESDM juga berbisnis disektor ini sehingga tentu menimbulkan konflik kepentingan.
*Yang pertama adalah pernyataan tentang agar PLN jangan beli murah batu bara dan kedua tentang relaksasi ekspor konsentrat*. 2 arah kebijakan ini sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan kepada negara akan tetapi terlalu berpihak kepada pengusaha yang entah apa untungnya bagi negara. Belum lagi kalau ditelisik laporan penerimaan dan tunggakan pajak sektor tambang ini akan membuat publik tercengang. Ada sekitar 180 T pajak tak tertagih menurut laporan tahun 2015.
*Relaksasi Ekspor Konsentrat yang sedang digagas oleh PLT Menteri ESDM adalah bentuk nyata pemberontakan terhadap Undang-undang* Ketidak mampuan pemerintah menegakkan Undang-undang malah disiasati dengan merevisi Undang-undang. Ini kegagalan yang diatasi dengan merubah aturan. Mau jadi apa negara ini jika ketidak mampuan menegakkan Undang-undang malah disiasati dengan menggunakan kekuasaan untuk merubah Undang-undang itu sendiri.
Relaksasi Eksport Konsentrat tidak boleh dilakukan. Harus ditolak dengan keras karena itu sama saja akan menempatkan bangsa ini kedalam situasi yang tidak jelas kedepan. Justru pemerintah tugasnya adalah menegakkan Undang-undang, bukan merobah UU seenaknya.
Kita memahami tingkat kesulitan yang dihadapi pengusaha terkait pemenuhan syarat dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang kewajiban ekspor hasil pemurnian produk tambang. Justru disinilah masalah timbul ketika pemerintah abai terhadap posisinya yang harus jadi pembina pengusaha dan bukan pembinasa. Undang-undang Minerba itu sudah bagus dan harus didukung karena ada muatan keberpihakan kepada bangsa. Tentu siapapun yang ingin merobahnya dan mendegradasinya adalah orang-orang yang tidak berpihak kepada bangsa.
Bagaimana semestinya pemerintah mengatasi masalah dilapangan? Kembali kepada kecerdasan pejabatnya menprioritaskan kebijakan yang berguna bagi bangsa dan negara. Mestinya pemerintah menjadi leader dalam sektor ini dan membangun smelter secara komunal. Kumpulkan dan fasilitasi tambang sejenis untuk bangun smelter. Ini akan meringankan beban karena dipikul bersamaan. Dananya dari mana? mestinya dana PMN yang diserahkan ke BUMN itu yang sudah lebih dari 100T digunakan untuk bangun smelter. Ini sektor produktif sesuai pernyataan presiden saat mencabut subsidi BBM. Katanya akan dialihkan kesektor produktif, tapi faktanya dialirkan ke BUMN yang kini tidak jelas rimba PMN itu sampai dimana. Andai itu dilakukan, maka pemerintah akan punya banyak smelter kapasitas kecil yang bisa digunakan secara komunal oleh tambang sejenis. Pengusaha tinggal bayar sewa penggunaan smelter. Negara dapat untung dari sewa dan juga dari hasil pemurnian. Penyerapan tenaga kerjapun meningkat.
Presiden Jokowi ada baiknya banyak mendengar dari luar, jangan hanya mendengar para pembantunya yang sudah sering membuat malu presiden. Ketegasan sikap presiden sangat menentukan masa depan bangsa. Maka itu gagasan relaksasi ekspor konsentrat itu harus ditolak karena bukan solusi dan tidak berpihak pada bangsa.
7/8/16