Keempat belas negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC akhirnya mennyetujui untuk mengurangi produksi pada pertemuan informal di Aljazair pada Kamis (29/09/2016) waktu setempat. Kesepakatan ini adalah yang pertama dalam delapan tahun yang didorong oleh rendahnya harga komoditas minyak di pasar global.
Diketahui, harga minyak telah turun drastis sejak tahun 2014 lalu yakni dari rata-rata USD 105 per barel hingga menyentuh USD 27 per barel pada Februari tahun ini.
Merosotnya harga minyak dilaporkan telah memberi dampak buruk kepada kondisi fiscal sejumlah negara produsen, seperti Arab Saudi yang menurut prediksi Dana Moneter Internasional atau IMF akan menderita defisit anggaran sebesar 13,5 persen, termasuk terbesar di dunia. Begitu juga dengan Venezuela yang menderita hyper inflation hingga ratusan persen tahun ini.
Negara OPEC akan menekan produksi minyaknya dari 33,24 juta barel per hari menjadi hanya kisaran 32,5 hingga 33 juta barel per hari. Diharapkan, harga minyak akan kembali terkatrol dengan ditekennya kesepakatan ini.
“Kami telah sepakat untuk mengurangi produksi sebesar 700.000 barel per hari dan hal ini adalah kesepakatan yang ekspesional mengingat perundingan ini tercapai setelah dua setengah tahun,” kata Menteri Energi Iran, Bijan Zanangeh.
Pasar global menanggapi bullish kesepakatan ini, dengan harga rata-rata komoditas minyak naik sekitar 6 persen. Minyak Brent naik 8 persen pada perdagangan Kamis (29/09/2016) waktu setempat dibandingkan dengan penutupan Rabu (28/09/2016) menjadi USD 49,64 per barel.
Sementara itu, bursa Inggris FTSE juga naik 1 persen, dikatrol oleh kenaikan saham perusahaan-perusahaan minyak seperti British Petroleum yang naik lebih dari 4,4 persen dan Royal Dutch Shell yang menguat 6 persen.
“Kesepakatan ini menjadi titik balik industri minyak dan akan memberi kepercayaan investor dalam jangka waktu menengah,” kata analis dari Ashurst kepada The Guardian.
Kesepakatan Setengah Hati
Namun, kesepakatan OPEC ini masih menyisakan keraguan terkait keberlangsungan persetujuan ini, karena sebagai kartel negara produsen minyak dunia, kontribusi OPEC terhadap total produksi minyak tak sampai 50 persen, jadi patut dipertanyakan apakah persetujuan ini dapat mengontrol negara-negara non-OPEC untuk mengurangi produksi juga.
Terlebih, kesepakatan ini tidak akan mengikat bagi negara-negara produsen minyak non OPEC seperti Amerika Serikat dengan total produksi minyak sekitar 12 persen, Tiongkok dan Kanada dengan masing-masing 5 persen, juga Rusia dengan 13 persen.
Sementara itu, Teheran, yang baru saja terbebas sanksi embargo dari Amerika Serikat sejak Januari lalu tengah berusaha mengembalikan level produktivitas minyaknya, untuk memenangkan pasarnya kembali, juga mendapat kesepakatan eksklusif dengan Arab Saudi untuk tetap memproduksi minyak.
Eksepsi juga diberikan kepada Libya dan Nigeria yang tengah berupaya mengembalikan kegiatan produksi minyaknya yang terhenti akibat krisis politik dan konflik.
“Iran, Nigeria dan Libya dikecualikan untuk memompa produksi minyaknya hingga ke level produksi yang ‘masuk akal’,” demikian kata Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih seperti dikutip Reuters, pada Selasa (29/09/2016) waktu setempat.
Iran dan Arab Saudi sebelumnya juga saling menyaingi satu sama lain di pasar minyak global.
Menurut sumber anonim Reuters, Iran diperbolehkan untuk mempertahankan produksinya hingga 3,7 juga barel per hari.
Produksi Iran tercatat stagnan selama tiga bulan terakhir di level 3,6 juta barel per hari dan pemerintah Iran telah berjanji akan meningkatkan produksinya hingga 4 juta barel per hari, atau setara level sebelum sanksi embargo dijatuhkan.
Dengan normalisasi produksi minyak, Iran tahun ini berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonominya hingga 4 persen tahun ini.
Hal yang sama juga terjadi pada produsen minyak yang dilanda konflik seperti Libya dan Nigeria, yang berusaha menormalisasi produksinya dan merengkuh kembali pasarnya.
Pertentangan juga disuarakan oleh Iraq yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut sama sekali tak menguntungkan Baghdad.
“Angka pembatasan produksi tersebut sama sekali tak mencerimnkan realita, jika pada November nanti tak terjadi perubahan, Iraq tak akan menerima kesepakatan ini,” kata Menteri Energi Iraq Jabar Ali Al-Luaibi.
Kemudian, kesepakatan ini juga tidak berbicara mengenai berapa produksi minyak yang harus dikurangi setiap negara produsen untuk mencapai 700.000 barel per hari.
“Tanpa alokasi pembatasan per negara OPEC, berarti memberikan ruang yang luas para produsen untuk bernegosiasi,” kata analis dari Morgan Stanley, Adam Longson, seperti dikutip Financial Times.
Dia menambahkan bahwa dalam praktiknya, adalah wajar bagi negara OPEC, untuk memproduksi lebih banyak daripada kuota yakni 33 juta barel per hari.
Industri Penerbangan Terpukul
Sejenak setelah kesepakatan ini ditekan, saham-saham maskapai penerbangan dunia menunjukkan reaksi negatif dengan Indeks Maskapai Bloomberg menunjukkan pelemahan sebanyak 0,3 persen. Saham maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa, turun 2,9 persen dan maskapai domestik Inggris RyanAir Plc juga merosot 2,3 persen.
Industri penerbangan selama ini juga dinilai berkepentingan terhadap naiknya harga minyak dunia, karena dengan kenaikan ini maskapai diperkirakan tak dapat menerapkan harga tiket yang terjangkau.
Begitu juga industri otomotif yang diprediksi akan terpengaruh langsung terhadap bahan bakar, namun menurut para analis kenaikan ini mempunyai dampak yang terbatas.
“Kesepakatan tersebut bukan lah hal yang cukup signifikan untuk mempengaruhi pasar dan industri lain, karena terlalu kecil,” katanya.