ENERGYWORLD – Pengamat dari Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan pembentukan holding BUMN harus dengan skema dan tujuan yang jelas. Pemerintah tidak bisa terburu-buru meski mendapatkan arahan langsung soal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari Presiden Jokowi.
Keputusan inbreng itu sesungguhnya penuh dengan anomaly. Pasalnya, PGN yang sudah go-public mestinya lebih transparan, memiliki kemampuan dan pengalaman di sektor gas, bahkan mampu membiayai pembangunan infrastruktur gas tanpa APBN, namun justru dalam RPP tersebut dinyatakan akan dikuasai oleh Pertamina.
“Holding (energi) ini hanya simplifikasi karena mencaplok PGN sebagai anak usaha Pertamina. Kalau benar seperti itu, hakekat holding salah tujuan,” ujar Fahmy dalam diskusi Pembentukan Holding Quo Vadis Arah Kebijakan di Indonesia? di Center of Reform in Economics (CORE), Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2016).
Pemerintah tidak bisa terburu-buru meski mendapatkan arahan langsung dari Presiden Jokowi. Sejak Presiden Joko Widodo memerintahkan holdingisasi seluruh BUMN, Menteri BUMN Rini Soemarno langsung bergerak cepat untuk membentuk holding BUMN di semua sektor, dengan prioritas pembentukan holding Energi. Rini Soemarno bahkan sudah memproses Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai dasar hukum, yang konon sudah di meja Presiden Jokowi untuk ditandatangani.
“Holding harus jelas, tidak boleh grasak-grusuk. Jokowi memerintahkan holdingisasi semua BUMN, Rini (Menteri BUMN) gerak cepat dan beri tugas, holding energi sudah dalam proses,” ujar Fahmy.
Dalam RPP itu disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke Pertamina. PMN tersebut diambilkan dari pengalihan saham seri B milik negara yang ada pada PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk kepada Pertamina (inbreng). RPP itu tidak menyebutkan sama sekali konsep, tujuan dan proses pembentukan holding energi.
Konsep pembentukan holding energy terungkap hanya simplifikasi penunjukan PT Pertamina sebagai perusahaan holding, yang akan “mencaplok” PT. PGN Tbk melalui mekanisme inbreng. Selain konsepnya tidak jelas, tujuannya pun juga sangat naïve. Lantaran, tujuannya hanya untuk memperkuat struktur modal Pertamina dalam waktu singkat, sehingga memudahkan untuk mendapatkan tambahan utang pada 2018. Ujung-ujungnya, utang Pertamina itu diprediksi akan diperoleh dari China, seperti dilakukan Rini Sumarno sebelumnya dalam mencarikan utang tiga BUMN Perbankan.
Langkah pengambilan keputusan terhadap sektor energi seharusnya dilakukan dengan hati-hati dan dengan kajian mendalam. Sangat disayangkan bahwa hasil kajian yang dibuat dalam rangka persiapan RPP tersebut ternyata tidak lebih sebagai justifikasi keputusan inbreng.
Keputusan inbreng itu sesungguhnya penuh dengan anomaly. Pasalnya, PGN yang sudah go-public mestinya lebih transparan, memiliki kemampuan dan pengalaman di sektor gas, bahkan mampu membiayai pembangunan infrastruktur gas tanpa APBN, namun justru dalam RPP tersebut dinyatakan akan dikuasai oleh Pertamina.
“Padahal BUMN itu belum terbuka, belum memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup di distribusi sektor gas, bahkan Pertamina masih mengandalkan sumber dana dari APBN. Hal ini jelas menunjukkan bahwa konsep holding energy, yang hanya dilakukan Pertamina mencaplok PGN, justru bertentangan dengan tujuan pengelolaan sektor energi Indonesia,” tandas Fahmy. | ATA/EWINDO