Oleh Dr Fahmy Radhi *)
Pembentukan holding energi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan, lantaran holding energi diyakini dapat memperkuat struktur asset dan modal, serta mencapai efisiensi sehingga BUMN bisa lebih kompetitif dalam memasuki persaingan global. Namun, pembentukan holding energi tanpa disertai konsep dan tujuan yang jelas, serta dibentuk secara tergesa-gesa justru dikhawatirkan akan berpotensi memperlemah bisnis BUMN energy.
Sejak Presiden Joko Widodo memerintahkan holdingisasi seluruh BUMN, Menteri BUMN Rini Soemarno langsung bergerak cepat untuk membentuk holding BUMN di semua sektor, dengan prioritas pembentukan holdingEnergi. Rini Soemarno bahkan sudah memproses Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai dasar hukum, yang konon sudah di meja Presiden Jokowi untuk ditandatangani.
Dalam RPP itu disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke Pertamina. PMN tersebut diambilkan dari pengalihan saham seri B milik negara yang ada pada PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk kepada Pertamina (inbreng). RPP itu tidak menyebutkan sama sekali konsep, tujuan dan proses pembentukan holding energi.
Konsep pembentukan holding energy terungkap hanya simplifikasi penunjukan PT Pertamina sebagai perusahaan holding, yang akan “mencaplok” PT. PGN Tbk melalui mekanisme inbreng. Selain konsepnya tidak jelas, tujuannya pun juga sangat naïve. Lantaran, tujuannya hanya untuk memperkuat struktur modal Pertamina dalam waktu singkat, sehingga memudahkan untuk mendapatkan tambahan utang pada 2018. Ujung-ujungnya, utang Pertamina itu diprediksi akan diperoleh dari China, seperti dilakukan Rini Sumarno sebelumnya dalam mencarikan utang tiga BUMN Perbankan.
Langkah pengambilan keputusan terhadap sektor energi seharusnya dilakukan dengan hati-hati dan dengan kajian mendalam. Sangat disayangkan bahwa hasil kajian yang dibuat dalam rangka persiapan RPP tersebut ternyata tidak lebih sebagai justifikasi keputusan inbreng. Dalam kajian itu, dikemukakan kondisi Pertamina secara komprehensif, lalu kesimpulannya mengerucut pada rencana saham milik negara di PGN ke Pertamina dengan mekanisme inbreng, yang mengtasnamakan kepentingan perbaikan sector energy.
Keputusan inbreng itu sesungguhnya penuh dengan anomaly. Pasalnya, PGN yang sudah go-public mestinya lebih transparan, memiliki kemampuan dan pengalaman di sektor gas, bahkan mampu membiayai pembangunan infrastruktur gas tanpa APBN, namun justru dalam RPP tersebut dinyatakan akan dikuasai oleh Pertamina. Padahal BUMN itu belum terbuka, belum memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup di distribusi sektor gas, bahkan Pertamina masih mengandalkan sumber dana dari APBN. Hal ini jelas menunjukkan bahwa konsep holding energy, yang hanya dilakukan Pertamina mencaplok PGN, justru bertentangan dengan tujuan pengelolaan sektor energi Indonesia. Saat ini Indonesia butuh percepatan pembangunan infrastruktur gas, ditambah pula kondisi APBN yang sedang memprihatinkan, maka seharusnya yang diperkuat di sektor gas adalah yang transparan, berkemampuan, berpengalaman dan tidak membebani APBN. Masalah lainyang saat ini dihadapi Indonesia adalah mahalnya harga gas di konsumen industri. Holding energy tidak secara langsung bisa mengatasi, baik permasalahan kecukupan infrastruktur, maupun menurunkan harga gas.
Perlu dipahami bahwa pembentukan holding energi bukanlah merupakan tujuan, melainkan sebagai opsi untuk mencapai pengelolaan sektor energi demi ketahanan dan kedaulatan energi. Meskipun demikian, proses pembentukan holding energy tidak boleh terburu-buru, tapi harus dilakukan secara bertahap. Prosesnya seharusnya didahului dengan mensinergikanseluruh BUMN yang mengelola sub-energi sebagai anak perusahaan dibawah Perusahaan holding yang direncanakanakandibentuk. Sinergi dilakukan pada BUMN sub-energi yang mempunyai lini bisnis yang sama, seperti PGN dengan Pertagas, dan yang mempunyai karakteristik integrasi horizontal, seperti PT PertaminaGeothermal Energy (PGE) dengan PT PLN. Setelah tahapan sinergi seluruh BUMN sub-energi sudah selesai secara total, barulah dilakukan asesmen untuk membentuk perusahaan holding, bukan menunjuk Pertamina sebagai perusahaan holding.
Pembentukan holding energi di Bulgaria bisa digunakan sebagai benchmarking. Sebelum dibentuk Bulgaria Energy Holding,Pemerintah Bulgaria mengawali dengan mensinergikan setiap BUMN Energi yang mengelola sub-energi seperti batubara, listrik dan gas bumi. Tujuannya adalah untuk penguatan dan pendalaman usaha di setiap BUMN energi, serta pematangan infrastruktur energi. Setelah sinergi terjadi secara total dan pembangunan infrastruktur sudah matang, pemerintah Bulgaria baru membentuk perusahaan baru sebagai holding energi.
Kurang tepat kalau menggunakan pembentukan holding Pupuk dan Semen sebagai benchmarking. Pasalnya, kedua holding yang melibatkan beberapa perusahaan tersebut mempunyai produk yang homogin, sedangkan produk yang dihasilkan BUMN energi sangat heterogin. Kendati holding Pupuk dan Semen mempunyai homoginitas yang tinggi, namun proses integrasi tetap saja membutuhkan waktu lama, utamanya untuk mengatasi berbagai perbedaan dan konflik internal pasca pembutukan holding Pupuk dan Semen. Tidak diragukan lagi, proses holding energi yang mempunyai usaha heterogin tentunya akan lebih kompleks dan memerlukan waktu yang lebih lama ketimbang proses pembentukan holding Pupuk dan Semen.Jangan sampai hanya karena dorongan pihak tertentu justru tata kelola energi yang sudah terperbaiki selama ini justru mengalami kemunduran dengan adanya kekisruhan terkait RPP pembentukan holding Energi.
Berhubung pembentukan holding energi terungkap tanpa konsep dan tujuan yang jelas, serta proses yang tergesa-gesa, Pemerintah harus memproses ulang pembentukan holding energi. Proses ulang diawali dengan mensinergikan seluruh BUMN Energi, terdiri: BUMN Minyak dan Gas (Migas), BUMN Mineral dan Batubara (Minerba), BUMN Listrik, dan BUMN Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pada saat sinergi sudah terjadi secara total, Pemerintah mendirikan BUMN Baru, yang 100 persen sahamnya dikuasai negara, untuk berperan sebagai Perusahaan holding energy. Bukan dengan menunjuk Pertamina sebagai Perusahaan holding BUMN energi
Dr Fahmy Radhi adalah Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas.