Kalangan industri punya alasan untuk optimistis terhadap prospek dunia industri tahun depan, karena pemerintah tengah menyusun rumusan penurunan harga gas untuk industri maupun keperluan umum lainnya tahun depan.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajarannya untuk menurunkan harga gas, yang akan berlaku efektif tahun depan. Perintah penurunan harga gas tersebut dikemukakan saat rapat koordinasi di Istana Negara, Jakarta yang berlangsung kemarin (04/10/2016).
“Saya kemarin hitung-hitungan, hitung-hitungan, ketemunya saya kira antara USD 5 hingga USD 6 per MMBTU. Kalau enggak angkanya itu enggak usah dihitung saja. Syukur di bawah itu,” tegas Jokowi, sembari menekankan bahwa formulasi baru harga gas akan selesai pada bulan November mendatang.
Jika terealisasi, angka tersebut akan jauh lebih murah daripada harga gas yang berlaku saat ini yakni sebesar USD 9,5 per MMBTU bahkan pada praktiknya, harga gas dapat mencapai USD 11 hingga USD 12 atau sekitar dua sampai tiga kali lipat dari negara-negara industri seperti Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan yang mematok sekitar USD 4 hingga USD 4,5 per MMBTU untuk harga gas industri.
Sedangkan, negara tetangga seperti Vietnam, masih mematok harga gas industri lebih murah daripada Indonesia dengan USD 7 per MMBTU, begitu juga dengan Singapura dan Malaysia yang mematok harga gas sebesar USD 4 per MMBTU.
Harga gas yang tinggi di Indonesia ini dinilai janggal, karena Indonesia masuk ke dalam jajaran negara-negara dengan cadangan gas terbesar di dunia. Menurut BP Statistics 2014, Indonesia mempunyai 103,3 triliun kaki kubik (TCF) cadangan gas alam dan menempati nomor ke-14 atau kedua terbesar di Asia setelah Tiongkok yang memiliki 115,6 TCF cadangan gas alam.
Sementara itu, negara-negara diatas yang memiliki harga gas lebih rendah dari Indonesia justru hanya berstatus sebagai importir, kecuali Malaysia dan Tiongkok.
Menurut Jokowi, harga gas yang tinggi akan menyulitkan industri domestik untuk bersaing di tingkat internasional. Maka, penurunan harga gas diharapkan akan memperbaiki iklim industri dan investasi, terutama untuk industri keramik, tekstil, petrokimia, pupuk, baja yang bergantung pada gas alam.
Khusus untuk industri pupuk, harga gas alam bahkan berkontribusi terhadap 70 persen dari keseluruhan ongkos produksi.
“Harga gas harus tetap menarik investor untuk investasi di sektor hulu serta mendukung pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi. Pertimbangkan pula aspek keberlanjutan di semua sisi, baik sisi investasi maupun sisi memperkuat daya saing industri kita,” katanya.
“Jangan sampai produk industri kita kalah bersaing hanya gara-gara masalah harga gas kita yang terlalu mahal,” tambah Jokowi, seperti dikutip dari halaman situs Kementerian Sekretaris Kabinet.
Hitungan pemerintah, jika harga gas turun sebesar USD 1 per MMBTU, maka akan menimbulkan dampak berupa tambahan penerimaan pajak Rp 12,3 triliun dan efek berantai pada ekonomi Rp 68,9 triliun.
Disambut Kemenperin
Perintah Jokowi kepada jajarannya untuk menekan harga gas, disambut oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang menyatakan bahwa harga gas yang rendah dapat mendorong perekonomian domestik.
Airlangga mengatakan sebelumnya pihaknya telah mengusulkan harga gas lebih rendah diperluas menjadi 11 sektor industri dan industri-industri lainnya yang berlokasi di kawasan industri, untuk menerima harga gas yang jauh lebih murah sebesar USD 6 per MMBTU.
Usulan tersebut telah diajukan sejak Agustus lalu mengusahakan agar industri dengan penggunaan gas sebagai bahan baku dan bahan bakar yang signifikan, yakni sekitar 30 persen dari total biaya produksi barang juga mendapatkan diskon harga gas.
Saat ini, harga gas yang murah hanya berlaku di tujuh industri seperti industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet yang berlaku sejak Januari tahun ini, setelah Jokowi menandatangani Peraturan Presiden no.40/2016.
Dalam aturan tersebut, industri-industri diatas mendapatkan diskon USD 2 per MMBTU, jika harga gas mencapai lebih dari USD 6 MMBTU. Aturan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan harga pasar internasional, daya beli konsumen dan nilai tambah pemanfaatan gas.
Dia lebih lanjut mengakui bahwa dalam aturan penurunan harga gas selanjutnya, perlu adanya perbaikan regulasi dalam upaya penurunan harga gas industri di dalam negeri terutama di sektor hilir.
“Orientasi penetapan harga gas industri yang baru harus memberikan dampak luas bagi pembangunan industri nasional dan menjadi substitusi impor dan itu didorong untuk memperkuat daya saing industri kita,” jelasnya.
Dia memperkirakan penurunan harga gas akan berefek pada penghematan sebesar Rp 31 triliun per tahun untuk industri.
“Penurunan harga gas di sektor hulu diperkirakan sekitar USD 4 per MMBTU. Kemudian, ongkos distribusi sekitar USD 1,5 hingga USD 2 per MMBTU, maka harga yang diperoleh di pabrik sebesar USD 6 per MMBTU,” katanya.
Dengan pemangkasan harga tersebut, lanjut Airlangga, Indonesia bakal mengalami penaikan Produk Domestik Bruto hingga Rp 289,7 triliun.
Digerogoti Para Tengkulak
Masih dalam rapat tersebut, Jokowi mengemukakan bahwa tingginya harga gas di Indonesia akibat rantai pasokan yang terlalu panjang. Oleh karena itu, dia menugaskan kepada jajarannya untuk menjadikan harga gas lebih efisien.
Bukan rahasia lagi, keberadaan para tengkulak atau perusahaan perantara perdagangan gas yang berlapis-lapis yang turut menraup untung dari gas ini semakin memperumit struktur harga gas sekaligus pembangunan infrastruktur gas alam di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk menekan peran para tengkulak di industri gas, telah berlangsung sejak di keluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.37/2015 tentang tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.
Aturan tersebut mengatur prioritas alokasi gas alam yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD. Tetapi, setelah dikeluarkannya aturan tersebut, sejumlah pihak-pihak yang berkepentingan kemudian menekan pemerintah untuk merevisi aturan tersebut, dengan alasan aturan ini akan menghancurkan pihak swasta dan mereduksi penyerapan tenaga kerja.
Hasilnya, pemerintah memperhalus ketentuan tersebut dan mengeluarkan permen ESDM No.6/ 2016 yang memasukkan klausul ketentuan alokasi gas alam kepada pihak swasta yang telah mempunyai infrastruktur. Namun, dalam pasal 35 ayat kedua, pemerintah memberikan waktu sekitar dua tahun. Artinya, bagi para tengkulak yang tak mempunyai infrastruktur masih dapat beroperasi hingga dua tahun kemudian.
Tak pelak, dengan adanya revisi tersebut justru menghambat usaha pemerintah sendiri memotong rantai panjang distribusi gas kepada konsumen dan menyebabkan harga gas Indonesia menjadi mahal.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Faisal Basri mengusulkan kepada pemerintah untuk menertibkan praktik para tengkulak gas alam.
Menurutnya yang mengacu pada data Kementerian ESDM tentang struktur harga beli gas Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk industri di Medan, Sumatera Utara menunjukkan harga gas berasal dari dua sumber pasokan yakni gas alam cair (LNG) sebesar USD 7,8 per MMBTU dan pipa sebesar USD 8,24 per MMBTU.
Untuk sumber pasokan gas alam cair harga tersebut ditambah biaya regasifikasi USD 1,5 per MMBTU, transmisi Arun-Belawan USD 2,53 per MMBTU, dan biaya tengkulak USD 1,55 hingga USD 2 per MMBTU, yang terdiri dari marjin USD 0,35 per MMBTU, gross heating value (GHV) losses USD 0,33, own used and boil off gas (BOG) sebesar USD 0,65, dan cost of money sebesar USD 0,75. Dengan pembebanan biaya tersebut, maka didapat total USD 13,38 hingga USD 13,88.
Sementara itu, untuk sumber pasokan pipa hanya dikenakan tambahan USD 0,9 per MMBTU yang menjadikan total harga menjadi USD 9,4 per MMBTU.
Jika dirata-rata maka diperolah harga gas dari PGN sebesar USD 11,28 per MMBTU, dan masih ditambah biaya pemeliharaan, pengelolaan, dan distribusi sebesar USD 1,35 per MMBTU. Maka didapat harga di tingkat pelanggan industri di Medan adalah USD 12,61 per MMBTU. |RMN