Pemerintah mengklaim bahwa harga gas pipa di Indonesia untuk tingkat konsumen Indonesia masih cukup kompetitif, bahkan lebih murah daripada Tiongkok yang mematok harga USD 15 per MMBTU.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Migas I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan harga gas Indonesia yang rata-rata USD 8,3 per MMBTU tak berbeda jauh dengan harga di negara tetangga Malaysia yang mematok USD 6,6 per MMBTU dan Thailand dengan USD 7,7 MMBTU.
Menurut Wirat skema penetapan harga gas tiap negara berbeda-beda bergantung pada kondisi ekonomi masing-masing, untuk kondisi saat ini, dimana harga minyak sedang rendah dan rendah, maka harga LNG yang terindeksasi ke minyak, maka negara dengan portofolio impor LNG dan atau harga terindeksasi ke harga minyak, memiliki harga yang lebih rendah.
Sedangkan untuk kasus Indonesia, Wirat menjelaskan harga gas di konsumen rata-rata sebesar USD 8,3 per MMBTU, di mana harga di hulu USD 5,9 per MMBTU, ditambah biaya transisi USD 0,9 per MMBTU dan distribusi USD 1,5 per MMBTU. Indonesia menggunakan sistem keekonomian di hulu atau fixed price dengan eskalasi.
Namun, yang terjadi di Indonesia yang menggunakan skema fixed price dengan eskalasi, terjadi anomali dimana harga gas cair atau LNG lebih murah dibandingkan harga gas pipa karena harga LNG ditetapkan mengikuti harga minyak.
“Ini kita perlu bahas lebih lanjut karena pada saat kita membangun sistem fix price, tidak dibayangkan harga minyak akan turun sebegitu drastis,” ujarnya, seperti dipublikasikan dari situs kementerian, esdm.go.id, hari ini.
“Sementara, Malaysia, harga gas di konsumen rata-rata US$ 6,6 per MMBTU, terdiri dari harga di hulu US$ 4,5 per MMBTU, transmisi US$ 1,6 per MMBTU dan distribusi US$ 0,5 per MMBTU. Negara ini menggunakan skema subsidi, jadi bagian untuk negaranya tidak diambil, pakai sistem subsidi,” kata Wirat.
Di Thailand, harga gas rata-rata USD 7,5 per MMBTU, terdiri dari harga di hulu USD 5,5 per MMBTU, transmisi USD 0,8 per MMBTU dan distribusi USD 1,2 per MMBTU. Thailand menggunakan patokan harga minyak untuk skema harga minyak.
“Thailand karena dia sebagian besar gasnya impor, di-link ke harga minyak. Kalau harga minyak tinggi, harga gas tinggi. Kalau harga minyak turun, harga gasnya turun,” papar Wirat. |MRN