Tulisan ini sangat menyentuh dan kami lansir kembali meski sudah setahun lalu. Kami kutip dari theguardian.com.
Melihat permasalahan Rohingya hanya sebatas dengan sudut pandang sentimen agama adalah suatu hal yang cukup naïf dan cenderung mereduksi akar permasalahan utama dalam konfigurasi ekonomi-politik di Myanmar dan juga Dunia. Dalam perspektif ilmu politik, “agama” itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi pendorong perdamaian, namun disisi yang lain bisa dengan mudah diprovokasi untuk memicu konflik sosial. Faktor ekonomi-politik dan kesadaran menjadi pendorong ke sisi mana agama tersebut akan dibawa.
Kekerasan sistematis terhadap etnis Rohingya yang beragama muslim oleh warga mayoritas Budha (terutama etnis Arakan) di Myanmar bukanlah kekerasan antar agama yang tak terdamaikan. Dengan analisa sentimen agama tersebut kita tak akan dapat membaca bagaimana hubungan intim Amerika Serikat dengan penguasa feodal Bani Saud di Arab Saudi, tentang invasi Arab Saudi ke Yaman yang dibantu AS dan Israel, tentang politik Arab Saudi yang membiayai oposisi yang berperang dengan Bashar Assad di Suriah, tentang kemunculan Al-Qaeda ataupun ISIS yang disponsori Arab Saudi dan AS atau juga tentang bagaimana politik luar negeri AS selama puluhan tahun mensponsori diktator-diktator militer Amerika Latin pembunuh ribuan rakyatnya yang, sebagaimana mayoritas penduduk negeri adidaya itu, mengimani Injil. Jadi akar konflik tersebut bukanlah agama, akan tetapi uang dan kekuasaan.
Dalam diskusi MAP Corner-klub MKP UGM yang diselenggarakan pada Kamis, 28 Mei 2015, Hasrul Hanif (Dosen JPP UGM) sebagai pemantik diskusi mencoba menggunakan pisau analisis ekopol dalam melihat konflik Rohingya. Hal tersebut membuat diskusi ini menjadi sangat menarik, karena melihat Rohingya dengan sudut pandang berbeda. Artinya dibalik kekerasan atau genosida terhadap etnik Rohingya di Myanmar yang disponsori oleh pemerintah Myanmar ini, tak bisa dilepaskan oleh adanya kepentingan ekonomi dan kekuasaan di belakangnya, yakni minyak dan gas alam.
Myanmar, sebagaimana dilaporkan Forbes, diperkirakan memiliki cadangan migas sebesar 11 triliun dan 23 triliun kaki kubik, hal tersebut membuat perusahaan multinasional asing berebut mendapatkan kesepakatan mengeksplorasinya. Selain itu Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang menguntungkan, terutama bagi China, karena merupakan akses pada laut India dan laut Andaman.
Hasrul Hanif melihat Myanmar sebagaimana juga Indonesia, Negeria, ataupun Angola adalah negara-negara yang memiliki sumber daya alam besar, namun keadaan tersebut menjadikannya terkena “kutukan” sumber daya alam (The Resource Curse). Artinya, adanya sumber daya alam yang besar tersebut tidak lantas menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya, akan tetapi justru sebagai sumber konflik, seperti: Secessionist conflict,konflik sosial/land Grabbing dan Petro-Agression. Negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam besar, menjadi miskin akibat kutukan ini atau peribahasanya “ayam mati di lumbung padi”. Itu terjadi karena penguasaan terhadap sumber daya alam, dikuasai oleh mereka yang memiliki kekuatan modal besar dan juga negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi dunia seperti AS dan pemain baru China, sehingga distribusi terhadap sumber daya alam tersebut tidak sampai kepada masyarakat kelas bawah.
AS sebagai negara yang menguasai ekonomi dunia tak bisa melepaskan dirinya terhadap minyak. Dominasi penguasaan minyak dapat membuat AS mengontrol secara efektif ekonomi global selama 50-an tahun mendatang (Harvey, 2010). Invasi yang dilakukan oleh AS ke Irak, Afganistan, Libya, kini Suriah dan berselingkuh dengan rezim, meminjam Harvey, macan ompong Arab Saudi, tak bisa dipisahkan dari upaya untuk mengontrol migas di Timur Tengah. Itu karena siapapun yang mengontrol Timur Tengah akan mengontrol jalur minyak global dan siapapun yang mengontrol jalur minyak global berarti akan bisa mengontrol ekonomi global.
China sebagai kekuatan ekonomi baru, juga memiliki kepentingan besar terkait migas. Tanpa minyak, maka kekuatan militer setangguh apapun tak akan ada gunanya kerena kapal, pesawat ataupun tank perang hanya akan menjadi benda-benda rongsokan yang tak dapat bergerak tanpa sentuhan emas hitam ini. Itulah mengapa penguasaan minyak menjadi penting untuk menyuplai kekuatan militer mereka untuk sekarang dan masa mendatang. Ketika Timur Tengah sulit untuk mereka rebut dari tangan AS, China berupaya menginvasi ladang-ladang minyak di Afrika seperti Angola dan Nigeria. Sejak Myanmar membuka diri pada tahun 2011, ekspansi China tak lagi tertahankan. Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang penting dan strategis bagi kepentingan China, seiring dengan adanya Shwe Pipeline (Jalur Pipa Shwe)yang telah menghubungkan distribusi migas dari Afrika dan Timur Tengah ke China (lihat gambar 1.0).
Gambar. 1.0
Jalur Pipa Shwe, menurut Hasrul Hanif, merupakan Joint venture antara China National Petroleum Corporation, induk Petrocina, dan Myanmar Oil & Gas Enterprise , perusahaan milik Junta Militer, dengan titik strategis di pelabuhan Sitwee , Arakan, melewati 21 daerah termasuk beberapa daerah rawan konflik etnis di Utara Myanmar. China sangat berkepentingan dengan jalur pipa ini untuk membawa migas ke negaranya dengan total investasi mencapai US $29 billion selama 3 dekade. Hal tersebut membuat rezim Junta Militer di Myanmar harus memastikan bahwa wilayah jalur pipa harus aman. Sedangkan proyek gas Shwe merupakan kerjasama rezim Junta Militer dengan perusahaan India dan Korea Selatan. Proyek ini berencana memproduksi 500 juta kaki kubik (Mcfd) gas per hari selama 30 tahun, memasok 400 Mcfd ke Cina, dan 100 Mcfd tersisa untuk pabrik yang dimiliki oleh pemerintah Burma, militer dan elit bisnis terkait.
Penduduk Rohingya yang berada dikawasan geo-politik strategis China di Myanmar dipaksa menyingkir dari kawasan tersebut, karena dianggap mengancam Jalur Pipa Shwe. Kurang lebih begitu benang merah penjelasan Hasrul Hanif dalam diskusi MAP Corner-klub MKP UGM tersebut. Penjelasan tersebut bagi saya mengalami keterpotongan dan tak mampu menjawab pertanyaan tentang mengapa masyarakat sipil Burma yang melakukan pengusiran terhadap Rohingya? Strategi apa dan untuk siapa kekerasan itu dilakukan? Mengapa Pemerintah burma menggunakan strategi rasisme? dan apa implikasinya?
Hal penting yang ditinggalkan dalam analisa Hasrul Hanif adalah dampak sosial ekonomi akibat proyek Gas dan Jalur Pipa Shwe ini yang kemudian melahirkan krisis politik akibat marginalisasi ekonomi. Krisis tersebut yang telah membesar menjadi bola salju kemudian dilempar ke isu rasis oleh kelas penguasa hingga terjadi konflik kekerasan terhadap etnik Rohingya (minoritas) oleh kelompok masyoritas di Myanmar demi menjaga kepentingan kelas penguasa.
Proyek Gas dan Jalur Pipa Shwe yang mengeksplorasi gas alam bawah laut di lepas pantai barat Myanmar dan dual pipa gas yang dibangun melewati negara bagian Arakan, Shan dan Central Burma telah menghancurkan kehidupan nelayan karena hampir sepertiga terumbu karang rusak di barat Myanmar, membuat ekosistem laut tercemar dan membuat nelayan menjadi susah mendapatkan ikan. Selain itu proyek ini juga telah merampas ribuan hektar tanah dari 2010 sampai 2011 yang telah membuat puluhan ribu orang menganggur. Selama regim Junta Militer berkuasa, Myanmar menjadi negara termiskin di Asia Tenggara dan sepertiga penduduknya berada dalam kemiskinan akut dan hanya 20 keluarga di Myanmar yang menguasai setengah lebih ekonomi Myanmar.[1]
Kontradiksi ekonomi dan politik yang ada di Myanmar ini yang dapat menjelaskan bangkitnya nasionalisme dan fundamentalisme agama yang bercampur dengan islamopobhia dan rasisme. Ketimpangan ekonomi dan kebijakan negara neoliberal yang tak memihak rakyat telah menciptakan keresahan dan itu memuncak pada Desember 2011 ketika pembangunan Jalur Pipa Shwe memicu kemarahan besar dan kerusuhan di kota Arakan dan sekitarnya. Ketidakstabilan politik tersebut akan dapat mengancam kekuasaan penguasa dan kelas-kelas atas, sehingga dalam rangka menciptakan stabilitas dan mengalihkan kemarahan, maka dibuatlah (baik riil ada ataupun sengaja) “musuh bersama”.
Posisi Rohingya yang merupakan etnis minoritas dengan agama minoritas menjadikannya digambarkan sebagai “bukan bagian dari kita” (oleh etnis atau kelompok mayoritas). Proses tersebutlah yang menciptakan rasisme. Arti penting dari sentimen nasionalisme dan sentimen agama ini adalah sebagai sumber legitimasi politik bagi kelas-kelas penguasa yang berada dalam kelompok mayoritas. Kampanye islamophobia dan rasisme terhadap Rohingya dapat dilihat sebagai upaya untuk mengalihkan kemarahan besar rakyat (akibat kemiskinan dan penindasan di Myanmar). Dari kemarahan terhadap elit penguasa yang menjalankan kebijakan neoliberal melalui proyek Gas dan Jalur Pipa Shwe menjadi dilempar ke kemarahan terhadap etnis minoritas Rohingya (digambarkan terbelakang, anti kebebasan dan fanatik). Kampanye rasisme ini sekali lagi adalah untuk menjaga kepentingan penguasa dan elit-elit borjuasi dari ancaman kemarahan massa.
Dalam pemaparan permasalahan Rohingya dari sudut pandang analisa ekonomi-politik ini, dapat disimpulkan bahwa konflik terhadap Rohingya bukanlah konflik antar agama atau antar etnis. Akan tetapi adalah konflik yang berakar dari konfigurasi besar kontradiksi yang berada di dalam jantung kapitalisme terkait kepentingan untuk mendapat dan meneguhkan kekuasaan dan meraup pundi-pundi uang melalui penguasaan migas. Artinya tidak peduli disana berada etnis Rohingya yang beragama muslim, atau etnis yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha atau bahkan Atheis, selama mereka berposisi sebagai etnis Rohingya sekarang (minoritas, berada dalam geo-politik strategis dan tengah dalam kondisi krisis ekonomi dan politik serta kemarahan rakyat), maka mereka pasti akan dihajar dengan kampanye genosida oleh kelompok elit-elit penguasa melalui provokasi rasisme dengan kaki-tangan masyarakat dari kelompok mayoritas.***
Catatan:
[1]http://www.theguardian.com/environment/earth-insight/2013/apr/26/fossil-fuel-secret-burma-democratic-fairytale/