Home BUMN “Gagal Paham Atas Sikap BUMN Siap Beli Saham PT Freeport Indonesia “

“Gagal Paham Atas Sikap BUMN Siap Beli Saham PT Freeport Indonesia “

1017
0

” Gagal Paham Atas Sikap BUMN Siap Beli Saham PT Freeport Indonesia ”

Terkesima saya membaca sikap Kementerian BUMN oleh Deputy Bidang Usaha Pertambangan , Industri Strategis , dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno diberbagai media cetak ( 3/3/2017) menyatakan bahwa ” Kami sanggup membeli saham PT Freeport Indonesia (FTFI) dan sudah berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri ESDM menyampaikan kesiapan dan menjelaskan skema pembiayaannya, termasuk juga saat ini Pemerintah lagi mempersiapkan pembentukan induk perusahaan Holding Tambang ” .

Bisa jadi sikap Kementerian BUMN ini lebih menpertontonkan ke publik sesungguhnya selama ini mereka telah “tertidur pulas dan baru terbangun dari mimpi indahnya ” , sehingga tidak paham atas persoalan telah menerpa Pemerintah yang tidak kunjung selesai sejak januari 2014 sd saat ini untuk menggiring PT Freeport Indonesia untuk dapat menyesuaikan Kontrak Karya ke UU Minerba nomor 4 thn 2009 , khususnya soal realisasi divestasi saham 51% , pajak dan royalti serta membangun smelter untuk pemurnian mineral mentah yang dapat meningkat penerimaan negara berlipat dan berefek ganda bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Apalagi mengacu harga tawaran nilai saham 10 , 63 % oleh PT FI kepada Pemerntah diawal tahun 2016 adalah seharga USD 1, 7 miliar dan sementara menurut taksiran oleh Kementerian ESDM berdasarkan Permen ESDM nmr 27 tahun 2013 ternyata harga yang wajar USD 630 juta , tentu sampai habis kontrakpun tidak didapat kesepakatan harga yang wajar antar para pihak , apalagi ketika dihubungkan dengan waktu berakhir kontrak pada tahun 2021 tentu kebijakan membeli saham saat ini ibarat ” membuang garam kelaut “, faktanya juga saat itu sudah 3 tahun PT FI tidak memberikan devidennya kepada Pemerintah .

Seharusnya kementerian BUMN lebih cerdas berinisiatif aktif menugaskan konsorsium BUMN Tambang ( PT Inalum ,PT Antam , PT , Timah , PT Bukit Asam dan Bank BUMN / Mandiri, BNI , BRI dan BTN ) bergerak menghimpun modal awal pembangunan smelter senilai USD 2, 5 miliar , dengan tetap mengakomodir saham 10% bagi BUMD Kabupaten dan Propinsi Papua seperti contoh lazimnya dibidang produksi lapangan migas selama ini dalam bentuk Participasing interest 10% bagi daerah penghasil migas dan tambang.

Sikap ini jelas mendukung kepentingan nasional dalam mengamankan potensi efek ganda dari peningkatan nilai tambah dari pembangunan smelter secara ekonomi disaat koorporasi asing yang terus menguras sumber daya alam kita dan faktanya telah mengabaikan kepentingan nasional kita.

Pertimbangannya adalah kajian Pusdatin Kementerian ESDM ( 2012) menunjukkan peningkatan sebesar 10, 23 kali lipat jika bauksit diolah menjadi alumina dan jika diolah lagi menjadi alumunium , maka nilai jualnya akan menjadi USD 3.822 , 00 perton , 139 kali lipat dengan harga bauksit mentah saat itu.

Bahkan niat baik dan langkah pemerintah untuk tetap menghargai KK PT FI dan PT Amman Mineral Sumbawa ( ex Newmont ) dengan tidak melanggar UU Minerba terus dilakukan mengiring PTFI dan PT AMS untuk bisa menyesuaikan dengan UU Minerba sesuai pesan kontitusi , akan tetapi agar ” win win ” bagi kedua belah pihak , telah dilakukan secara sadar dengan melanggar UU Minerba tersebut , yaitu termasuk telah melakukan Perubahan Peraturan Pemerintah ( PP) nmr 23 thn 2010 ke PP nmr 1 tahun 2014 , kemudian ke nmr PP 77 thn 2014 dan terakhir PP nmr 1 thn 2017 pada tgl 11 Febuari 2017 yang telah juga melahirkan Permen ESDM nmr 5 dan 6 tahun 2017 agar PT FI agar bisa tetap melakukan ekspor konsentrat , padahal kalau dilihat dari perspektif hukum jelas semua produk produk PP dan Permen ESDM yang terbit sejak tahun 2014 yang memberikan izin ekspor konsentrat adalah bertentangan dengan UU Minerba , artinya dapat dikatakan Pemerintah diduga telah melakukan pelanggaran hukum , bahkan Koalisi Masyarakat Sipil menggugatnya ke Makamah Agung.

Anehnya bukan ucapan terimaksih yang diperoleh Pemerintah dari PT FI , akan tetapi berbuah ancaman gugatan di Makamah Arbitrase internasional dalam tempo 120 hari kedepan dari keterangan CEO Freeport McMoran James C Andersen , seperti ibarat kata ” air susu dibalas air tuba ” , dan sikap tersebut telah memancing semua rakyat Indonesia marah dan mendukung Kementerian ESDM untuk bersikap tegas dan melawannya , hal ini tercermin banjir dukungan dari segenap lapisan masyarakat dan ormas keagaamaan yang selama ini diam bisu menonton arogansi PTFI yang terkesan membawa pesan ” bentuk kolonialisasi gaya baru berbungkus kontrak karya dari sebuah korporasi asing terhadap kedaulatan negara kita ” , apalagi ingin tetap memaksa diperpanjang izin operasinya setelah 2021 untuk menguras habis sumber daya alam kita yang sangat berharga yang merupakan Anugrah dari Allah SWt untuk masa depan bangsa .

Jangan sampai sebuah Anugrah menjadi kutukan bagi bangsa yang salah menerapkan kebijakannya.
Oleh sebab itu pemaksaan kehendak PTFI untuk tetap beroperasi terus sd thn 2042 terekam jelas dari sejak awal proses perundingan dengan Pemerintah disaat batas akhir waktu 5 pasal 170 UU Minerba nmr 4 tahun 2009 untuk diberlakukannya proses pemurnian mineral dengan smelter didalam negeri pada awal tahun 2014 , seperti bukti surat Dirjen Minerba nmr 1507/30/DJB/2013 tgl 31 Agustus 2015 yang ditanda tangani oleh Bambang Gatot Aryono ditujukan kepada PTFI yang berisi antara lain ;

1. Pemerintah dan PT FI telah melakukan pembahasan naskah ” Amandemen KK ” sejak Oktober 2014 sd Maret 2015 , namun dari 20 pasal yang dibahas , hanya 2 pasal saja yang disetujui oleh PTFI.

2.Pemerintah beritikad baik untuk melakukan pembahasan naskah Amandemen KK pada tgl 21 Agustus 2015 , namun PTFI berpendapat bahwa KK tetap berlaku sd thn 2021 dan perpanjangannya juga dalam bentuk KK , atau pada tahun 2021 harus diperpanjang walaupun dalam bentuk ” izin ” tetapi dokumen Amandemen KK tetap menjadi kesatuan yang tdk dapat dipisahkan .
3.PT FI juga berpendapat bahwa UU nmr 4 thn 2009 tentang Minerba ” tidak berlaku ” untuk KK PTFI , karena KK PTFI disusun dan disetujui berdasarkan UU nmr 11 thn 1967 ” Ketentuan Pokok Pertambangan Umum ” dan bersifat ” neildown” .
Adapun kesimpulan surat tersebut diatas menurut Dirjen Minerba adalah ;

1. PTFI tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan Amandemen KK.

2. PTFI tidak taat terhadap UU nmr 4 thn 2009 pasal ( b).

Sehingga kalau melihat sikap PT FI setelah Kementerian ESDM menerbitkan IUPK pada tanggal 11 Febuari 2017 setelah diterbitkannya PP nmr 1 thn 2017 dan Permen ESDM nmr 5 dan 6 thn 2017 pada hari yang sama dan telah juga memberikan rekomendasi izin ekspor konsentrat dengan nomor : 352 /30/DJB / 2017 pada tgl 17 Febuari 2017 yang menurut rilis Menteri ESDM pada tgl 18 Feb 2017 menyatakan bahwa ;

Pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali.

Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerinah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.
Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah TETAP Menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. dan masih sah berlaku.
Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut.
Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjakan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM.

Saya berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.

Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah.
Namun divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai PEMILIK tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.

Terkait wacana PTFI membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.

Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah.

Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.” tutup Jonan.

Walaupun kita ketahui bersama hasil Rapat Dengar Pendapat tgl 7 Desember 2016 antara Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba , Dirut PTFI dan PT Petrokimia Gresik salah satu butir kesimpulannya adalah ” mendesak Dirjen Minerba untuk tidak memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada PTFI setelah tgl 12 Januari 2017 , apabila PT FI yang tidak bisa melakukan pemurnian konsentrat pada smelter dalam negeri sesuai pasal 170 UU Minerba.

Artinya pemberian rekomendasi ekspor konsentrat kepada PTFI dan PT Amman Mineral Sumabawa hanya bisa terhindar dari pelanggaran hukum saat ini , harus dilakukan melalui revisi UU Minerba di DPR atau penerbitan PERPU oleh Pemerintah .

Tentu perlu kita apresiasi tinggi atas sikap tegas Pemerintah menjaga marwahnya dalam menyikapi arogansi dipertontonkan selama ini oleh PTFI , dan Pemeritah pasti punya bukti kuat rekam jejak dugaan penyimpangan yang telah terjadi oleh PTFI selama beroperasinya hampir 50 tahun , termasuk pelanggaran terhadap lingkungan hidup disekitar tambang dan kewajiban serta komitmen komitmennya sesuai Kontrak Karya , contohnya tidak melakukan divestasi saham sebesar 51% , tdk membangun smelter dan pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai Peraturan Perundang Undangan yang berlaku.

Padahal kalau kita membaca seksama isi perjanjian kontrak karya tanggal 30 Desember 1991 , khususnya pada Pasal 10 ayat 5 , telah disebutkan bahwa ada kewajiban membangun fasilitas peleburan dan pemurnian tembaga yang berlokasi di Indonesia setelah 5 tahun ditanda tanganinya perjanjian oleh Ginandjar Kartasasmita atas nama Pemerintah Indonesia.

Selanjutnya begitu juga pada Pasal 24 ayat 2 b bahwa total kewajiban divestasi 51% kepada Pemerintah Indonesia , yang dari bagian tersebut ada sekitar 20% harus dijual melalui bursa saham Jakarta , seharusnya pada akhir tahun 2011 semua proses divestasi 51% oleh PTFI sudah selesai.

Berdasarkan dari fakta fakta yang terungkap dan tidak terungkap , jelas bahwa PTFI selama beroperasi mengambil mineral berharga di Indonesia telah terindikasi melakukan pelanggaran baik terhadap isi perjanjian Kontrak Karya , UU Lingkungan hidup apalagi terhadap UU Minerba.

Sehingga atas dasar itulah menjadi perhatian dan pertimbangan berharga bagi Pemerintah untuk tidak lagi memperpanjangnya izin operasi produksinya paska berakhirnya kontrak karya pada desember 2021.

Untuk mengurangi kerugian lebih besar dari investor asing yang tidak beritikad baik dalam memenuhi komitmennya membangun industri / smelter di Indonesia untuk mendukung program hilirisasi mineral logam berharga didalam yang diamanatkan oleh UU , tanpa harus menunggu ujung dari bentuk penyelesain apakah melalui perundinga ataupun terus berpekara di Makamah Arbitrase , maka Pemerintah harus segeralah tugaskan Konsorsium BUMN tambang untuk membangun smelter untuk menampung konsentrat dari PTFI dan PT Amman Mineral Sumbawa ( ex Newmont ) , sambil menung gu ambil alih kelola operasi pada akhir 2021.

Belajarlah dari pengalaman selama ini seperti ambil alih kelola PT Inalum , Blok Migas Chevron ( CPP Blok & Siak ) dan Blok Mahakam yang sejak awal malah ditakuti takuti oleh Pejabat ESDM , ternyata tidak masalah setelah ditugasi kepada Pertamina.

Apakah perlu pejabat kita sekarang belajar lagi pada arwah bung Karno dkk yang tidak lama setelah merdeka , pada 1 juni 1963 di Tokyo oleh utusan Pemerintah Chairul Saleh dkk berhasil membuat kesepakatan dgn perusahaan Stanvac , Shell dan Caltex antara lain mengambil alih kilang minyak Plaju tahun 1965 dari Stanvac dan Kilang Sei Gerong Palembang dari Shell senilai USD 100 juta dan pembayarannya dari hasil produksi minyak dari lapangan Duri Minas ( Caltex) dan Lirik ( Stanvac) saat itu .

Jakarta 4 Maret2017CERI – Yusri Usman.🙏

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.