ENERGYWORLD – Pada acara diskusi publik yang digagas oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia ( IAGI ) dengan Keluarga Alumni Geologi Gadjah Mada (Kageogama) di Bidakara Jakarta 20 maret 2017, Dirjen Minerba telah mengeluarkan pernyataan kerasnya bahwa PT Freeport Indonesia (FT FI) tetap ngotot dengan semua tuntutannya untuk dipenuhi, antara lain soal divestasi, royalti dan pajak serta tetap diberikan izin operasi sampai dengan tahun 2041, termasuk pernyataan dia bahwa PT FI jangan keenakan mendapat izin eskpor konsentrat seperti pada sistem lama, dan tolong tunjukan salah satu contoh di negara mana di dunia ini soal “stabilisasi investasi ” bahwa aturan royalti dan pajaknya tetap.
Sejalan dengan itu ditempat yang sama Senior Vice President Geo Engineering PTFI Wahyu Sunyoto menjelaskan bahwa sampai dengan saat ini telah di tambang bijih (ore) yang menghasilkan emas, perak dan tembaga dan mineral ikutan lainnya sebanyak bijih 1,7 miliar ton dan masih ada tersisa potensinya bijih/ ore sekitar 2,1 miliar ton akan habis ditambang pada akhir tahun 2054, dan tetap berharap persengketaan PTFI dengan Pemerintah tidak berujung di Arbitrase Internasional, bahkan dia lebih jauh mengancam dengan berhentinya operasi saat ini telah meruntuhkan tanah di tebing atau atap penambangan dengan cara “caving block”, bahkan akibat runtuhnya dinding atas dan samping tambang bawah tanah akan mengakibatkan hilangnya biji berharga untuk diambil emas, perak dan tembaga.
Lebih jauh Dirjen Minerba mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia jangan keenakan dan memaksakan kehendak untuk bisa melakukan ekspor dengan Kontrak Karya ( KK) dan seolah paling berjasa telah menyumbang banyak devisa bagi negara Indoneisia dan telah memancing emosi Dirjen Minerba menantang PT FI membuka semua berapa sudah banyak emas, tembaga dan perak sudah dibawa dari tanah papua??? Kalau dia mau tetap ekspor silahkan dengan menyetujui perubahan KK menjadi IUPK seperti PT Amman Mineral Sumbawa, beber Gatot.
Tentu atas sikap tersebut perlu saya komentari apakah Dirjen Minerba lupa bahwa pada 31 Agustus 2015 telah mengeluarkan surat resmi nomor 1507/30 / DJB / 2015 ditujukan kepada Dirut PT Freeport Indonesia yang point intinya disampaikan adalah ;
1. Dari pembahasan renegosiasi naskah amamdemen KK sejak Oktober 2014 sampai dengan Maret 2015, namun dari 20 pasal yang dibahas, PT FI baru menyetujui hanya 2 pasal secara utuh, sisanya 18 pasal belum dapat disepakati sesuai UU Minerba nomor 4 thn 2009.
2. PT FI berpendapat bahwa KK tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2021, dan pada tahun 2021 harus diperpanjang walaupun dalam bentuk izin, tetapi dokumen amandemen KK tetap menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan .
3. PT FI juga berpendapat bahwa UU nomor 4 thn 2009 tentang Pertambangan dan Batubara tidak berlaku untuk KK PT FI yang disusun dan disetujui berdasarkan UU nomor 1 tahun 1967.
Maka berdasarkan hal hal tersebut diatas dan mempertimbangkan berbagai aspek peraturan perundang undangan, maka Dirjen Minerba Bambang Gatot Aryono berpendapat :
A. PT FI tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan amandemen KK .
B. PT FI tidak taat terhadap UU Minerba 6 nomor 4 thn 2009 pasal 169 ( b).
Apalagi pada tgl 24 juli 2014 PT FI telah menanda tangani MOU dgn Kementerian ESDM untuk membangun smelter di Gresik dan disepakati juga dengan menempati jaminan kesungguhan 5% dari nilai pembangunan smelter USD 2,3 miliar, sehingga nilai jaminan USD 115 juta dan hanya disetorkan USD 15 juta, dan sisanya tidak disetorkan dgn alasan “cashflow perusahaan ” , dan atas dasar MOU tersebut Pemerintah tetap memberikan izin ekspor dengan mengenakan bea keluar dan tarif bea keluar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI ( Permenkeu ) nmr 153/ PMK.011 / 2014 perubahan ketiga dari Permenkeu nomor 75 / PMK.011/2012 \, yang dasar pengenaan tarif bea keluar dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dengan tarif bea keluar yang dikenakan, karena kalau mengacu ke Permenkeu nomor 75 secara tegas dan konsekwen bisa dikenakan tarif 20% saat itu dan sekarang bisa mencapai 60%, maka sejak batas akhir boleh melakukan eksport mineral atau bijih mentah adalah tgl 9 Januari 2014 sesuai pasal 170 UU Minerba nomor 4 tahun 2009, namun faktanya Pemerintah tetap terkesan lemah dengan merubah terus Permenkeu tersebut dan hanya dikenakan tarif hanya 5 %, faktanya pembangunan smelter tidak pernah ada sampai dengan saat ini, sehingga MOU tersebut harusnya dapat diproses secara hukum, karena telah digunakan untuk merugikan negara dengan melawan UU Minerba nmr 4 tahun 2009.
