Oleh Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT
BELA TANAH AIR
Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di hati lain di bibir. Syair sebuah lagu yang pernah tenar dibawakan penyanyi handal Bob Tutupoli dengan judul Lidah Tak Bertulang, meski judulnya berubah menjadi Tinggi Gunung Seribu Janji dalam versi non keroncong mengawali artikel pendek saya siang ini.
Sesuai topik judul diatas, mari kita urai satu persatu dari 3 topik utama yang menjadi judul artikel ini. Awalnya saya justru ingin menggunakan judul Jokowi dan Lidah Tak Bertulang, namun saya urungkan karena saya tidak mau menyakiti perasaan presiden meski perasaan saya sering sakit melihat kebijakan presiden mengurus negara ini. Bagaimanapun, Jokowi adalah presiden RI, meski Jokowi menjadi presiden yang yang jauh dari ekspektasi saya sebagai salah satu yang pernah mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 silam.
Berbicara tentang Tarif Dasar Listrik yang beberapa hari terakhir ramai dibicarakan publik baik di media maupun media sosial, adalah fakta sahih bagaimana rejim berkuasa ini tidak punya niat sedikitpun mencoba memahami kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat secara umum. Rejim berkuasa ini hanya melihat dan berkaca kepada dirinya yang dengan kekuasaannya mudah memperoleh apa saja, mendapat gaji besar dari uang rakyat serta mendapat segala macam fasilitas. Tampaknya kondisi seperti itu yang dijadikan cermin kondisi ditengah publik, maka menjadi wajar rejim ini merasa semua baik-baik saja dan ekonomi sedang bagus. Padahal fakta sesungguhnya, rakyat saat ini mayoritas hanya hidup untuk bertahan bukan hidup untuk bertumbuh.
Apa yang ada dalam hati rakyat saat ini bahwa tarif dasar listrik naik. Sesungguhnya inipun pemahaman yang salah karena TDL tidak naik atau tetap. Yang terjadi adalah, dari sekitar 23 Juta pelanggan PLN dengan daya 900 VA, sekitar 19 Juta pelanggan dinyatakan oleh pemerintah sesuai data dari Tim Percepatan Pemberantasan Kemiskinan tidak layak mendapat subsidi. Maka mulai Januari 2017 secara bertahap hingga Mei 2017 pencabutan subsidi itu dilakukan dan puncaknya bulan ini sebesar 30%. Ini memang masalah keadilan bagi penerima subsidi, bahwa kita sepakat subsidi harus dinikmati oleh yang berhak. Terlebih masih banyak saudara kita yang belum menikmati lstrik. Jadi sesungguhnya tidak ada kebaikan TDL, yang ada pencabutan subsidi listrik dari konsumen daya 900 VA.
Lantas dimana letak masalah dalam pencabutan subsidi Listrik ini? Letak masalah adalah momentum pencabutan yag tidak tepat. Ekonomi rakyat belum bertumbuh, rakyat baru saja dipajaki ugak-ugalan atas nama Tax Amnesty, waktunya menjelang bulan Puasa dan musim pendaftaran siswa baru atau kenaikan kelas yang tentu menjadi biaya tambahan bagi masyarakat. Mengapa pemerintah tidak bersabar? Mengapa tidak menunggu hingga momennya tepat? Lantas dana subsidi yang dicabut itu kenapa tidak digunakan untuk mensubsidi kesehatan misalnya? Haruskah dialihkan ke infrastruktur yang semu? Sepertinya menang rejim ini tidak bisa merasa tapi hanya merasa bisa.
Selain masalah listrik yang menjadi trending topic, ada juga kisah 26 BUMN yang merugi 3 Trilliun lebih pada Kwartal I 2017.
Cobala kita mengalah mengikuti informasi pemerintah yang menyatakan infrastruktur sedang jalan dan ekonomi sedang membaik. Kira-kira dengan informasi tersebu, apa yang membuat BUMN kita rugi? Jawabannya mungkin hanya tersisa dua bagian. Pertama, BUMN diurus orang yang tidak tepat dan salah, atau kedua uang BUMN kita dikorupsi. Apakah kedua hal ini yang mengakibatkan BUMN kita rugi? Tampaknya BPK harus segera turun melakukan audit. Kerugian ini penting segera diusut. Terlebih BUMN sekarang banyak diurus oleh Relawan Jokowi. Jangan sampai nama Relawan Jokowi rusak oleh kerugian BUMN ini. Maka sudah selayaknya seluruh Relawan Jokowi mendukung investigasi penyebab kerugian ini. Supaya jelas dan clear apa yang menjadi penyebab utama.
Terlepas dari kisah rugi BUMN tersebut, kembali kita dikejutkan oleh pernyataan Jokowi yang menerintahkan BUMN menjual asetnya supaya bisa membangun infrastruktur. Ini ceroboh dan terlalu bermental broker atau makelar. Dimana-mana negara selalu menambah aset, bukan menjual aset. Demikian juga BUMN selalu berorientasi menambah kekayaan dalam bentuk aset bukan malah menjual-jualin aset yang ada. *Ini bahaya, lama-lama kita ini menjadi bangsa broker yang punya segalanya tapi tak memiliki. Inilah negara yang kita tuju? Negara yang menjual kedaulatannya atas nama infrastruktur? *
Saya pikir presiden Jokowi harus belajar lagi tentang konsep kedaulatan bangsa, ketahanan bangsa dn kemandirian bangsa. Berhenti sejenak dengan mimpi-mimpi infrastruktur yang megah tapi bukan milik kita. Itu semua palsu dan semu, tidak lebih dari sebuah istana pasir yang terlihat indah. Fatamorgana janganlah menjadi basis berpikir dalam mengurus negara, tapi realita harus dikedepankan dalam menentukan prioritas kebijakan. Untuk apa ada Kerta Api Cepat jika kemudian rakyat hanya mampu membayar jalan kaki? Sadarlah wahai rejim.
Memang lidah tak bertulang, dulu Jokowi bilang akan beli kembali Indosat, sekarang malah ingin jual-jualin aset BUMN. Oh lidah… mengapa kau tak bertulang?
Jakarta, 03 Mei 2017