ENERGYWORLD – Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan penempatan Pertamina sebagai Badan Usaha Khusus (BUK) seperti terncantum pada draft RUU Migas merupakan kebijakan blunder.
“Blunder karena BUK bukan sebagai business entity, tapi lebih sebagai institusi pemerintah non kementerian di Presiden. Kalau benar sebagai lembaga pemerintahaan, kontrak BUK dengan Inventor sama-sama seperti sekarang ini hubungannya antar G to B. Ini berbahaya jika terjadi dispute di International Arbitrary,” ujar Fahmy kepada REDAKSI Sabtu 10 Juni 2017 malam.
Konsekwensi sebagai BUK adalah intervensi langsung DPR akan sangat merepotkan. Tidak hanya dalam penunjukan Ketua BUK saja, tetapi juga setiap corporate actions harus minta persetujuan DPR. “Intervensi DPR terhadap BUK berpotensi menimbulksn moral hazard,” jelasnya
Lebih jauh Fahmy mengatakan mestinya bukan BUK tetapi Holding Company (HC), yang membawahi semua perusahaan Migas sebagai anak perusahaan, termasuk Pertamina, PGN, SKK Migas dan BPH Migas.
“Saham HC 100% dikuasai negara, sedang anak-anak perusahaan bisa go public maksimal 49% saham yang dilepas ke Publik,” usulnya.
Pembentukan HC, lanjutnya itu tidak harus menunjuk Pertamina sebagai Holding, tetapi perlu dibentuk perusahaan baru sebagai HC yang membawahi perusahaan Migas.
HC bisa langsung di bawah Presiden, tetapi perlu dirumuskan tata kelola yang mengatur intervensi DPR hanya sebatas pemilihan Dirut HC.
“DPR tidak boleh intervensi pada setiap corporate action untuk meminimkan moral hazard tadi,”tandasnya | AME/EWINDO