ENERGYWORLD – Kilau emas Poboya, menyilaukan mata. Daya tariknya mengundang migrasi penduduk dari berbagai daerah. Setiap harinya, ribuan penambang naik ke Pegunungan Poboya, untuk mencoba peruntungan mereka. Mereka masuk ke dalam liang tambang berkedalaman sekitar 15 hingga 20 meter ke bawah untuk mengambil bebatuan yang dikenal sebagai fire- reef atau batu api yang mengandung serat emas. Para penambang seolah tak peduli walau nyawa taruhannya. Seperti pengalaman melihat langsung sehari-hari aktivitas penambang, Sandi Suwardi warga Palu dimana sang paman di wilayah itu juga memiliki lahan pertambangan, yang baru setahun menambang emas yang diceritakannya kepada EnergyWorldIndonesia.
Selain Sandi Suwardi, seorang dosen peneliti fakultas pertanian Universitas Tadulako Palu, Ir. Isrun Muh Nur yang bekerja sama dengan Toyama Perfectural University dan Toyohashi University of Technology Jepang di tahun 2012 melakukan penelitian khusus didaerah itu mengatakan ; penambang bisa seharian (satu malam) didalam gorong-gorong lubang galian tambang dengan alat seadanya (sederhana). Suasana pengap dalam lubang galian tambang kadang kisi-kisi batuan reef fire yang ditembus sebagai galian tambang bak ventilasi udara yang menyelamatkan penambang tradisional, dimana udara panas dan pengap tertolong oleh celah atau kisi-kisi batuan yang terasa bagai angin sepoy-sepoy menembus udara pengap yang ada.
“Lahan tanah di Poboya memang sangat lah cocok untuk beberapa jenis tanaman palawija berupa bawang dan jenis umbi-umbian atau ketela. Namun masyarakat Poboya sepertinya ingin cepat mendapat penghasilan lebih. Melihat banyaknya animo penambang yang datang dari luar Poboya membawa dan memperkenalkan teknologi tromol. Hal itulah lambat laun merobah para petani dan masyarakat sekita, merobah mata pencaharian dari penggarap lahan pertanian ke pertambangan yang dianggap lebih menjanjikan, “ ujar Isrun Muh Nur seorang dosen peneliti pertanian dari Universitas Tadulako (9/6/2017).
Nama Poboya belumlah terkenal seperti sekarang ini. Mata pencaharian masyarakat Poboya dan sekitarnya dulu, hanyalah beternak domba, sapi, itik dan pengumpul rotan hutan serta menjadi petani bawang dan ketela. Mendulang emas bagi masyarakat Poboya, dilakukan warga jika ada waktu senggang sambil menunggu hasil kebun dan ternak yang sudah berlangsung puluhan tahun. Kawasan Tahura Paneki ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 461/Kpts-II/1995. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, di kawasan ini terdapat sekitar 159 jenis tumbuhan. Antara lain 100 jenis pohon, 13 jenis rerumputan, 22 jenis parasit, dan juga pohon yang dilindungi yaitu cendana dan gofasa.
Menurut Nurudin Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Poboya Paneki, Sulawesi Tengah dalam keterangan kepada media di awal tahun 2015 saat pemerintah daerah ingin melakukan penertiban terhadap pertambangan ilegal yang makin berkembang di kawasan Poboya, dengan adanya aktivitas tambang emas di Tahura yang luasnya sekitar 7.128 hektar itu, sangatlah ,mengganggu vegetasi tanaman yang ada.
“ Kalau pohonnya berkurang ketersediaan air juga ikut terganggu. Belum lagi pencemarannya. Hutan Kawasan Lindung di Poboya merupakan daerah resapan air yang menjadi sumber air bersih dan air minum bagi masyarakat kota Palu. Bisa anda bayangkan bila daerah resapan itu gundul dan yang lebih memprihatinkan adalah munculnya bahaya pencemaran yang timbul akibat pengolahan hasil tambang yang tidak terkontrol. Disinilah Masalah serius itu muncul dan perlunya kita pikirkan bersama.” Ujar Isrun Muh Nur .
Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya Paneki, yang terletak di sebelah timur Kota Palu, terusik dengan keberadaan pertambangan emas. Tambang rakyat itu, sudah masuk areal Tahura dan merambah sekitar 150 – 200 hektar. Pemerintah setempat, menyebut para penambang itu PETI atau Penambang Emas Tanpa Izin. (BERSAMBUNG)