BENARKAH PENULIS & SENIMAN AKAN DIKENAKAN PAJAK
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies, Edy Mulyadi memapar pesimismeny tentang kodisi ekonomi Indonesia sekarang dan beberapa waktu ke depan tidak akan menggembirakan, apalagi terkait dengan jumlah utang yang semakin menjerat.
Tercatat, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sampai kuartal 2, ekonomi tumbuh 5,01%. Angka ini lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,18%. Sampai akhir tahun ini, pemerintah berharap ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2%. Tahun depan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) berharap bakal tumbuh 5,4%.
Artinya, kata Edy Mulyadi, gerakannya hanya berkutat di angka 5% dengan plus-minus nol koma sekian saja. Apakah memang tidak bisa digenjot lebih tinggi lagi, misalnya masuk bilangan angja 6% atau 6,5%. Kayaknya memang susah. Ya memang sudah mentok segitu.
Tim ekonomi yang dikomandani Menko Perekonomian Darmin Nasution nyatanya memang tidak cukup tangguh. Wataknya yang konservatif sudah terbuktikan dengan berbagai kebijakan ekonomi yang mereka lahirkan. Sama sekali tidak ada terobosan. Meski kemudian ada kabar angin bila penulis dan seniman pun segera akan dikenakan pajak.
Sejak dahulu pun sebetulnya pajak bagi penulis sudah dilakukan seperti langsung melalui media cetak dimana tulisan para penulis free lance, kolomnis atau kontributor artikel kepas yang dimuat pada media yang bersangkutan.
Pada masa tahun 1980-an, nilai pajak untuk tulisan yang dikenakan pada penulis di media cetak bisa berbeda. Misalnya di Koran Sinar Harapan ketika itu sebesar 17 %. Sedangkan di Harian Prioritas hanya 15 %. Lain lagi cerutanya untuk pajak penulis di Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat Bandung, dan Jawa Pos (Surabaya), Suara Indonesia Baru (Medan), Lampung Post (Lampung) maupun Banjarnasin Post, lebih variatif antara 10 % sampai 12 %.
Lha, kalau sekarang bagaimana, kondisi media cetak makin lesu — atau bahkan cenderung ambruk — tidak seperti saat booming dahulu dimana tiras penerbitan yang paling kecil bisa mencapai 10.000 eksemplar lebih. Sementara koran yang berhaya ketika itu bisa mencapai tiras 600 – 700 ribu eksemplar.
Jika sungguh penulis dan seniman di Indonesia akan dikenakan penghasilan oleh pemerintah, agaknya hasrat ini seperti isyarat dari kepanikan aparat pemerintah untuk menutup kekurangan dana APBN Indonesia yang diperkirakan bakal jebol.
Para pengamat ekonomi Indonesia melihat pasangan Darmin-Sri Mulyani sudah mentok untuk mendongkrak ekonomi Indonesia bisa tumbuh di kisaran 5% plus nol koma sekian. Alasannya macam-macam. Mulai dari situasi global yang belum pulih, sampai berbagai kendala di dalam negeri, termasuk rakyat Indonesia maunya gratisan. Tidak mau bayar pajak.
Rasa tidak puas dengan pertumbuhan ekonomi kita yang cuma berkisar di angka 5%, jelas beda jauh jika dibanding semasa SBY Preisden. Kondisi ekonomi ketika itu sempat nangkring di angka 6%. Artinya, kalau tim ekonomi sekarang puas dengan 5%, jelas kinerja yang loyo, kalau tidak bisa disebut sontoloyo.
Kalau karena panik akibat ancaman ekonomi Indonesia yang tidak kunjung sembuh dari sakitnya yang parah, hendaknya janganlah main hantam begitu. Sebab seniman umumnya di Indonesia belum banyak yang terbilang dalam katagori berkecukupan. Rata-rata seniman di Indonesia sama memprihatinkan jika tidak bisa dikatakan senakin memburuk sekarang, dimana dunia tulis menulis semakin sulit dan tidak populer menjadi pilihan profesi pekerjaan. Demikian juga bagi para
seninan.
Kisah sastrawan Hamsad Rangkuti yang merana diusia tuanya sekarang baru saja menghentak akal sehat banyak orang, khususnya seniman atau sastrawan di Ibukota, Jakarta. Lalu bagaimana caranya memajaki mereka yang tidak mempunyai penghasilan yang jelas ini ?
Rekam jejak Darmin -Sri Mulyani bersama gengnya kata Edy Mulyafi sebagai penganut ekonomi neolib, terlanjur biasa mengikuti kemauan dan aturan para majikan asingnya; yaitu IMF, WB, dan ADB. Buktinya, mereka yang hanya mengandalkan APBN dan inflasi untuk urusan ekonomi makro, tetap anteng-tentrem dengan terus menggunakan gaya alon-alon asal kelakon. Sementara kondisi ekonomi semakin parah.
Sebagai Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, terkesan lebih sibuk mengutak-atik APBN. Dia menerapkan kebijakan austerity_ alias pengetatan bujet. Caranya, menggunting serangkaian anggaran, termasuk belanja sosial pemerintah.
Akibatnya, berbagai harga kebutuhan dasar melonjak. Gas LPG, listrik, dan BBM semua naik. Lonjakan komoditas startegis itu segera diikuti meroketnya berbagai harga kebutuhan pokok lainnya. Tentu saja, yang paling terpukul adalah rakyat miskin dan nyaris miskin. Kelompok yang disebut kedua itu pun akhirnya tergelincir menjadi miskin begitu BBM dan listrik 900 VA naik. Sedangkan yang sudah miskin, kian dalam tenggelam tingkat kemiskinannya, sebagaimana dirilis BPS beberapa waktu lalu.
Sebetulnya, ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi agar naik lebih tinggi dari sekadar 5 %.
Untuk mendongkrak ekonomi diatas 5% pemerintah patut mengambil langkah counter cyclical policies. Yaitu, kebijakan fiskal yang intinya meningkatkan pengeluaran (ekspansi) dan memotong pajak selama resesi. Amerika, Jepang, dan China biasanya memompa ekonominya dengan kebijakan fiskal dan moneter. Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak untuk mengakselrasi ekonomi domestiknya.
Tahun silam, reevaluasi aset telah menggelembungkan nilai BUMN lebih dari Rp 800 triliun. Pajak yang berhasil ditangguk pun mencapai Rp32 triliun. Jika dikombinasi dengan sekuritisasi asset, maka bukan mustahil kita bakal meraup dana lagi sekitar US$10 miliar, kata Edy Mulyadi.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, sepanjang semester satu 2017, kredit hanya tumbuh 7%. Ini jelas sangat tidak memadai, ungkap Edy Mulyadi. Karena seharusnya Pemerintah menggenjot minimal sampai 15%, baru ekonomi Indonesia bisa menggeliat dan bergairah. Tentu saja, perbankan nasional harus tetap prudent. Tidak mengobral kredit secara serampangan. Sementara dari sektor lain yang relatif cepat memacu pertumbuhan adalah pariwisata. Pada saat yang sama, ia mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan memberi dampak ikutan
(multiplier effect) yang dahsyat.
Konon cerita para ekonom untuk membayar utang luar negeri Indonesia harus menyisihkan dana tidak kurang dari Rp 486 triliun pada 2017. Rinciannya Rp 221 triliun untuk membayar bunga utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp 416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp387 triliun. Konon pula sebesar Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang pada APBN 2018. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek hingga Rp646,8 triliun!
Bayangkan uang sebanyak itu saja tak sepeserpun mau dialokasikan untuk seniman, sastrawan dan penulis umumnya. Padahal seniman — mekalui jaryanya — tidak hanya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga mereka semua yang bisa kita sebut para budayawan itu dapat menjadi cermin wajah bangsa Indonesia yang beradab.
Kecuali itu, agaknya hanya mekalui seniman dan budayawan kita masih bisa berharap mengerem lajunya arus kapitalisme agar tidak semakin garang dan semena-mena mendekte segenap warga bangsa menjadi materialistik.
Banten, 15 September 2017
Jacob Ereste
Atlantija Institut Nusantara