OLEH AENDRA MEDITA *)
Ada omong kosong Gas yang ramai dibicarakan, bahkan menjadi viral di media dan media sosial. Pemantik awalnya adalah datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menginformasikan Singapura menawarkan pasokan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk menghidupkan pembangkit listrik di sejumlah wilayah terpencil sekitar Sumatra dan Gorontalo.
Luhut menuturkan, LNG itu nantinya akan disalurkan dengan fasilitas yang dapat digerakkan ke lokasi-lokasi tujuan dengan terminal terapung yang di dalamnya dilengkapi dengan fasilitas untuk menampung LNG dan fasilitas mengubah LNG menjadi gas (regasifikasi) atau lazim disebut Floating Storage and Regasification Unit(FSRU). “Mereka yang bangun, jadi nanti (mereka) investasi juga di situ,” katanya.
Luhut memang respon cepat jika karena ada investasi didalamnya dan ini baik untuk negeri Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, impor LNG dari Singapura itu dipengaruhi oleh hubungan politik kedua negara. Maka, kesepakatan impor akan ditanda-tangani saat pertemuan antara Indonesia dan Singapura.
Kepada wartawan Luhut menyebutkan, pemerintah memiliki dua opsi untuk mendatangkan LNG dari Singapura. Pertama, adalah opsi pertukaran penggunaan LNG (swap), dan kedua opsi murni impor dari Singapura. “Kalau mereka kasih harga yang menarik, kami pertimbangkan dong. Kan ujung-ujungnya ke harga jual masyarakat juga,” katanya.
Dan lanjutan dari itu, dikabarkan ada pembicaraan lebih tajam adalah saat perayaan Hubungan Indonesia-Singapura 50 Tahun di Singapura yang dihadiri Presiden Joko Widodo dari sumber kami hal ini sempat dibahas lagi.
Jika saat tawaran harga murah, Indonesia berencana mengimpor gas alam cair (liquid natural gas/LNG) dari Singapura. Rencana impor itu tampaknya sudah mendapat lampu hijau dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Sedangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih pikir-pikir.
Indonesia sebagai penghasil gas terbesar ke-14 dunia membutuhkan impor gas? Apalagi selama ini produksi gas Indonesia lebih banyak diekspor, sedangkan proporsi penggunaan gas untuk kebutuhan energi nasional baru sekitar 17 persen.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026, pembangkit listrik tenaga gas akan mengambil porsi 26,7 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2026 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026 mendatang.
Untuk memuluskan rencana di atas Indonesia membutuhkan gas sebanyak 1.193 Trilion British Thermal Unit (TBTU), atau tiga kali lipat dibanding tahun 2016 sebanyak 606,5 TBTU. Dari jumlah itu, sebanyak 851 TBTU, atau 71,33 persen dari kebutuhan gas bagi pembangkit akan disediakan dari LNG.
Namun Kementerian ESDM sendiri masih pikir-pikir dengan rencana impor gas dari Singapura. Paling tidak pemerintah akan mempertimbangkan harga jual LNG yang akan digunakan untuk pembangkit listrik itu.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengakui, pimpinan Keppel Corporation sebagai pihak yang akan mendatangkan LNG dari Singapura sudah menyambangi kantornya beberapa waktu lalu. Sejauh ini Arcandra masih mengevaluasi tawaran itu. “Saya sudah panggil company-company itu, saat ini kami sedang evaluasi,” ucap Arcandra, di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (22/8/17).
Arcandra tidak mengelak, satu diantara pertimbangan impor LNG dari Singapura adalah persoalan harga. Toh begitu dia mengaku masih pikir-pikir dengan tawaran harga regasifikasi dan transportasi LNG di angka US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU, dan belum memasukkan harga gas hulunya. Maka dia khawatir harga impor LNG yang diterima bisa lebih besar dari ketentuan yang ada saat ini.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017, harga gas LNG maksimal harus 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) di pembangkit listrik (plant gate). Dengan patokan ICP ICP bulan Juli sebesar US$45,48 per barel, maka harga gas di plant gate harus berada di angka US$6,59 per MMBTU. Dengan patokan itu, biaya regasifikasi dan transportasi yang ditawarkan perusahaan Singapura tercatat 57,66 persen hingga 60,69 persen dari harga gas maksimal yang diperbolehkan pemerintah.
“Semua hal-hal yang berkaitan tawaran impor harus hati-hati dievaluasi. Nah, US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU itu setahu saya baru regasifikasi dan transportasi. Kalau harga impornya mahal, maka nanti yang kena ya harga listrik ke bawah,” beber Arcandra.
Lucunya lagi, di tengah rencana impor LNG dari Singapura, Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani masih kebingungan mencari pembeli untuk 36 kargo LNG tahun ini. Sebab diantara 164 kargo LNG yang diproduksi hingga akhir tahun, baru 138 kargo saja yang memiliki komitmen pembeli. “”Akhirnya 36 kargo ini kami lempar ke pasar spot, dilakukan tender. Delivery mungkin baru bisa di akhir tahun nanti. Semua LNG ini dari produksi Badak NGL di Bontang,” terangnya.
Sebenarnya, berapa impor gas Indonesia selama ini? Dengan proporsi penggunaan energi hanya 17 persen dari keseluruhan energi, sebenarnya sayang sekali Indonesia membuang energi murah ke luar negeri dan mendatangkan energi seperti minyak bumi ke Indonesia dengan harga yang relatif lebih mahal. Mengutip data dari BP Statistical Review of World Energy 2015, produksi gas Indonesia hampir dari 2 kali lipat dari kebutuhan konsumsi.
Dengan demikian produksi gas Indonesia lebih banyak dikapalkan ke luar negeri. Padahal untuk kebutuhan energi dalam negeri gas baru menyumbang proporsi 17 persen. Artinya andaikata tidak diekspor pun keseluruhan gas belum mampu menjangkau setengah dari kebutuhan energi dalam negeri.
Tidak mengherankan apabila rencana ekspor itu dikecam oleh sejumlah kalangan. Bahkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, heran dengan rencana itu. “Agak lucu Singapura ekspor gas ke kita, mereka kan enggak punya sumber gas sama sekali,” kata Komaidi kepada wartawan, Rabu (23/8/2017).
Komaidi tidak memungkiri adanya perkiraan Indonesia memerlukan impor gas pada 2019 atau 2020 nanti. Terutama untuk memenuhi pembangkit listrik. Namun alangkah baiknya kalau Indonesia membeli langsung ke negara produsen seperti Iran atau Qatar. Harganya pasti lebih murah ketimbang membeli dari Keppel Offshore and Marine, perusahaan asal Singapura yang hanya pedagang perantara.
Komaidi juga meragukan harga LNG dari Singapura bisa lebih murah daripada gas lokal sebagaimana diungkap Menteri Luhut. Sebab, LNG harus dikapalkan dulu ke Indonesia, ada biaya shipping. Setelah sampai, LNG harus diregasifikasi, lalu dialirkan melalui pipa, ada tambahan biaya lagi. “Kalkulasi saya, harga gasnya jadi lebih mahal, kan butuh shipping, regasifikasi, setelah itu lewat pipa ada tol fee,” jelas Komaidi.
Mengutip keterangan Arcandra, Keppel Offshore and Marine menawarkan harga angkutan, termasuk shipping dan regasifikasi US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU, ditambah dengan harga LNG-nya sendiri yang di Singapura mencapai US$ 4/MMBTU, maka harga LNG hingga ke tempat tujuan mencapai US$7,8 hingga US$8 per MMBTU yang berarti tidak lebih murah dari harga pasokan dalam negeri yang secara total juga sekitar itu.
Yusri Usman Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia CERI mengatakan berita penandatangan kesepakatan HOA itu ternyata sepi dari pemberitaan media dalam negeri, mungkin bisa jadi kegiatan itu dianggap sebagai “aib tata kelola migas nasional”, akan tetapi sebaliknya “rame” diberitakan oleh media Singapura, karena dianggap prestasi luar biasa, cukup sekelas trader tak punya sumber gas bisa menundukkan sebuah negara besar yang menghasilkan gas.
“Kontrak impor LNG ini pun bisa menjadi mulus karena dengan mendadak juga Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11/2017 tanggal 30 Januari 2017 yang baru sejagung umurnya menjadi Permen ESDM nomor 45/2017 pada 25 juli 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Listrik, karena di aturan ini pada Pasal 8 ayat 2 tertulis dalam hal PT PLN atau BUPTL tidak dapat gas bumi melalui pipa di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari harga ICP (Indonesian Crude Price) sebagaimana dimaksud pada ayat 1, maka PT PLN dan BUPTL (Badan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik) dapat melakukan poin dua “dalam hal terhadap harga LNG domestik di plant gate sama dengan harga LNG impor, PT PLN wajib membeli LNG dari dalam negeri”.
Bahkan Yusri sempat berseloroh mafia migas tetap berjaya dengan selubung baju baru di balik revisi Permen ESDM.
Akibat dari pemberitaan itu rupanya kuping Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan panas juga ia memberikan bantahan terkait informasi mengenai impor gas alam cair (LNG) dari Singapura. Di dalam seminar di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan bahwa Pemerintah tidak memiliki rencana untuk mengimpor Liquid Natural Gas LNG) dari Singapora. Pasalnya, Indonesia hingga kini masih mampu untuk memproduksi gas secara mandiri guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Produksi gas bumi Indonesia pada 2016 tercatat mencapai 6.775 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sebanyak 59 persen atau 3.997 MMSCFD digunakan di dalam negeri. Sedangkan sisanya sebesar 41 persennya atau 2.778 MMSCFD diekspor dalam bentuk LNG 29,36 persen dan pipa 11,55 persen. Dengan masih meruahnya produksi gas Indonesia, tidak saja “anomaly”, tetapi juga “pamaly” bagi Indonesia untuk melakukan impor gas dari Singapora, negara yang tidak memiliki sumber gas sama sekali.
Lebih lanjut Jonan mengatakan bahwa penandatanganan Heads Of Agreement (HOA) antara PLN dengan Offshore and Marine dan Pavilion Gas bukanlah kotrak impr LNG, tetapi sekedar sewa tangker mini LNG, yang akan mendistribusikan gas produksi Indonesia ke pembangkit listrik PLN di beberapa wilayah Indonesia. Jonan mengibaratkan bahwa Indonesia memiliki sawah yang menghasilkan gabah dalam jumlah besar, tetapi tidak memiliki kecukupan alat trasnpotasi, sehingga perlu menyewa kendaraan untuk mendistribusikan gabah yang dihasilkan di sawah Indonesia, bukan gabah dari Singapora, ke berbagai daerah.
Bagi PLN, sebagai business entity, sebenarnya syah-syah saja untuk mengimpor LNG, yang dibutuhkan pembangkit listrik, selama harganya lebih murah dibanding harga gas di dalam negeri. Dengan harga impor gas yang lebih murah, PLN dapat menekan biaya produksinya sehingga bisa menurunkan Tarif Dasar Listrik (TDL), yang lebih terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masalahnya, jika impor gas yang dilakukan oleh PLN diikuti oleh semua indutri Indonesia, yang menggunakan gas dalam menghasilkan produk, impor gas rame-rame itu berpotensi mematikan indstri gas di Indonesia. Ujung-ujungnya, Indonesia akan sangat tergantung dari impor dalam memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri. Selain itu, impor gas dalam jumlah besar akan mengundang Mafia Migas untuk berburu rente di balik impor gas, seperti yang terjadi sebelumnya pada impor BBM.
“Kalau benar tidak ada impor gas dari Singapora, kebijakan Jonan itu patut diapresiasi, sekaligus perlu dikawal agar terjadi kongsi antara “pernyataan dan perbuatan”. Jangan sampai pada saat harga gas dalam negeri lebih mahal, lalu Menteri ESDM mencari jalan pintas dengan memutuskan untuk impor gas, tanpa mengatasi mahalnya harga gas di Indonesia,” kata Fahmy Radhi pengamat Energi dari UGM. Namun keseriusan Jonan ini juga diungkapkan usai membuka acara di IndoEBTKE ConEx 2017, Balai Kartini, Jakarta, Rabu (9/13).
“Itu saya kira pemberitaannya kurang pas, Singapura itu menawarkan mini LNG tanker untuk salurkan LNG kita agar digunakan di pembangkit yang ada di kepulauan Indonesia bagian barat,” kata Jonan.
Ditepi lain Joko Purwanto Anggota Komisi VII bidang Energi DPR-RI mengatakan Keputusan pemerintah untuk mengimpor gas alam cair (LNG) diinilai miris apabila hanya berpikir bagaimana cara yang paling mudah atau cepat untuk mengatasi kebutuhan gas. Pemerintah juga dianggap tidak mencoba berpikir untuk jangka waktu yang panjang untuk mengatasi hal-hal seperti itu.
“Miris kiranya kalau pemerintah saat ini hanya berpikir bagaimana caranya yang paling mudah untuk pengadaan suatu hal itu dengan cara impor,” ungkapnya.
Dari mekanisme dagang impor tersebut, kata Joko, disinyalir kemudian setidaknya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Itulah yang menurut Joko wajib atau menjadi suatu hal yang pantas untuk disoroti atau diamati. “Sebagai Komisi VII DPR RI, tentu jadi tugas kami untuk mempertanyakan kepada pemerintah soal impor itu,” kata joko dlaam lama Republika.
Ia pun menuturkan, sebetulnya, kandungan gas di Indonesia itu berlebih. Tapi, dengan berpikir secara jangka pendek, pemerintah jadi berencana untuk mengimpornya tanpa berpikir secara jangka panjang tentang bagaimana menghadapi persoalan itu ke depanya. “Hari ini kita butuhnya gas, ya kita impor gas. Cari gampangnya saja menurut saya,” lanjut dia.
Joko juga menilai miris melihat semua yang ada di Indonesia ini harus diimpor. Mulai dari gas, garam, beras, dan lainnya diimpor. Pemerintah ia anggap selalu berpikir yang praktis-praktis saja. “Kemudian, dengan beralasan saat ini harga beli impor bisa lebih murah daripada harus melakukan spekulasi investasi terjadilah pembenaran. Pembenaran di mana impor itu merupakan suatu hal yang wajar,” tegasnya.
Lantas apa tugas PGN? Ya kasihan PGN yangh perusahaan Gas negara ini bisa-bisa jadi korban dan saat ini BUMN Sektor energi kita sedang menuju saksratul maut PGN juga sangat kesulitan sekarang, soalnya saham di lantai bursa kwartal akhir dari laporannya tidak begitu mengembirakan. Dari catatan yang ada di EWI (ENERGY WORLD INDONESIA) bahwa soal impor LNG dari Singapore masuk dalam kategori tak benar karena tidak ada LNG murah di Asia Pacific. Apalagi dari trader. Wah kalau trader ya bakalan mahal, dan domestik masih ada dan pastinya murah. Tapi mungkin ini untuk cerita gas yang rame maklum akan masuk 2019. Jadi apa ini omong kosong soal gas atau ada maksud lain?
*) GROUP EDITOR IN CHIEF, ENERGY WORLD INDONESIA MAGAZINE