Home BUMN PERTAMINA, KETAHANAN ENERGI & TAK MATI DI LUMBUNG PADI

PERTAMINA, KETAHANAN ENERGI & TAK MATI DI LUMBUNG PADI

953
0
ilustrasi

     OLEH AENDRA MEDITA*)

Potensi Kekayaan Energi Indonesia luar biasa melimpah: minyak bumi, gas, batubara, laut dan lain-lain. Namun pemanfaatannya masih jauh panggang daripada api. Semua potensi itu masih belum bisa diandalkan untuk ketahanan energi nasional. Perlu terobosan serius agar Indonesia bisa mencapai ketahanan energi nasional. Salah satu harapan itu bertumpa pada Pertamina, Perusahaan energi milik Bangsa terdepan. Mampukah Pertamina menjaga ketahanan energi untuk negeri?

Ibarat surga, Indonesia memiliki segala jenis sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Tak salah bila Indonesia disebut sebagai lumbung energi senyatanya.

Saat ini cadangan dan produksi energi Indonesia terdiri Minyak Bumi dengan sumber daya 56,6 miliar barel, cadangan 8,4 miliar barel, produksi 348 juta barel dan rasio cadangan/produksi 24 tahun. Gas bumi dengan sumber daya 334,5 TSCF, cadangan 165 TSCF, produksi 2,79 TSCF dan rasio cadangan/produksi 59 tahun.

Batubara dengan sumber daya sekitar 161 miliar ton, cadangan kurang lebih 28 miliar ton dan produksi berkisar 391 juta ton per tahun, sedangkan rasio cadangan/produksi 93 tahun. Coal bed methane (CBM) dengan sumber daya 453 TSCF. Tenaga air 75,67 GW, panas bumi 27 GW, mikro hydro 0,45 GW, biomass 49,81 GW, tenaga surya 4,8 kWh/m2/day, tenaga angin 9,29 GW dan uranium 3 GW untuk 11 tahun (hanya di Kalan, Kalimantan Barat).

Sebuah laporan cukup mengejutkan datang dari Dewan Energi Dunia di kuartal pertama tahun 2015 lalu. Posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, ketidakseimbangan laju ketersediaan energi dengan kebutuhan.

Menurut laporan Dewan Energi Dunia, ketahanan energi Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47. Ketahanan energi meliputi tiga aspek, yakni ketersediaan sumber energi, keterjangkauan pasokan energi, dan kelanjutan pengembangan energi baru terbarukan.

Penurunan tajam peringkat ketahanan energi Indonesia ini tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini mengingat di sektor lain Indonesia juga melempem. Di sektor ketahanan pangan, sebagai negara agraris, untuk kawasan Asia Tenggara, ternyata peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia tergolong rendah.

Indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2014 menduduki peringkat ke 72 dari 109 negara. Peringkat tersebut tidak hanya kalah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya macam Singapura yang indeks ketahanan pangannya menempati rangking 5.

Peringkat Indonesia juga kalah dari Malaysia (34), Thailand (49), Filipina (65) bahkan Vietnam (67). Beberapa hal menjadi indikatornya seperti dimensi aksesibilitas,ketersediaan, kualitas dan keamanan pangan. Duh!!!

Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi minyak nasional pada 2016 sebesar 832 ribu barel per hari (BOEPD), sementara itu, kebutuhan minyak nasional adalah 1,6 juta barel per hari.

Target-target produksi minyak yang ditetapkan oleh pemerintah setiap awal tahun, ternyata tidak tercapai untuk beberapa tahun berturut-turut karena sebagian besar produksi minyak berasal dari sumur-sumur yang telah menua. Hal ini mengindikasikan bahwa ada keterbatasan pengembangan dalam produksi minyak nasional yang berakibat keharusan impor minyak demi memenuhi konsumsi minyak nasional.

Budaya impor bisa dilihat dari rasio ketergantungan impor, dimana angka rasio ketergantungan menigkat dari 35 % pada tahun 2007 menjadi 44 % pada tahun 2015. Hal ini menandakan bahwa kerentanan energi terhadap kondisi global menjadi ancaman bagi kedaulatan bangsa Indonesia akibat dari tingginya ketergantungan pasokan energi dari luar.

Pada tahu 2015, total produksi energi primer (batubara, minyak bumi, gas bumi dan Energi Baru Terbarukan) sebesar 2.848.025 ribu SBM dimana sekitar 1.887.366 ribu SBM diekspor ke luar negeri. Pada tahun yang sama, Indonesia harus mengimpor energi sebesar 348.267 ribu SBM. Total kebutuhan energi sektoral tahun 2015 adalah 876.594 ribu SBM (tanpa biomassa tradisional). Sektor transportasi merupakan konsumen terbesar, disusul dengan sektor industri dan non energi, rumah tangga, komersial dan sektor lainnya.

Sudah sedemikian memprihatinkan kondisi ketahanan energi dan pangan Indonesia. Rasanya tak salah bila banyak pihak kini mempertanyakan komitmen pemerintah dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dalam negeri.

Pengamat Energi Hendrajit menilai bahwa sampai saat ini pemerintah Jokowi-JK tak memiliki grand strategy ketahanan energi nasional. Padahal menurutnya, masalah ketahanan energi sama pentingnya dengan ketahanan disektor pangan dan militer.

“Ketahanan energi sama pentingnya dengan ketahanan pangan dan ketahanan militer. Ketiganya ini harus terintegrasi dalam ketahanan nasional,” ujar Hendrajit saat berbincang di Jakarta, Jumat, 27 Oktober 2017.

Menurutnya, sekitar 80 persen sumber daya alam (SDA) Indonesia masih dikuasai oleh pihak asing. Hal ini disebabkan lemahnya pemerintah dalam melakukan negoisasi dalam kontrak pengelolaan migas dengan pihak asing.

Direktur Eksekutif Global Future Institute ini juga mengkritik kebijakan Jokowi yang sampai saat ini belum terlihat memiliki gagasan atau blueprint dalam pengelolaan migas.

“Pemerintah sekarang terlihat masih bingung. Jokowi belum melontarkan rencana induk dalam pengelolaan migas. Jika rencana itu sudah ada , tinggal buat strateginya. Harus ada prioritas. Tapi Jokowi tak bikin itu. Karena rencana induknya tidak ada,” jelas Hendrajit.

Bila ditelisik, kegalauan Hendrajit memang bisa dimengerti. Kondisi sumber daya alam Indonesia terus menipis. Sementara produksi dan konsumsi cenderung tak terkendali.

Hasil studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan, pada 2030 konsumsi bahan minyak orang Indonesia mencapai 4,1 kali lipat dari konsumsi minyak pada 2009. Produksi minyak, sementara itu, hanya sebsear dua kali lipatnya. Besar pasak daripada tiang ini akan mencapai puncaknya pada 2030, ketika produksi minyak terus turun dan kebutuhan melompat.

Bila dilihat dari temuan cadangan baru minyak bumi dalam 20 tahun terakhir, sulit untuk mengerem laju penurunan produksi minyak. Rasanya sulit bagi Indonesia untuk kembali memproduksi minyak mencapai 1 juta barel per hari, walaupun seandainya Blok Cepu telah beroperasi maksimal.

Dengan melihat rencana pengembangan lapangan ke depan, Wood Mackenzie bahkan memperkirakan produksi minyak Indonesia akan jatuh ke level 400 ribu barel per hari pada 2020.Dalam satu dekade terakhir, penambahan cadangan terbukti gas bumi nasional meningkat rata-rata 1,5 persen per tahun. Jika di tahun 2000 masih 94,6 TCF, pada 2009 sudah mencapai 107,4 TCF. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksinya hampir dua kali pertumbuhan cadangan terbuktinya, yaitu sebesar 2,8 persen per tahun atau meningkat dari 6,3 SCFD menjadi 7,9 miliar SCFD pada periode yang sama.

Meski sempat mencapai angka tertingginya pada 2003, dan kemudian melandai, namun produksi gas dalam tiga tahun terakhir selalu melebihi target.

Saat ini, Indonesia merupakan produsen gas bumi terbesar kesepuluh di dunia dan terbesar kedua di Asia Pasifik. Namun demikian, pemanfaatan gas di dalam negeri belum optimal. Sekitar 50% dari total produksi tersebut dialokasikan untuk ekspor, baik dalam gas alam cair (LNG) maupun gas bumi.

Inilah yang menyebabkan berapa pun peningkatan lifting gas, tidak akan banyak berpengaruh positif terhadap pasokan gas domestik. Sebab, sebagian produksi gas diekspor ke luar Indonesia. Padahal, permintaan konsumsi gas di dalam negeri terus melonjak seiring terus naiknya konsumsi minyak.

Sama seperti sektor minyak, industri gas secara keseluruhan juga ketar-ketir. Saat ini shortage pasokan gas untuk domestik diperkirakan sekitar 1.500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau setara dengan 255 ribu barel setara minyak per hari, dan sejalan dengan laju permintaan gas yang didorong pertumbuhan ekonomi serta menurunnya pasokan gas existing. Maka, gap antara suplai dan permintaan gas akan semakin melebar, mengancam pertumbuhan sektor industri dan kesinambungan pasokan energi primer untuk pembangkitan listrik.

Dari gambaran Neraca Gas Nasional yang dibuat Ditjen Migas, gap antara permintaan dan suplai gas dari lapangan existing akan melebar ke level 3.500 mmscfd pada 2015 dan bertambah lebar lagi menjadi 4.200 mmscfd (sama dengan 700 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.

Sumber energi di dalam negeri yang tak kalah potensial adalah sektor tenaga kelautan. Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dan dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia. Dengan dikelilingi oleh dua samudra besar di dunia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Laut Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan energi yang sangat besar. Apabila digali lebih mendalam, laut Indonesia paling tidak dapat dimanfaatkan dengan lima cara, yaitu : gelombang laut, pasang surut, arus laut , perbedaan salinitas dan perbedaan suhu laut. Saat ini diestimasi bahwa potensi kelautan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menghasilakan daya sebesar 240 GWe.

Energi gelombang laut (wave power) diturunkan dari tenaga dari gelombang permukaan yang terhempas ke garis pantai . Sedangkan energi pasang surut (tidal power) didapat dari pemanfaatan energi kinetik dari pasang surut yang terjadi. Pemanfaatan tenaga melalui arus laut dilakukan dengan mendesain turbin yang dapat diputar oleh arus deras (marine current power). Energi osmotis (osmotic power) memanfaatkan dari kadar garam di laut, Ocean Thermal Energy Convention memanfaatkan prinsip thermodinamika ketika terdapat sistem dan lingkungan yang memiliki perbedaan suhu yang cukup besar.

Sayangnya, dari potensi yang sedemikian besar, tingkat pemanfaatan energi kelautan Indonesia hanya 0,000458 %, jauh dari nilai optimal yang dimiliki. Kapasitas terpasang ini merupakan pemanfaatan energi gelombang laut di pantai Baron Yogyakarta (kapasitas terpasang 1,1 MW). Padahal, menurut BPPT, estimasi potensi listrik dari energi gelombang di Indonesia adalah 20-70 MW/m.

Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional, pada tahun 2025 nanti kebutuhan energi nasional akan melonjak hingga 400 juta ton setara minyak bumi. Sedangkan menginjak 2050, kebutuhan energi nasional akan semakin melonjak ke angka 1.000 juta ton setara minyak bumi.

DEN juga mencatat, cadangan terbukti minyak bumi dalam negeri hanya 3,8 miliar barel. Dengan asumsi produksi saat ini 800 ribu barel per hari, maka cadangan minyak kita akan habis dalam kurun waktu 13 tahun. Salah satu alasan mengapa cadangan juta terus menurun tanpa ada penambahan cadangan ditemukan adalah minimnya eksplorasi. Padahal, untuk eksplorasi membutuhan waktu sedikitnya 5 tahun kegiatan eksplorasi.

Cadangan terbukti untuk gas sebesar 2,6 persen cadangan dunia. Namun hingga 2021 nanti produksi justru akan menurun di saat konsumsi sedang bertambah.

Untuk Geotermal atau panas bumi, cadangan diperkirakan 29,2 giga watt. Namun cadangan terbukti yang telah diteliti dan dilakukan eksplorasi oleh ahli geologi dan geofisika baru 15 giga watt.

Untuk mikro hidro potensinya 75 GW potensi. Tetapi lingkungan kita banyak yang rusak. Asumsi kita paling cuma 35 persen dari 75 GW. Paling cuma bisa 25 GW dimaksimumkan dan ini mendesak agar ada political will dari pemerintahan Jokowi JK untuk bisa membangun dan melakukan diversifikasi energi.

Bila tak ada terobosan segera, dikhawatirkan kondisi ketahanan energi Indonesia akan terus melemah. Posisi ketahanan energi Indonesia yang telah semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir, dikhawatirkan bisa terus melorot.

Rupanya ketahanan energi kita terbilang rendah karena tidak seimbangnya laju ketersediaan dengan laju kebutuhan energi. Dan Indonesia pun terlalu bertumpu pada minyak bumi sebagai sumber energi, tidak mengembangkan energi lain.

Pengamat ekonomi Darmawan Prasodjo menekankan pentingnya menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan energi dan kebutuhan energi. Hal ini berkaitan dengan penyediaan energi yang murah, tetapi tetap memperhatikan kondisi lingkungan melalui penggunaan energi bersih. Titik keseimbangan energi harus dipilih. “Pilihan ini berhubungan dengan ketahanan dan keamanan energi nasional,” katanya.

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat menggelar rapat kerja dengan Dewan Energi Nasional (DEN) dengan agenda evaluasi, sinkronisasi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengambil kesimpulan rapat perdana dengan DEN. Inti dari kesimpulan ialah meminta DEN membantu sosialisasi daerah yang belum terbuka dengan energi baru terbarukan (EBT) sehingga memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

“Jika tidak ada lagi maka kesimpulan rapat bisa kita ambil. Pertama, Komisi VII DPR RI mendesak Ketua Harian Dewan Energi Nasional untuk melakukan langkah-langkah konkrit mendorong percepatan penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED),” jelas Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu di Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Kedua, Komisi VII DPR RI mendesak Ketua Harian Dewan Energi Nasional untuk melakukan sosialisasi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) lebih intensif di daerah-daerah dengan melibatkan seluruh stakeholder.

“Seperti disampaikan tadi ada 8 daerah yang kurang atraktif, kita minta sosialisasi terus dilakukan,” ujarnyaKomisi VII DPR RI mendesak Ketua Harian Dewan Energi Nasional untuk melakukan inventarisasi dan optimalisasi potensi energi daerah rangka percepatan pencapaian target bauran energi nasional.

“Keempat, Komisi VII DPR RI mendesak Ketua Harian Dewan Energi Nasional memastikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) di seluruh daerah sinkron dengan RUEN,” jealsnya.

Dunia dan Ketahanan Energi

Krisis minyak dunia pada dekade 1970-an akibat Perang Arab-Israel 1973-1974, menjadi pemantik gonjang-ganjing politik dunia. Perang ini belakangan menimbulkan rentetan peristiwa yang cukup mengharu-biru, Harga minyak dunia kemudian melambung tinggi, yang mencapai puncaknya pada tahun 1980 dengan harga US$35 per barrel ($93 per barrel saat ini). Peristiwa ini memaksa Negara-negara di dunia untuk mengkalkulasi kembali ketahanan energi mereka.

Di Asia, hampir semua Negara mulai menghitung kekuatan energi mereka. Jepang, misalnya. Akibat krisis energi di sepanjang dekade 1970-an, Jepang mulai membuat kebijakan strategis seputar ketahanan energi mereka. Pada 1980, Jepang menerbitkan laporan “Japan’s Comprehensive National Security”.

Demikian juga dengan Indonesia. Di dalam negeri, pemerintah tampak serius memikirkan solusi krisis energi dunia. Pada 1981, pemerintah membuat Kebijakan Umum Bidang Energi. Belajar dari krisis energi pada dekade 1970-an, pengelolaan energi Indonesia telah mulai ditata. Namun demikian, Indonesia yang di masa itu masih menikmati sebagai produsen minyak, tampak tak konsisten. Walhasil, kebijakan energi nasional yang telah dikeluarkan belum menghasilkan perubahan yang berarti dalam mencapai kondisi keenergian yang positif.Permasalahan implementasi, koordinasi dan payung regulasi masih menjadi kendala utama. Melihat kondisi demikian, pada tahun 2007 pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi yang salah satu amanatnya menyusun Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dirumuskan Dewan Energi Nasional dan ditetapkan Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. KEN ini akan menjadi pedoman bagi Rencana Umum Energi Nasional serta Rencana Umum Energi Daerah.

Namun demikian, sampai saat ini hasilnya belum juga tampak. Pemerintah kembali mulai serius membenahi sektor ketahanan energi sejak krisis dunia 2008. Puncaknya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang dirumuskan DEN, peran energi baru terbarukan dalam bauran energi pada 2025 sedikitnya sebesar 23 persen. Pada 2050, porsinya meningkat menjadi sedikitnya 31 persen.

Sumber kami di SKK Migas mengatakan bahwa beberapa puluh tahun yang lalu (di masa orde baru), energi fosil begitu berlimpah ruah. Kita boleh berbangga karena pernah masuk dalam organisasi minyak dunia OPEC, sehingga dikenal negara-negara lain di dunia. Namun ketika energi fosil ini diekplorasi sebanyak-banyaknya, maka cadangan minyak menjadi semakin tipis. Sehingga pemerintah harus berbenah diri untuk mempertahankan ketahanan energi dari minyak ke konversi gas.

Akibatnya, bayangan krisis Energi menghantui!  Inilah kata yang sering terngiang terus, ketika pasokan energi di negeri ini semakin menipis, dan Krisis energi memang membayang.

Menurutnya, jumlah kebutuhan dan konsumsi minyak yang tinggi di dalam negeri, tidak diimbangi dengan produksi yang memadai. Akibatnya kran impor terus membesar.

Bayangkan jumlah kebutuhan minyak (BBM) di Indonesia sangat tinggi mencaai sekitar 1,4 juta barel/hari. Sementara dari sisi hulu (K3S- SKK Migas), menghasilkan produksi sekitar 800.000 Barrel/per hari. Dari jumlah 1,4 juta barel itu dipergunakan 40% untuk BBM untuk sektor transportasi, 30% nya untuk listrik dalam artian solar, sisanya industri kapal dan lain-lain.

Dari 800.000 barel minyak untuk kebutuhan dalam negeri saat ini semua sudah dikonsumsi, sehingga yang diimpor ada sekitar 700.000 barel. Sementara gas sekarang itu produksi barel mencapai 1,3 juta barel minyak ekuivalen perhari. Target 2015 dari nilai tersebut dipilah lagi untuk 35% yang dipergunakan untuk kebutuhan listrik, 20%-nya untuk pupuk dan industri, sisanya untuk ekspor. Sebelumnya di tahun 2014 lalu, kebutuhan listrik hanya 22%,  pupuk 19% ditambah industri 5% dan untuk ekspor sebanyak 54%. Sektor Industri menurun karena hampir semua dialokasikan untuk listrik dan pupuk.

“Sementara di industri  gas saat ini masih membutuhkan infrastruktur, selama infrastrukturnya belum siap kita masih belum konsentrasi ke sana” kata sumber tadi.

Dari 54% energi yang diekspor sekarang ini menjadi 40%, sehingga selisih sisanya bisa dipakai untuk kebutuhan industri dalam negeri. Walhasil, bisa makin memperkuat ketahanan energi dengan memperkuat program konversi gas.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, memang turut mendorong laju konsumsi bahan bakar energi kian menanjak.

Pertanyaannya, mampukah Indonesia mempertahankan ketahanan energi di dalam negeri? Apa yang harus dilakukan agar ketahanan energi bisa kuat?

Dosen Perminyakan ITB Ucok Siagian mengatakan untuk mempertahankan ketahanan energi di dalam negeri, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, perlunya konversi ke renewable energy. “Kita memiliki kelebihan geografis. Indonesia adalah negara tropis dengan garis khatulistiwa. Energi terbarukan yang paling potensial kedepan adalah tenaga surya. Solar PV. Selain itu jika Indonesia dapat memaksimalkan potensi geothermalnya maka kita dapat membangkitkan tenaga sampai 28.000 MW,” kata Ucok.

Kedua, Konservasi energi (perilaku, peralatan). Tidak boleh lagi menjual peralatan yang tidak hemat energi. “Ini bisa diatur negara,” katanya.

Ketiga, pengembangan teknologi, aplikasi, dan sistem informasi yang bermanfaat bagi sektor energi.

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri pernah  mengusulkan cara lain, yakni dengan membentuk Petroleum Fund. Dia menyarankan perlunya pungutan dana dari hasil penjualan minyak dan gas bumi untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Dana tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan sektor minyak dan gas bumi. Tujuan utama pemanfaatan dana untuk pengembangan sumber daya manusia.

“Kekayaan migas yang dieksploitasi sekarang ini sebenarnya, kan, hak anak cucu kita juga. Semakin banyak minyak dan gas bumi yang dieksploitasi, maka akan semakin sedikit bagian untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, perlu ada tabungan yang dipungut dari dana hasil penjualan migas kita atau disebut petroleum fund,” kata Faisal, saat diskusi soal Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, di Jakarta,Dana tersebut, imbuh Faisal, murni untuk pengembangan sumber daya manusia generasi mendatang. Ia menegaskan bahwa petroleum fund sama sekali tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkait dengan usaha hulu atau hilir migas. Ia khawatir, jika dana itu dipakai untuk pengembangan kegiatan eksplorasi akan membuka celah bagi perusahaan pemburu rente.

“Contoh bagus soal pungutan dana migas adalah Timor Leste. Seluruh penerimaan migas mereka paling besar yang dimasukkan dalam anggaran dan pendapatan belanja negara itu sekitar 20 persen. Sisanya, 80 persen, ditabung untuk pengembangan generasi muda Timor Leste,” ujar Faisal.

Belajar dari itu semua  sebenarnya, Indonesia bisa belajar dari China dalam hal ketahanan energi. Apalagi, karakteristik Indonesia dan China mirip. Cadangan minyak dan batubara China berada di kawasan utara dan timur laut seperti Huabie, Daqing, Shengli dan Zongyuan. Gas terletak di kawasan barat dengan geografis yang kompleks. Sementara industri dan konsumen berada di wilayah tenggara.

Ulasan menarik ini sebenarnya datang dari Dr. Bruce C. Arntzen, Senior Research Director at MIT’s Center for Transportation and Logistics, dalam artikel bertajuk “Near-Shoring/Right-Shoring Strategies: Weighing the risks of global sourcing” yang dipublikasikan kembali pada Agustus 2011 lalu.

 “No discussion of this topic can be started without first looking at China,” kata Arntzen. “The emerging middle class and mass of new consumers will be a major force for change. The demand for luxury goods manufactured outside of China is going to remake the manufacturing landscape within that country. For example, a Gucci bag made in one of the local provinces is not going to have the cache of an authentic item from northern Italy.”

Arntzen mengulas, setidaknya ada empat strategi yang dipakai China dalam meningkatkan ketahanan energi mereka.

Pertama, strategi Right shoring. Dengan strategi ini, China  mendekatkan industrinya ke lokasi sumber energi atau bahan baku. Mereka membangun zona ekonomi khusus baru yang berorientasi energi di Zhuhai, Shantou, Xiamen dan Shenzen, yang semuanya berorientasi pasar dan menarik masuk investasi. Lokasi-lokasi tersebut berdekatan dengan sumber atau setidaknya dekat dengan kilang pengolah dan depot utama. Dengan demikian, waktu, risiko dan biaya akibat distribusi bisa ditekan. Tidak heran bila hasil dan nilai produksi barang-barang China lebih kompetitif dan harga murah.

Kedua, strategi Investasi dan Insentif Infrastruktur Eksplorasi, Produksi, Distribusi dan Transmisi. Dengan strategi ini, pemerintah China memberikan insentif pajak yang sangat menarik dan bunga bank sangat rendah bagi investor yang mau membangun infrastruktur energi, termasuk distribusi dari sumber ke zona industri. Tak heran bila dalam waktu relatif singkat mereka berhasil membangun pipa gas dari barat ke timur dan jalur kereta pengangkut batubara dari barat ke timur. Minyak juga berhasil dialirkan dari basis produksi di Daqing, Shengli, Liaohe dan Tarim melalui pipa ke zona industri dalam waktu relatif singkat.

Ketiga, memperbesar Inventori. Untuk menekan biaya, waktu dan risiko distribusi migas serta menaikkan stok, China menambah jumlah dan kapasitas pengangkut seperti tanker dan kereta. Kilang turut diperbesar untuk menaikkan inventori dalam rangka mengamankan cadangan energi. Saat ini China adalah negara paling agresif di dunia dalam menumpuk migas dari dalam dan luar negeri demi kelangsungan ketahanan energi dengan kapasitas 12,7 juta barel per hari. Stok migas mereka cukup untuk lebih dari 90 hari, jauh lebih tinggi dari standar OPEC. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya cukup 17 hari saja.

Keempat, Industri Manufaktur yang fleksibel. Sebagian besar industri di zona ekonomi China memiliki fleksibilitas tinggi dan tak hanya tergantung pada produksi satu komoditas. Mesin-mesin mereka bisa menyesuaikan dengan cepat jenis bahan baku untuk memproduksi tipe produk yang berlainan.

Kita tak perlu kaget saat ini China hampir bisa memproduksi semua jenis barang, termasuk industri yang menopang hulu migas. China menjelma menjadi sebuah raksasa dunia yang menandingi kedigdayaan Amerika Serikat dan Eropa. Padahal, dari sisi sumber daya alam dan manusia, China tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Jika setuju maka pandangan Corporate Secretary PT Pertamina, Syahrial Mukhtar dalam wawancaranya dengan Energy World Indoensia melihat bahwa strategi ke depan bagi Pertamina merencanakan membangun kilang sampai dua juta barrel investasinya, itu pasti membutuhkan crude dari luar. adalah langkah untuk menujua ketahanan energi, karena Pertamina punya penguasaan volume di blok-blok itu akhirnya bisa dibawa untuk kepentingan dalam negeri.

Sehingga kalau bicara punya crude impor,  itu bukan mendatangkan barang orang tapi membawa barang kita sendiri. Kebijakan yang ada dengan cara seperti itu, oleh karenanya sangat membutuhkan materi (uang) untuk mendapatkannya.

Dari mana uangnya? Kami punya asset yang bisa untuk menjaring investasi. Kami juga punya market, market is power. Dalam konteks energi,  kita semua ini harus menguasai market, demand dan kuasai infrastruktur. Market sebagai kekuatan yang harus dikuasai begitu juga dengan  infrastruktur.

Bagaimana caranya?

“Pertamina perlu berpartner di downstream,  akan tetapi kami  yang harus mengendalikannya, jangan sampai ada infrastuktur di hilir yang kepemilikannya  100% oleh yang lain, kemudian kami bergantung kepada mereka. Bisa menyandera. Pada akhirnya kita semua hanya menjadi penonton saja, karena mereka yang memiliki dan menguasai. Kalau kami tidak mempunyai infrastruktur yang baik, maka akan seperti itu. Ke depan, Pertamina akan mencoba menguasainya, dan ini prinsip kami untuk strategi ke depan”jelasnya.

Menurut Syahrial Pertamina sudah melihat anatomi persoalan ini di dalamnya dan jangan sampai hilang. Targetnya, Pertamina harus membangun kilang yang bisa mencapai dari 800.000 barrel menjadi 2 juta barrel hingga sampai tahun 2025 nanti atau menjadi dua kali  lipat lebih.

Yakin. Karena negara kita memiliki Sumber Daya Alam (SDA), sedangkan negara yang tidak punya SDA pun seperti Korea, Jepang dan negara lain itu,  mereka bisa bangun kilang, masa kita tidak?

“Kalau kilang di Singapura bisa hidup berarti  Pertamina juga bisa hidup. Tidak ada alasan itu, karena itu yang akan dilakukan. Ini  kalau kita bicara  soal security energy, kemandirian energi,”bebernya.

Untuk menuju kemandirian energi harus membangun kilang sehingga produknya dapat, dan nanti untuk mengisi crude-nya kilang itu,  Pertamina punya lapangan-lapangan yang  bisa ‘dibawa’ ke dalam negeri.

Biaya dari mana? Kami mempunyai asset dan akan mencari partner yang benar, itulah yang digunakan untuk tumbuh, tidak ada orang yang bisa besar sendiri. Untuk menjadi besar itu kita perlu berpartner.

Syahrial menjelakan bagaimana pola partnership seperti Blok Mahakam,  kami akan mencari partner dengan skema B2B. Pertamina sebagai operator dan harus yang tertinggi porsinya. Semua ini sedang disusun. kami sedang melihat dan mengkaji NOC yang ada di seluruh dunia, karena ternyata, NOC itu semua mendapatkan dukungan dari pemerintahnya sendiri, seperti, Petronas, Aramco, Kuwait, semua itu mendapat privilege dari pemerintah. Misalnya ada blok baru mereka mendapatkan 25% atau 50%, itu privilege, kemudian semua orang kalau mau menjual brand-nya, ke mereka dulu,  seperti yang terjadi di Nigeria.

Sekarang ini kami sedang me-list itu, Kami  ingin seperti itu dan juga diberikan privilege. Di Petronas, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mereka impor itu dari negerinya sendiri. Begitupun Pertamina, treatment-nya itu sama dengan importir lainnya tidak ada bedanya.

Untuk jangka panjang yang merupakan program ketahanan, Pertamina harus kuasai cadangan yang lebih besar kemudian memproduksi kapasitas yang besar dan infrastrukturnya. Dalam hal ini kami tidak pesimis dan sudah membuktikan keberhasilannya.

Jadi, sebetulnya yang ingin kami sampaikan begini bahwa pada saat ini rakyat Indonesia masih menikmati subsidi Premium melalui Pertamina. Intinya, sekarang masyarakat sudah mendapatkan manfaatnya, tetapi ke depan secara korporasi pemerintah ataupun Pertamina akan memikirkan juga dengan segala tantangan yang ada.

Dan laporan keuangan  semester satu dengan keuntungan, itu salah satunya berkat upaya-upaya melakukan efisiensi, sehingga ketika harga-harga itu belum disesuaikan.

Target keuntungan ke depannya sekitar 3 miliar US$. Di Pertamina,  ketika harga minyak turun tidak ada PHK tapi kami melakukan efisiensi.

Nah jika ini yang harus dilakukan selain efisiensi dan juga mampu menjaga ketahahan energy maka memang pertamnia layak menjadi acungan jempol.

Dan Indonesia punya segalanya. Sumber daya alam tersedia melimpah ruah. Ibarat pemeo, Indonesia adalah lumbung sumber daya alam dunia. Akhirnya kita harus sepekat menolak terjadi seperti tikus mati di lumbung padi. Tapi kita harus kuat di dalam energi untuk menuju ketahanan nasional***

*)Jurnalis  ENERGYWORLD INDONESIA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.