Pendapatan dari PT Pertamina (Persero) pada kuartal III-2017 tercatat sebesar USD31,38 miliar atau setara Rp425 triliun (kurs Rp13.549 per USD). Namun, perseron memiliki potensi kehilangan pendapataan lantaran tidak ada penyesuaian harga jual bahan bakar minyak (BBM) dengan harga rata-rata minyak dunia.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, jika mengacu formula yang ada seharusnya pendapatan Pertamina bisa mencapai USD32,8 miliar atau Rp444 triliun.
Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), dia menyadari bahwa pihaknya harus mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah, termasuk kebijakan soal harga BBM. Oleh karenanya, kalau pun harga minyak dunia naik, pemerintah bisa memutuskan tidak menaikan harga BBM.
“Kebijakan haga ditentukan pemerintah. Pertamina kan milik pemerintah 100%. Kita bisa lihat gambarannya secara objektif,” paparnya.
Pasalnya, harga crude Indonesia price (ICP) rata-rata sembilan bulan di 2016 sekira USD38 atau USD37,88. Sementara pada periode yang sama 2017 naik hampir 30%. Meski demikia, kenaikan tersebut tidak disesuaikan dengan harga jual BBM di tingkat konsumen. “Tentu harga naik ini kita tentunya tadinya berharap ada penyesuaian harga sesuai kesepakatan per tiga bulan,” ujarnya.
“Tapi it’s okay. Inilah saya kira kebijakan pemerintah dan ini dinikmati konsumen Pertamina. Mereka mendapatkan harga BBM yang lebih murah. Dulu USD21,5 miliar sekarang cost-nya USD27,4 miliar. Tapi kita bisa catat laba USD2 miliar (Rp27,09 triliun), turun 27%,” lanjutnya.
Tambah dia, kalau saja ada penyesuaian harga ICP, maka laba Pertamina bisa mengantongi laba USD3,05 bilion (Rp41 triliun). “Mestinya kita itu untungnya masih USD3,05 miliar,” tandasnya. |MDRE