ENERGYWORLD.CO.ID – Pembangkit listrik bersekala besar belum sepenuhnya bisa pasok kebutuhan energi di seluruh wilayah Indonesia. Masih banyak desa terpencil yang gelap gulita, tidak tersentuh jaringan listrik Perusahaan Listrik Negra (PLN). Masalah ini bukan berarti PLN tidak mau pasang jaringan, namun salah satu pertingbangannya disebabkan kondisi wilayah yang sulit dijangkau.
Pemenuhan rasio elektrifikasi secara nasional, dalam hal ini pemerintah Indonesia, juga terapkan teknologi lain. Mengingat banyak desa memiliki potensi sumber daya alam yang bisa dikembangkan untuk pembangkit energi listrik. Sebagai jawaban permasalahan di atas konsep teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) merupakan salah satu alternatif solusi yang dapat menembus keterbatasan akses transportasi, teknologi, dan biaya.
Sebelum dan masa pemerintahan Jokowi, teknologi PLTMH sudah diterapkan di berbagai pelosok desa dan banyak masyarakat yang mendapatkan manfaatnya. Teknologi sedehana ini selain memberi pasokan energi listrik untuk penerangan, juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat pedesaan. Namun dibalik itu tersimpan pula kisah heroik, haru dan pilu, terutama yang dialami pelaku usaha dan para pekerja PLTMH.
Pengalaman membangun PLTMH tidak semudah membangun ruangan sekolah, tapi banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Eri Eriadi General Manager Cihanjuang Inti Teknik (CIT) saat ditemui di tempat pekerjaanya, Jalan Cihanjuang Kota Cimahi, Jawa Barat (27/7/2018) mengatakan, secara teknis para pekerja dihadapkan dengan arus sungai. Membangun disuatu kondisi basah diperlukan teknik dan pengalaman yang matang.
“Selain itu, pemasangan alat pembangkit mikro hidro banyak dilakukan di desa-desa yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Kita harus berhadapan dengan alam yang masih perawan dan adat istiadat masyarakat setempat. Biasanya kita membangun kurang lebih sekita 3 sampai 4 bulan, tapi untuk kapasitas daya terbangkit sebesar 1 megawatt pekerjaan bisa sampai satu tahun. Selama itu kita di sana terus,” ujar Eri.
Papar Eri, sebelum membangun terlebih dahulu melakukan survai. Meliputi survai kondisi alam setempat, bagaimana ketinggian sungai, kumpulkan data, minta inpormasi pada masyarakat dan segala macam kemungkinan dipelajari. Terpenting dari kegiatan ini adalah pendekatan pada masyarakat yang meneriman manfaat, karena membangun kontruksi kesulitanya hanya 30 persen sedangkan kesulitan terbesar adalah bagaimana memberi pengertian pada masyarakat dari mulai persiapan hingga pasca dibangun dan pemeliharaan PLTMH.
“Terkadang ada masyarakat yang tidak mau menerima kita sebagai orang luar untuk membangun, karena awam mereka tidak begitu percaya pada kita. Tentunya kita siasati dengan banyak melakukan komunikasi kepada masyarakat dan pendekatan pada tokoh adat. Pendekatan langsung diantaranya dengan melibatkan sabagaian masyarakat sebagai pekerja. Mereka diberdayakan untuk belanja kebutuhan para pekerja dan belanja bahan baku. Jika proses itu berhasil, dari mereka kita dapat imposmasi kondisi wilayah dan pembangunanpun berjalan dengan lancar,” ungkap Eri.
Tantatangan yang harus dihadapi lainnya adalah kondisi alam. Tempat yang jauh dari pusat kota, hutan, berbukit, jalanan berliku dan terjal sehingga sangat sulit untuk akses kendaraan bermotor. Para pekerja PLTMH dituntut memiliki mental baja, sabar, ulet dan mudah beradaptasi. Tutur Eri, pada saas di sana hanya dibangun base camp seadanya, asal layak huni. Mereka harus menyimpan stok kebutuhan pokok cukup bayak karena menuju tempat belaja memerlukan waktu sehari penuh untuk pergi dan pulang belanja.
“Lainnya yaitu kesulitan membawa materian untuk membangun, seperti halnya batu dan semen. Kalau di kota semen itu harganya lima puluh ribu, kalau di pedalaman harganya bisa mencapai lima ratus ribu. Bahkan dulu saat saya membangun di Papua untuk satu sak semen bisa mencapai dua juta karena diangkut menggunakan pesawat. Kendala-kendala seperti ini banyak yang tidak terprediksi, karena selain paktor cuaca juga kendaraan angkut barang. Kita sudah biasa melakukan itu, ya kita laksanakan saja. Benda-benda yang akan dipasang dan sulit diangkut manusia, karena lokasinya terpencil seperti di Sulawesi kita pernah menggunakan kuda, di Papua kita sampai sewa helikopter, dan di Kalimantan angkut tiang listrik menggunakan perahu,” keluh Eri.
Hutan sebagai tempat binatang buas berkumpul menjadi tantangan lain yang harus dihadapi para pekerja PLTMH. Mereka banyak menemukan kalajengking, babi hitan, ular, termasuk beruang dan harimau. Agar terhindar dari ganggun binatang tersebut, para pekerja bergiliran menjaga, jangan sampai celaka karena tidak menyadari adaya bahaya atau serangan binatang buas.
“Serangan binatang yang cukup membahayakan adalah nyamuk. Pernah satu tim terserang nyamuk. Mereka ditarik dulu dari hutan dan masuk rumah sakit. Kerena terlambat tertangani ada diantara mereka yang meninggal dunia. Sedangkan yang sudah pulih, mereka kembali ke hutan melanjutakan pekerjaan,” kata Eri dengan sorot matanya penuh keharuan.
Pengalaman mengharukan lainya kata Eri adalah saat prediksi cuaca meleset. Cuaca ditempat pekerjaan terasa cerah dan diperkirakan tidak hujan. Ternyata banjir karena hujan besar terjadi di hulu. Pondasi yang baru dibangun tiba-tiba diterjang bajir. Paginya ketahuan sudah hilang dan harus dibangun ulang.
“Saat kita lagi membangun di NTT, kita sudah bangun penuh, tapi tiba-tiba ada banjir besar membawa kayu golondongan hingga menabrak bendungan, ya akhirnya jebol. Teman-teman juga hampir terbawa arus. Segala perlemkapan PLTMH yang sudah dipasang tertimbun dan hanyut terbawa arus, yang bisa diselamatkan kita selamatkan, yang harus diganti kita ganti seperti generator dan pipa-pipa yang bengkok,” jelas Eri.
Hal yang membahagiakan bagi Eri, disaat pekerjaan sudah selesai semuanya. Pembangkit sudah bisa dioprasikan, listrik mengalir, lampu bersinar di tiap rumah. Walau hanya setitik cahaya yang didapat, tapi cahaya itu sacara tidak langsung telah menyinari pikiran dan jiwa masyarakat penerima manfaat. Cahaya itu siap menyongsong peradaban baru di desa. Masyarakat desa dapat tingkatkan perekonomianya, sebagai contoh desa terdekat dari pemerintah pusat adalah Gunung Halu, di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
Eri contohkan, masyarakat Gunung Halu sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia, semula menjual biji kopi secara langsung. Setekah energi listrik masuk ke wilayahnya, mereka mampu mengolah kopi menjadi siap seduh yang hargaya lebih mahal dibanding jual biji.
“Kehadiran PLTMH disambut dengan suka cita, masyarakat selenggarakan selametan, gelar pesta merayakan keberhasilan pembangunannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan dari masyarakat kita dapatkan, dan ketika kita mau pulang, mereka banyak memberi oleh-oleh hasil alam,” kenang Eri.
Tunda pengalaman membangun PLTMH dalam memberi setitik cahaya (energi) di desa-desa, disisi lain Eri Eriadi berharap CIT tempat usahnya menjadi piaonir manufaktur pembuat turbin di Indonesia. Dibangunya prabikasi turbin ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pasokan PLTMH di dalam negeri dan membendung serbuan produk luar negeri.
Secara kualitas produk turbin CIT bisa dipertanggungjawabkan, terbukiti beberapa negara seperti Swiss, Jepang, Afrika dan Malaysia telah membelinya. Namun persaingan bisnis tidak bisa dihindari. Pemesan turbin pada CIT belakangan ini mulai mengendur, kalah bersaing dengan impor turbin dari Cina yang harganya lebih muruh.
“Saya tidak ingin bicara kualitas, tapi namanya teknik pasti dihitung. Kok mereka bisa lebih murah saya tidak mengerti. Dalam hal ini, saya meminta pada pemerintah bikin standar nasional dan meredam impor dari luar. Kita tidak ingin menyalahkan siapa, pemerintah punya rencana. Tapi, kalau pesanan tergantung pada impor, saya kira produsen turbin PLTMH di Indonesia akan hilang. Berapa lama kita bertahan? Kalau tidak ada peluang diberikan pada kita, harapannya bisa mencari peluang selain proyek dari pemerintah,” pungkas Eri. ***(Hermana)