Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
BPK telah melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas Kontrak Karya PT Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2013 s.d. 2015 pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Instansi terkait lainnya di Jakarta, Jayapura, Timika dan Gresik.
Pemeriksaan dilakukan sebagai perwujudan kewenangan BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, serta dituntut untuk dapat mendorong penerapan prinsip pemerintahan yang baik (good governance) yang diantaranya adalah dalam penerapan pasal-pasal dalam Kontrak Karya sesuai dengan Perundangan serta pengelolaan atas PNBP dan lingkungan.
Pemeriksaan juga dilakukan dengan pendalaman pada kantor pusat Freeport McMoran (FCX) di Amerika Serikat, New York Stock Exchange (NYSE) dan Kantor Akuntan Publik (Ernst & Young) baik di Indonesia dan Amerika.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji dan menilai apakah:
1. PTFI telah patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan PNBP (royalti dan iuran tetap) serta bea keluar ekspor pada Pemerintah Republik Indonesia baik ketepatan jumlah dan waktu sesuai ketentuan perundang-undangan;
2. Perpanjangan kontrak yang akan dilakukan PTFI sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
3. PTFI telah mematuhi semua peraturan terkait lingkungan hidup di semua wilayah yang dikuasai dan dieksploitasinya;
4. Divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Laporan hasil pemeriksaan BPK nomor 6/LHP/XVII/2017 tanggal tanggal 21 April 2017, dimana pemeriksaan ini dilakukan langsung oleh Auditoriat Utama Keuangan Negara VII, menghasilkan kesimpulan :
1. Terdapatnya Potensi Peningkatan Penerimaan Negara dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi/Royalti PTFI selama Periode Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2015 Sebesar USD445.967.326,90;
2. Kelebihan Pembebanan Biaya Concentrate Handling pada PTFI Tahun 2013 s.d 2015 Mengakibatkan Kekurangan Penerimaan Royalti Sebesar USD181,459.93;
3. Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan yang Dilakukan PT Kuala Pelabuhan Indonesia pada PTFI Tidak Sesuai dengan Peraturan Perundangan-undangan;
4. Pengawasan dan Pengendalian Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pemasaran Produk Hasil Tambang PTFI Masih Lemah;
5. Terdapat Potensi Peningkatan Nilai Tambah Mineral Minimal Sebesar USD135,904,449.35 yang Tertunda Akibat Belum Terlaksananya Pembangunan Fasilitas Pemurnian PTFI;
6. Penciutan Luas dan Status Blok B pada Wilayah Kontrak Karya PTFI Belum Ditetapkan Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku;
7. PTFI Menggunakan Kawasan Hutan Lindung Dalam Kegiatan Operasionalnya Seluas Minimal 4.535,93 Ha Tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Hal Ini Bertentangan Dengan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004;
8. PTFI Melaksanakan Kegiatan Operasional Pertambangan DMLZ (Deep Mill Level Zone) serta Memperpanjang Tanggul Barat dan Timur Tanpa Izin Lingkungan;
9. PTFI Telah Menimbulkan Perubahan Ekosistem Akibat Pembuangan Limbah Operasional Penambangan (Tailing) di Sungai, Hutan, Estuary, dan Telah Mencapai Kawasan Laut;
10. Terdapat Kelebihan Pencairan Jaminan Reklamasi PTFI Sebesar USD1,434,994.33 Yang Seharusnya Masih Ditempatkan Pada Pemerintah Indonesia;
11. Pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian LHK atas Pengelolaan Lingkungan PTFI Belum Dilaksanakan Sesuai Peraturan Yang Berlaku;
12. PTFI Belum Menyerahkan Kewajiban Penempatan Jaminan Pascatambang Kepada Pemerintah Indonesia Untuk Periode 2016 Sebesar USD22,286,839.11 dari Total Kewajiban Periode 2016-2019 Sebesar USD353,759,351.00;
13. Perizinan serta Implementasi Pengelolaan Limbah Tailing PTFI Tidak Memadai;
Dalam perspektif UU Tipikor (UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001), laporan hasil pemeriksaan BPK ini telah memenuhi unsur adanya kerugian keuangan negara. Sayangnya, karena pemeriksaan dilakukan bukan untuk penyelidikan tindak pidana korupsi karenanya BPK hanya merekomendasikan Menteri ESDM agar melakukan langkah-langkah perbaikan sesuai rekomendasi yang termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ini.
Namun bagi KPK bukan hal yang sulit untuk meminta audit khusus kepada BPK sebagai dasar untuk dilakukannya penyelidikan Tipikor pada kasus Freeport ini. Bagi BPK, juga bukan perkara berat jika mendapat mandat untuk melakukan audit khusus untuk memenuhi permintaan KPK dalam rangka proses penyelidikan perkara korupsi yang secara ceta wela wela terjadi pada kasus Freeport.
13 (tiga belas) poin kesimpulan BPK terkait Freeport dalam pespektif kementrian BUMN, dapat dijadikan pertimbangan sebagai dasar untuk melanjutkan atau memutus kontrak dengan freport, untuk menagih hak negara yang dikemplang freport, meminta Freeport memenuhi ketentuan UU yang berlaku di infonesia, serta untuk mengetahui berbagai potensi pendapatan negara pada masa depan tambang Freeport di Papua, baik jika akan dilakukan penambahan kontrak karya atau ijin penambangan khusus, atau jika ingin mengelola secara mandiri melalui perusahaan negara.
Akan halnya dalam perspektif Tipikor (tindak pidana korupsi), hasil temuan audit BPK ini nyata dan terang menegaskan bahwa freport telah melanggar ketentuan pasal 2 dan/ atau 3 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Unsur utama dari pasal 2 dan 3 UU Tipikor adalah adanya kerugian keuangan negara. Laporan hasil pemeriksaan BPK nomor 6/LHP/XVII/2017 tanggal tanggal 21 April 2017, telah mengkonfirmasi adanya kerugian ini.
Adapun jika pihak yang diperkarakan adalah korporasi, KPK juga dapat menjerat Freeport berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Perma 13/2016, dimana dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain dengan parameter sebagai berikut:
1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Ke-tiga poin parameter diatas, bisa dipadukan dalam satu kesatuan dakwaan KPK untuk menuntut para pengurus perseroan Freeport untuk dituntut secara pribadi untuk melaksanakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan tingkat kesalahannya, dan menuntut Freeport sebagai korporasi untuk bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban Korporasi, dapat dikenakan sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi menurut pedoman yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 yaitu pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda. Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Karena itu mudah sekali bagi KPK jika memang tulus berniat ingin memberantas korupsi dan menyelamatkan harta negara dari penjarahan korporat asing. Tidak sulit bagi KPK jika ingin mendapat kepercayaan publik sebagai lembaga anti korupsi.
Janganlah KPK menjadi lembaga ayam sayur, yang hanya bisa menangkap basah maling kelas teri bermodal CCTV. Prestasi KPK atas tangkap tangan pejabat berdasarkan proses penyadapan itu tidak ada nilainya. Mega korupsi sesungguhnya ada di Freeport. Berani KPK bertindak ? Ayo kami warga negara dan segenap bangsa Indonesia mendukung KPK untuk mengusut tuntas skandal mega korupsi Freeport ! [sumber: lbh-pelitaumat.com].