ENERGYWORLD.CO.ID – Sebagaimana diketahui bersama pada 3 September 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati untuk saksi tersangka Idrus Marham mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar, terkait dugaan suap kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1. Namun Nicke semasa proyek PLTU Riau-1 direncanakan menjabat Direktur Pengadaan Strategis 1 PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tidak bisa hadir alias mangkir dengan alasan ada jadwal rapat pemegang saham yang diduga bohong, pihak KPK kemudian mengungkapkan akan menjadwalkan pemeriksaan ulang terhadap Nicke.
Hari Rabu, 12 September 2018, KPK panggil Direktur Bisnis Regional Maluku dan Papua PLN Ahmad Rofiq untuk diperiksa sebagai saksi tersangka Wakil Ketua Komisi VII DPR Enny Maulani Saragih. KPK juga memanggil Direktur Utama PT Smelting Indonesia Prihadi Santoso terkait kasus sebagai saksi untuk tersangka Idrus Marham yang mantan Menteri Sosial. Keduanya dipanggil terkait kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
Karena tidak ada nama Nicke Widyawati yang Dirut Pertamina dipanggil padahal pihak KPK berjanji akan menjadwalkan pemeriksaan ulang terhadap Nicke terkait itu Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) Binsar Effendi Hutabarat yang didampingi Sekretaris Yasri Pasha Hanafiah, Ketua bidang Kesehatan Arief Sedat dan Kepala Biro Transportasi Ismail Sanusi dari markas eSPeKaPe dibilangan Jatinegara, Jakarta Timur, langsung menggelar pertemuan dengan media (13/9/2018).
“Dukung KPK Usut Tuntas Nicke Widyawati Dalam Kasus PLTU Riau-1” menjelaskan sebagaimana kita ketahui bersama jika belakangan ini nama Nicke Widyawati setelah ditetapkan dalam kasus penyelidikan KPK sebagai saksi untuk tersangka mantan Menteri Sosial Idrus Marham semasa menjadi Sekjen DPP Partai Golkar.
Nicke sendiri adalah Dirut Pertamina yang baru ditetapkan pada 29 Agustus 2018 oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno. Tapi nama Nicke terkait kasus proyek PLTU Riau-1 berada pada posisi penting dan dianggap paling menentukan bagaimana awal mulanya muncul proyek PLTU Riau-1 dalam Rapat Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2016-2025 untuk proyek pembangunan 35.000 MW, karena jabatan Nicke saat itu sebagai Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN.
Pada konteks nama Pertamina disebut-sebut, karena memang jabatan Nicke adalah Dirut Pertamina. Kami, Pensiunan Pertamina yang berhimpun dalam organisasi eSPeKaPe yang merupakan shareholders karena telah ikut merintis, membangun dan membesarkan Pertamina, merasa terusik atas adanya dugaan keterlibatan Nicke dalam kasus korupsi di proyek PLTU Riau-1.
Sekaligus ikut prihatin ketika dalam rilis Presiden FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) Arie Gumilar pada 5 September 2018 lalu, menyatakan dengan adanya kasus tersebut menjadi citra buruk buat mereka, Pekerja Pertamina. Ditengah mereka sebagai stakeholders utama Pertamina sedang giat-giatnya menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dengan tata kelola 6C-nya yakni Clean, Confident, Competitive, Costumer Focus, Commercial dan Capabel.
Terlepas ada indikasi kecerobohan Menteri BUMN Rini Soemarno karena kedekatannya dengan Nicke yang bisa memungkinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Ketua Tim Penilai Akhir (TPA) untuk setiap jabatan dirut BUMN tidak mengetahuinya. Padahal sebagaimana diketahui bersama, Pertamina itu adalah BUMN kategori A yang terbesar di Indonesia, dan merupakan satu-satunya National Oil Company (NOC) kebanggaan bangsa Indonesia.
Konstitusi negara yang tertuang dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 memaknai, jika cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang memaknai kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi seperti sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) yang dikuasai negara adalah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hanya BUMN Pertamina yang mengemban amanat berisi dua ayat sekaligus, tidak ada ditemukan pada BUMN yang lainnya. Sebab itu sekalipun Pertamina bukanlah perusahaan pelayanan publik secara total, tapi pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dari amanat konstitusi negara tersebut.
Sehingga adanya kebijakan Pemerintah selaku pemegang saham 100 persen di Pertamina dan Presiden Jokowi telah berhasil membubarkan Petral yang diduga sarat mafia migas; Memberikan pengelolaan sepenuhnya atas Blok Mahakam kepada Pertamina selesainya habis kontrak Total E&P Indonesie asal Perancis dan Inpex Corporation asal Jepang pada 31 Desember 2017; Pengelolaan Blok Rokan mulai tahun 2021 selama 20 tahun ke depan yang akan diberikan kepada Pertamina yang saat ini masih dikelola oleh Chevron Pasific Indonesia (CPI) asal Amerika Serikat (AS).
Berikutnya kebijakan satu harga bahan bakar minyak (BBM) yang diberlakukan diseluruh pelosok tanah-air untuk tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Dan perintah Pemerintah untuk Pertamina memborong produksi crude oil (minyak mentah) bagian hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Semua adalah tercermin atas adanya kepatuhan Presiden Jokowi terhadap konstitusi negara serta keberpihakannya untuk kepentingan rakyat, wajib untuk Pertamina laksanakan.
Oleh sebab itu yang seharusnya menahkodai Pertamina adalah orang yang benar-benar ahlinya pada bisnis migas dari hulu sampai ke hilir, berintegritas, bersih, transparan, profesional dan kredibel, yang mampu mewujudkan impian Pertamina menjadi World Class Energy Company atas keandalan dan diplomasi dirutnya yang non-partisan, bebas politisasi, serta yang tanpa kompromi dengan kartel dan mafia migas.
Itu sebabnya dan demi tidak berlarut-larutnya citra Pertamina tergerus oleh dugaan keterlibatan Nicke, kendati kasusnya bukan berurusan dengan Pertamina. “Kami, eSPeKaPe, memberikan dukungan penuh terhadap KPK untuk mengusut secara tuntas keterlibatan Nicke dalam kasus proyek pembangunan PLTU Riau-1,” tandas Ketua Umum eSPeKaPe, Binsar Effendi Hutabarat.| RED/AHM