ENERGYWORLDINDONESIA – Hari jumat ini Sofyan Basyir direktur utama PLN akan diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Idrus Marham , namun apakah KPK bisa menelisik lebih dalam keterkaitan direksi PLN dalam kasus korupsi PLTU Riau 1 , itulah yang sangat ditungg publik saat ini.
Namun terlepas saling bantah diruang publik antara Airlangga Hartarto sebagai ketua umun partai Golkar dengan Eni Muladi Saragih mantan wakil ketua Komisi VII dari partai Golkar sebagai tersangka kasus OTT PLTU Riau 1 adalah hal yang wajar, disatu sisi Airlangga yang awalnya membantah bahwa ada pertemuan dirumahnya medio januari 2018 , namun belakangan pada acara konprensi pers hari rabu 26/9/18 didepan awak media mengakui adanya pertemuan tersebut , hanya dia menjelaskan pertemuan itu sifatnya silaturahim saja tanpa ada membicarakan soal pengawalan proyek proyek pembangkit listrik di PLN , lebih jauh dia mengatakan bahwa partai Golkar itu tagline ” bersih”.
Sementara itu Eni Saragih pada saat bersamaan menanggapi pernyataan AH tetap bersikukuh bahwa semua keterangannya baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi untuk tersangka lain nya yaitu terhadap Johanes Soekoco ( JS) dari Blackgold Natural Resources ltd dan Idrus Marham (IM) mantan sekjen partai Golkar , dari keterangan ES yg sudah dimasukan kedalam berita acara penyidikan di KPK mengatakan bahwa pertemuan itu ada membahas ” hal khusus ” termasuk pengawalan proyek PLTU Riau 1 dan lainnya , membicarakan juga besar komisi yang akan diterima dari JS , kemudian komisi haram akan distribusikan untuk kegiatan apa saja dan untuk siapa saja , bahkan untuk mengamankan rencana besar itu , maka dibuatlah strategi akan menempatkan ES sebagai wakil ketua di komisi VII DPR agar punya kekuatan lebih kuat dalam mendikte direksi PLN.
Bahkan sebagai bentuk komitmen ES akan berbicara jujur atas semua keterangannya , dia pada jumat ini akan mengembalikan semua uang suap yang dia terima dari JS.
Sebelumnya wakil sekretaris DPP partai Golkar Sarmuji telah mengembalikan uang sebesar Rp 700 juta ke KPK , konon kabarnya uang itu merupakan bagian dari jumlah lainnya yg telah digunakan untuk membiayai acara musyawarah luar biasa ( munaslub ) partai Golkar pada awal desember 2018 dan telah mendapuk AH sebagai ketua umum .
Biarlah proses waktu dari bukti yang terungkap dipersidangan nanti akan membuktikan siapa saja elit partai Golkar yang terlibat aktif dan pasif dalam kasus ini.
Akan tetapi setelah KPK hampir 3 bulan lamanya memeriksa banyak saksi dan tersangka , serta menyita alat bukti dari berbagai tempat , timbul pertanyaaan anehnya mengapa sampai saat ini KPK belum berhasil menetapkan status tersangka terhadap direksi PLN yang disebut sebagai pihak yg punya hajat dan berpotensi bisa menyalahkan kewenangan nya dalam menjalankan proyek yang berpotensi merugikan negara.
Tentu akan menjadi lucu bagaimana mungkin dikatakan kasus proyek PLTU Riau 1 secara hukum bisa dikontruksikan sebagai kasus korupsi kalau dari pihak direksi PLN dianggap tidak terlibat , padahal yang bisa menyalah gunakan wewenang dari mulai tahap perencanan proyek yang dikenal penetapan RUPTL , pemilihan skema apakah dilaksanakan dgn EPC atau IPP dan membuat kebijakan dilaksanakan oleh anak perusahaan untuk menghidari proses tender adalah oleh kebijakan resmi direksi PLN.
Oleh karena itu tidak heran sekarang publik mencium aroma KPK terkesan banyak menerima intervensi dari elit elit kekuasaan untuk melindungi direksi PLN , karena kalau direksi PLN ada yang dijadikan tersangka , maka bisa jadi kasus PLTU Riau 1 akan membuka kotak pandora baru bahwa jangan jangan hampir semua proyek pembangkit listrik 35.000 MW diproses seperti PLTU Riau 1.
Ibarat kata mana mungkin orang ” bertepuk sebelah tangan” dalam peristiwa pidana korupsi , kalau sebelah tangan itu namanya penodongan atau pencopetan donk .
Jakarta 28 September 2018
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman