Home Ekbiz Menyelimuti Kegagalan Mega Proyek 35.000 MW Jokowi

Menyelimuti Kegagalan Mega Proyek 35.000 MW Jokowi

525
0
ilustrasi

Oleh Barri Pratama
Wakil Ketua Umum PP KAMMI 2017-2019

“Selama tujuh puluh tahun Indonesia merdeka baru 50.000 MW yang dibangun oleh Pemerintah kita, oleh sebab itu banyak yang menyangsikan dalam lima tahun akan membangun 35.000 MW. Ini apakah tidak terlalu ambisius? Saya sampaikan: tidak!” Ir. Joko Widodo

Disampaikan Saat Peresmian Mega Proyek 35.000 MW di Pantai Goa Cemara, Yogyakarta, Mei 2015

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyarankan para milenials untuk mengurangi “jajan” ngopi dengan tujuan mengalihkannya sebagai tabungan masa tua (pensiun). Bersamaan dengan berita tersebut sebenarnya Sri Mulyani pun sedang memaparkan kondisi ekonomi Indonesia yang rentan, ia mengibaratkan bagaikan danau yang dangkal.

Berita tersebut pun lantas menimbulkan banyak kicauan di berbagai sosial media, pada umumnya menyikapi pelemahan Rupiah terhadap “menguatnya” mata uang dollar Amerika yang terjadi kini. Pemerintah lantas mengambing hitamkan faktor eksternal dalam permasalah melemahnya Rupiah ini. Faktor eksternal yang sering dilontarkan antara lain “menguatnya” dollar, perang dagang AS vs China, kenaikan suku bunga The FED, krisis di berbagai negara, geo politik yang tidak menentu, dan lainnya. Sayangnya mau ditutupi seperti apa pun akhirnya Sri Mulyani harus mengakui rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini di berbagai pemberitaan selalu ia sangkal.

Rapuhnya ekonomi nasional ini ditandai dengan banyak hal, salah satu yang dapat diketahui yaitu tingginya ketergantungan Indonesia atas produk impor hingga menimbulkan defisit neraca perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit pada Juli hingga 2,03 miliar dollar AS. Bahkan, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), defisit juga terjadi pada bulan Agustus sebesar 1,02 miliar dollar AS. Total defisit neraca perdagangan dari Januari hingga Agustus 2018 mencapai 4,09 miliar dollar AS.

Alih-alih memperkecil lebarnya defisit, sektor migas justru memberikan sumbangsih besar dalam defisit neraca perdagangan. Sepanjang tahun 2017 saja lebih kurang ekspor pada sektor migas sekitar 15,73 miliar dollar AS, sedangkan impornya lebih kurang 24.3 miliar dollar AS. Tahun 2018 terhitung Januari hingga Agustus diketahui ekspor sektor migas sebesar 11.41 miliar dollar AS, sedangkan impor sebesar 19.78 milar dollar AS. Diperkirakan sektor migas memberikan sumbangsih defisit neraca perdagangan sekitar 8.57 miliar dollar AS pada tahun 2017, dan defisit 8.37 miliar dollar AS sepanjang tahun 2018 dari Januari hingga Agustus. Lantas bagaimana upaya dan langkah Kementerian ESDM menyikapi pelemahan Rupiah yang kini menembus 15.000 per dollar AS?

Nasib Mega Proyek 35.000 MW
Seakan menjadi pahlawan penyelamat defisit neraca perdagangan dan pelemahan rupiah yang kian tajam, Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan percaya diri membuka jumpa pers awal September lalu.

“Dulu memang dijawalkan selesai tahun 2019, tapi sekarang ditunda. Ada yang ditunda sampai 2021, ada juga yang sampai 2026. Jadi digeser sesuai dengan kebutuhan permintaan kelistrikan,” disampaikan Jonan dalam jumpa pers di kantor Kementerian ESDM, Jakarta.

Menurut Jonan, proyek kelistrikan yang ditunda hanya sebagian dari mega proyek 35.000 MW yang belum mencapai tahap finacial closing. Setidaknya disampaikan dalam kesempatan itu proyek yang ditunda pelaksanaannya tersebut mencapai 15.200 MW. Tidak main-main, keseriusan penundaan tersebut dipertegas Jonan dengan mengulang pernyataan bahwa proyek tersebut hanya ditunda, bukan dibatalkan.

“Hanya ditunda, bukan dibatalkan,” tegasnya.

Jonan menambahkan, dengan penundaan tersebut maka pemerintah setidaknya dapat mengurangi beban impor di angka 8 sampai 10 miliar dollar AS. Meski begitu, rasio elektrifikasi tetap ditargetkan tercapai 99% pada tahun 2019.

Apa yang disampaikan Jonan dalam jumpa pers nya merupakan langkah yang ditempuh oleh Kementerian ESDM dalam rangka memperkuat nilai tukar rupiah. Setidaknya ada empat kebijakan yang ditempuh untuk mengendalikan impor dan mempertebal cadangan devisa. Keempat kebijakan tersebut antara lain: pengaturan hasil ekspor sumber daya alam, penataan ulang proyek kelistrikan, meningkatkan penyerapan TKDN, dan mandatory B20 atau Biodiesel 20 persen.

Hasil dari jumpa pers pun diterima oleh awak media dan ramai diberitakan dengan judul beragam yang intinya “Rupiah Anjlok, Pemerintah Tunda Mega Proyek Kelistrikan” atau “Demi Selamatkan Rupiah 15.200 MW Proyek Kelistrikan Ditunda”.

Buah simalakama, bukannya menjadi pahlawan penyelamat devisa justru Jonan dianggap menimbulkan kepanikan baru dampak pelemahan rupiah, pengusaha dan publik pun merespon.

Suara-Suara Sumbing Mega Proyek 35.000 MW

Dalam sebuah kesempatan interview tahun 2017, Direktur Studi Tenaga Listrik dan Energi Universitas Indonesia, Profesor Iwa Garniwa Mulyana menganggap bahwa sejak pertama dicanangkan Mega Proyek 35.000 MW ini merupakan proyek mission imposible.

“Kondisi ekonomi dunia saat dicanangkan gagasan tersebut belum begitu baik, dan proyek 35.000 MW mau tidak mau bergantung dengan pertumbuhan ekonomi (nasional),” jelasnya.

Alasan lain bagaimana Prof Iwa menjelaskan bahwa ada beberapa komponen penghematan yang perlu dicermati sehingga kebutuhan energi kedepan tidak bisa mengacu berdasarkan historical data sebelumnya begitu saja. Banyak faktor salah satunya bagaimana mencermati kemajuan teknologi penghematan energi yang berkembang saat ini. Bahkan Prof Iwa memperkirakan Indonesia hanya mampu mengejar peningkatan kelistrikan maksimal pada 24.000 – 25.000 MW hingga 2019 nanti.

“Hemat saya, Pemerintah terlalu berani (mencanangkan mega proyek 35.000 MW), dengan berbagai pertimbangan pertumbuhan yang bermacam-macam saya perkirakan maksimal 24.000 – 25.000 MW. Membahayakan untuk keuangan PLN kedepannya karena hanya akan menjadi beban PLN saja,” imbuhnya.

Ramalan Prof Iwa terbukti saat ini, akibat “proyek ambisius” yang tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi akhirnya menyebabkan beban pada PLN belaka kedepannya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika. Ia menilai, apa yang digembor-gemborkan oleh Kementerian ESDM saat ini bukanlah terobosan baru, melainkan isu lama yang terus berulang dibicarakan dengan DPR. Jika ternyata beberapa hal yang dimaksud nantinya mampu memberikan kontribusi terhadap penguatan Rupiah, ia bisa simpulkan bahwa hal tersebut akan menjadi pertanda yang menunjukkan kinerja pemerintah yang tidak optimal selama ini.

“Upaya yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, menurut saya bukan terobosan baru, melainkan hanya mengulang dan mengingatkan yang dulu pernah dikeluarkan,” disampaikan Kardaya.

Pergeseran target waktu penyelesaian proyek kelistrikan 35.000 MW, secara langsung membuktikan bahwa sejak awal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) oleh Pemerintah tidak realistis sebagaimana dikritisi oleh DPR.

“Listrik diundurkan, bukankah dari dulu kita sudah mengingatkan bahwa 35.000 MW itu terlalu banyak dan tidak mungkin, tapi dulu Pemerintah ngotot. Sekarang muncul dikatakan untuk mengendalikan nilai tukar, padahal sebelumnya Pemerintah telah merevisi RUPTL,” imbuh Kardaya.

Revisi RUPTL

Jauh sebelum masalah Rupiah mencuat sesungguhnya Revisi RUPTL sudah dilakukan. Revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik RUPTL 2017-2026 setidaknya turut merevisi realisasi mega proyek pembangkit 35.000 MW. Diketahui bahwa pertumbuhan konsusmsi listrik di Indonesia pada 2017 hanya mampu tumbuh sebesar 3,57 persen. Angka tersebut tentunya jauh sangat dari proyeksi pertumbuhan permintaan listrik tahun 2017, yakni sebesar 7,8 persen.

Akhirnya dalam proyeksi Kementerian ESDM, Revisi RUPTL merubah program 35.000 MW menjadi 20.000 MW pembangkit yang mampu beroperasi hingga akhir 2019. Selebihnya beroperasi pada tahun 2024-2025 menyesuaikan pertumbuhan kebutuhan listrik hingga tahun tersebut.

Sayangnya upaya penjelasan Menteri ESDM Ignasius Jonan awal September lalu terkait penundaan 15.200 MW proyek kelistrikan tersebut harus cepat-cepat direvisi Dirjend Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Bagaimana tidak, revisi yang sebenarnya sudah tercantum dalam revisi RUPTL, harus disampaikan di depan pers bahwa penundaan 15.200 MW tersebut untuk mengurangi beban impor dan untuk menyelamatkan nilai tukar Rupiah.

Sebelumnya dijelaskan Pemerintah menggeser target penyelesaian proyek strategis nasional dalam program kelistrikan 35.000 MW demi mengurangi impor. Hal itu dilakukan untuk menekan potensi besarnya defisit transaksi berjalan dan merespon pelemahan Rupiah terhadap dollar AS.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng lantas buru buru merevisi bahwa faktor penundaan proyek kelistrikan 15.200 MW tersebut bukanlah efek pelemahan rupiah, namun lebih dikarenakan tidak tercapainya pertumbuhan permintaan listrik.

“Jadi saya memang tidak pernah kasih jawaban penudaan listrik maupun apa-apa, itu banyak penundaan sebenarnya tidak ada kata penundaan, itu mungkin diambil dari sidang kabinet. Ada yang perlu ditinjau, tapi dari kami sesuai dengan penyusunan RUPTL, pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sesuai dengan yang di lauching 35.000 MW,” jelas Sommeng di Jakarta.

Revisi terbaru belum lama ini, Andy Noorsaman Sommeng mengatakan awalnya memang ada rencana penundaan proyek listrik yang belum memenuhi pendanaan (financial close). Saat itu jumlahnya mencapai 15.200 MW namun setelah ditelusuri ada revisi hingga akhirnya hanya yang ditunda hanya 4.600 MW.

“Alhasil hanya ada beberapa pembangkit yang berpotensi untuk ditunda jadwal pengoperasiannya, yang dapat ditunda hanya 4.600 MW,” kembali Sommeng menjelaskan, Senin (24/9).

Lain kata Menteri lain pula kata Direktur Jenderal Kementerian, mau dibilang bagaimana jika yang dikejar pencitraan dan cari muka belaka. Langkah-langkah “menyelimuti” kegagalan mega proyek 35.000 MW berbuah pahit. Malu pastinya.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.