Oleh Inas N Zubir | Wakil Ketua Komisi 6 DPR-RI
Naiknya harga minyak dunia yang sudah mencapai USD. 80.- per barel serta menguatnya kurs dolar akibat bank sentral Amerika menaikan suku bunga, lalu apa pengaruhnya terhadap BBM di Indonesia?
Sebagai negara nett importer, Indonesia mengimport minyak mentah dan BBM jadi sebanyak 55% dari kebutuhan nasional melalui Pertamina.
Pertamina dalam menghitung harga bensin premium atau RON/Mogas 88 berdasarkan rata-rata 3 bulan sebelumnya, lalu berapa rata-rata harga yang diperoleh untuk Agustus 2018-Oktober 2018 adalah sbb:
Rata-rata harga MOPS Mogas 92 pada periode Ags 2018–Okt 2018 sebesar USD. 88.67 per barel, patokan harga MOPS Mogas 88 periode yang sama adalah MOPS Mogas 92 – USD. 2.5
Rata-rata Harga CFR MOPS Mogas 88 yang dibeli oleh Pertamina menggunakan formula MOPS Mogas 92 – USD. 2.5 = USD. 86.17 perl barel dan rata-rata kurs dollar Januari 2018-Maret 2018 Rp. 14,700.-. Jika kita hitung maka diperoleh rata-rata harga pokok Mogas 88(Bensin Premium) per liter = 86.17 x 14.700,-/ 159 = Rp. 7,966.70
Selain itu ada PPN 10% dan PBBKB 5% dari harga pokok tersebut, maka diperoleh angka Rp. 1,195.- serta biaya distribusi plus penyimpanan adalah Rp. 830,- per liter, maka harga keekonomian premium pada bulan Oktober 2018 seharusnya adalah Rp. 9,991.70 per liter.
Sedangkan harga premium sekarang ini adalah Rp. 6,550.- jadi Pertamina tekor Rp. 3,441.70 per liternya sehingga Pemerintah perlu melakukan penyesuaian agar tidak membebani Pertamina.
Keberpihakan kepada masyarakat memang penting, tapi menjaga agar Pertamina tidak bangkrut juga sangat penting, karena justru keberadaan Pertamina itu untuk memenuhi kepentingan masyarakat dalam hal BBM.
Ketika diminta pendapat terkait berita tersebut diatas , Yusri Usman Direktur Eksekutif CERI ( sabtu 13/10/18) di jakarta menegaskan dari tekor harga perliter Premium diatas , maka Pertamina dari jual Premium untuk 3 bulan kedepan adalah sekitar Rp 10.325 Triliun , perhitungan tersebut berdasar rata rata tiap bulan Pertamina harus menyediakan Premium 1 juta KL ( kilo liter).
Namun kalau dihitung dengan potensi kerugian harga Pertalite sekitar Rp 9.660 triliun berdasarkan tiap bulan menyuplai 1.4 juta KL , dan Solar Rp 11.060 Triliun dari perhitungan tiap bulan menyuplai 1.3 jt KL , maka secara matematis diperoleh potensi kerugian Pertamina di akhir tahun menjadi Rp 30 Triliun.
Lebih jauh Yusri menagatakan kebijakan Pemerintah ini berpotensi berbahaya bagi keuangan Pertamina , sehingga dia tidak bisa melakukan banyak kegiatan eksplorasi dan membangun infrastruktur strategis seperti upgrading kilang dan terminal blending dan penampung BBM , LPG dan lainnya.
“Selain itu, disparitas harga yang sangat tinggi akan terjadi rawan penyeludupan BBM oleh oknum mafia yg bekerjasama dengan oknum aparat.” tutup Yusri. |EWINDO