ENERGYWORLD.CO.ID – Masa penahanan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur yang seharusnya selesai pada 13 Oktober lalu, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) diperpanjang lagi hingga maksimal 40 hari ke depan.
Karen ditetapkan sebagai tersangka melalui SPPT Direktur Penyidik Jampidsus No. Tap-13/F.2/Fd.1/03/2018 tanggal 22 Maret 2018, dalam kasus investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) milik ROC Oil Company Australia.
Tudingan kejaksaan karena Pertamina saat mengambil keputusan mengakuisisi sebagian aset milik ROC Oil di Blok BMG pada tahun 2009, disebutkan karena tidak melalui kajian kelayakan atau feasibility study (FS) secara lengkap atau final due dilligence tanpa adanya persetujuan dari dewan komisaris (dekom) Pertamina hingga merugikan negara Rp 568,06 milyar.
Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) Binsar Effendi Hutabarat dalam keterangannya kepada pers (22/10/2018) kembali melontarkan keprihatinan atas kasus Karen.
“Sejatinya apa yang dilakukan Bu Karen adalah murni tindakan aksi korporasi. Semua prosedurnya tentunya sudah Bu Karen lakukan, termasuk adanya persetujuan dewan komisaris. Saat kami kunjungi Bu Karen pada 9 Oktober lalu di Rutan Pondok Bambu, beliau bilang ada buktinya dan lengkap. Saat dipertanyakan siapa pelapornya, Bu Karen merasa tidak tahu. Sebab itu penahanan Bu Karen selain prematur, juga janggal,” ujar Binsar Effendi yang Panglima Gerakan Spirit ’66 Bangkit (GS66B) dalam rilisnya yang diterima Redaksi Senin (22/10/18).
Karena tindakan Karen adalah aksi korporasi, menurut Ketua Umum eSPeKaPe, seharusnya kejaksaan gunakan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) atau ketentuan korporasi yang diatur oleh UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Apalagi Pertamina dibawah Bu Karen selama 6,5 tahun dari sejak dilantik pada Februari 2009 sampai mengundurkan diri pada Oktober 2014, berhasil membawa Pertamina meningkatkan laba bersih hingga 97 persen. Maka jika aksi korporasi hasilnya tidak sesuai estimasi awal bukan berarti diseret ke ranah hukum dan harus dipidanakan. Bu Karen sebagai profesional bisa saja dianggap belum piawai sehingga layak tidak naik pangkat atau diberhentikan. Toh Bu Karen karena ingin dekat dengan keluarga, beliau mengundurkan diri,” tutur Binsar Effendi yang juga Ketua Dewan Penasehat Laskar Merah Putih (LMP).
Menurut Binsar jika mantan Dirut Pertamina itu terbukti mendapatkan cash back atau pembayaran dari pihak yang diuntungkan dalam investasi Pertamina, baru bisa dibawah ke ranah pidana.
“Kasus Bu Karen yang tindakannya itu bagian dari bisnis, tentu akan berdampak buruk terhadap dunia bisnis dan investasi perminyakan ke depan. Bagi pemangku kebijakan publik tentunya pula akan berpikir ulang untuk melakukan keputusan-keputusan yang strategis, karena begitu mudah dituduh merugikan negara,” lanjutnya.
Padahal jika Pertamina tidak ada kegiatan usaha hulu (eksplorasi), imbuh Binsar Effendi, maka eksplorasi production decline akan turun drastis. Hanya dengan kegiatan eksplirasilah yang bisa menambah cadangan minyak secara potensial.
“Nah dengan berujung di penjara, para profesional perminyakan tentunya akan mengambil sikap yang paling aman, yaitu tidak akan agresif melakukan langkah-langkah strategis (slow exploration activities). Ini kan akan bisa menghambat iklim bisnis dan investasi di dunia perminyakan,” tambah Binsar.
Ketua Umum eSPeKaPe ini mengingatkan kejaksaan soal adanya kesepakatan untuk memenuhi instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) antara kejaksaan, kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Agustus 2015, agar aparat penegak hukum untuk tidak mudah memidanakan kebijakan yang diambil oleh pejabat negara dan lembaga agar program-program pembangunan tidak terhambat, salah satunya tidak boleh langsung menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan harus memberikan kesempatan kepada pemerintah pada kementerian dan lembaga untuk melakukan klarifikasi atas temuan BPK dengan jedah waktu 60 hari.
Presiden Jokowi meminta aparat hukum tidak mengintervensi dalam proses klarifikasi serta menyeragamkan pandangan antara kerugian negara dengan potensi ke negara yang harus dibedakan.
“Presiden Jokowi juga meminta setiap kerugian dalam tindakan administrasi pemerintah maka dibawanya ke jalur perdata dengan membayar ganti rugi atas kesalahan administrasi yang dilakukan. Termasuk tidak boleh ekspos sebelum dilakukan penuntutan guna tetap terjaganya pertumbuhan ekonomi. Pada konteks kasus Bu Karen kan menjadi jelas jika kejaksaan mau mematuhi instruksi Presiden Jokowi pada Agustus 2015 itu” lanjutnya.
Bahwa apa yang dilakukan Karen Agustiawan sudah tepat, karena Pertamina memang harus go internasional.
“Pertamina jangan hanya jago kandang agar produksi minyak nasional juga bertambah dengan masuknya bagian hasil produksi minyak dari luar negeri. Dengan demikian kami, eSPeKaPe, meminta Kejaksaan Agung sebaiknya membebaskan Bu Karen, mantan Dirut Pertamina, demi keadilan hukum dan kemanusiaan” pungkas Binsar yang didampingi Yasri Pasha, Arief Sedat dan Togi M Hutabarat (Tom). |AHM