Kalau selama ini kita selalu mendengar puluhan berbagai jenis industri telah mengeluh soal mahalnya harga gas , kabar terbaru dari beberapa industri di Jawa Timur saat ini telah mengajukan penambahan kuota gas ke PGN namun ditolak dengan alasan keterbatasan pasokan , khususnya yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo akibat kondisi kekurangan pasokan gas bumi dari beberapa blok migas ( PHE West Madura Offshore , Keangean Energy Indonesia , Husky CNOOC Madura dll ) yang sudah berproduksi sekitar 597.42 MMSCFD dan blok migas tertunda produksinya seperti lapangan Jambaran Tiung Biru 171 MMSCFD karena persoalan lisensi tehnologi yang berubah , hal ini terjadi berbarengan dengan KESDM melepas buku ” Neraca Gas Indonesia ( NGI ) thn 2018 sd 2027 ” pada awal November 2018.
Sehingga buku NGI terkesan miskin makna dan buang buang anggaran negara saja , bisa dikatakan hanya sebagai formalitas memenuhi ketentuan Peraturan Menteri ESDM nmr 06 tahun 2016 , padahal buku NGI sudah diterbitkan secara berkala sejak tahun 2008 dan terbitan NGI tahun 2015 seharusnya dijadikan sebagai pedoman kebijakan KESDM dalam memenuhi kebutuhan gas bumi untuk industri nasional yang semakin tumbuh meningkat dengan membangun infrastruktur pipa gas dan bukan pipa gas ( LNG Plant , FSRU / FSU , Land Base Regasification , fasilitas CNG dan LPG ) , tetapi kegagalan ini akibat pembangunan infrastruktur migas diera Pemerintahan Jokowi Jk selama 4 tahun dapat dikatakan sangat minim alias jadi anak tiri, karena terakhir kita menyaksikan Presiden Jokowi meresmikan proyek ” Recieving Terminal LNG Arun ” pada 9 Maret 2015 yang pembangunannya digagas Pemerintahan SBY.
Sehingga 7 kelompok industri ( berbasis gas , pupuk , petrokimia , oleochemical , keramik , kaca dan baja) yang sudah dijanjikan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015 bisa memeroleh harga gas USD 6 perMMBTU , anehnya harga gas untuk pembangkit listrik tidak rermasuk , bahkan untuk kepentingan itu telah diterbitkan Peraturan Presiden ( Perpres) nmr 40 tahun 2016 tentang Penetapan Gas Bumi ternyata hanya ” ansor alias angin sorga ” , padahal kebijakan harga tersebut masuk juga dalam paket ke 3 kebijakan ekonomi nasional , meskipun Perpres telah dilahirkan dengan aturan Permen ESDM , ternyata tak mampu direalisasikan , kecuali hanya dinikmati oleh segilintir kecil industri pupuk BUMN , dan termasuk hanya 1 industri pupuk swasta , yaitu PT Kaltim Parna Industri (Parna Group) .
Sementara itu masih ada 77 industri lainnya dan termasuk pihak PT PLN sudah lama berteriak minta perhatian Pemerintah terhadap harga gas dan kehandalan pasokannya , namun belum dijawab sampai sekarang.
Disatu sisi KESDM sangat agresif menaikan harga jual gas di hulu , bukannya berusaha tetap untuk murah dan menurunkan harga yang masih tinggi , contohnya kasus jual gas Conoco Philips Grisik kepada PT PGN pada juli 2017 yang semula harganya USD 2,6 per MMBTU malah dinaikan menjadi USD 3,5 perMMBTU , disisi lain PGN dilarang menaikan harga jualnya kepada PLN dan Industri lainnya di Batam, ironis memang.
Ketika kondisi potensi kehandalan pasokan gas di Jawa Timur tersebut pada 19 Nov 2018 dikonfirmasikan kepada Menteri ESDM Jonan , Wamen ESDM Achandra Tahar dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto , mereka diam seribu bahasa , hanya membaca pesan WA/whatsapp dan tidak menjawabnya , malah belakangan Menteri ESDM Jonan memblokir pesan ” WA ” dari saya , mungkin saja Jonan sebagai Menteri ESDM tidak paham tentang maksud isi UU nmr 14 tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Publik , yaitu kewajiban bagi pejabat menjelaskan kebijakannya menyangkut hajat kepentingan publik.
Ketika sebelumnya pada 17 November 2018 hal keterbatasan pasokan gas tersebut diatas saya tanyakan kepada kepala SKKMigas Amin Sunaryadi via WA , beliau terkejut dan sempat menanyakan perusahannya apa , namun lagi lagi dia dengan sedih menyatakan bahwa dia tugasnya sebagai kepala SKKMigas akan berakhir tgl 18 November 2018 sehingga tak jelas juga apa yg bisa dia lakukan , dan Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa hanya mengatakan ” tksh infonya “.
Tentu dalam hal ini PGN bagian pemasaran Jawa Timur yang menolak menambah kuota gas tidak dapat disalahkan , karena mereka melayani kebutuhan konsumen berdasarkan kemampuan kehandalan pasokan gas dari blok migas dari daerah sekitarnya yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab KESDM ( Ditjen Migas ) dan SKKMigas , karena secara aturanpun sesuai Permen ESDM nmr 6 dan 40 tahun 2016 alokasi gas dan harga gas ditentukan oleh Menteri ESDM , dan mungkin saja kelangkaan pasokan gas di Sidoarjo bukan hanya karena kendala tehnis produksi dari lapangan gas , akan tetapi bisa mungkin masih adanya trader gas bermodalkan kertas.
Karena bagi kalangan industri untuk membeli gas dari trader yang menjual dalam bentuk CNG , harus merogoh tambahan kocek lebih mahal 30 % dari harga yang dijual PGN , sehingga bisa mencapai harga USD 13 per MMBTU.
Oleh karena itu sudah pasti industri tidak akan bisa efisien menghasilkan produknya , sehingga harga produknya pasti kalah bersaing dengan harga produk impor.
Akhirnya publik dan para industriawan pun mencurigai jangan jangan masih ada ” genderuwo ” didalam tata kelola gas nasional.
Pertanyaannya mengapa tidak genderuwonya yang ditabok ?.
Jakarta 25 November 2018
Direktur Eksekutif CERI.
Yusri Usman.