OLEH Marwan Batubara, IRESS
Pasal 3 UU No.30/2007 tentang Energi menyatakan pengelolaan energidilakukan guna mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkanketahanan energi nasional, dengan tujuan antara lain untuk pencapaiankemandirian pengelolaan energi, terjaminnya ketersediaan energi, pemenuhankebutuhan energi dalam negeri, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalamnegeri, peningkatan devisa negara, terjaminnya pengelolaan sumber daya energisecara optimal, terpadu, dan berkelanjutan, terciptanya lapangan kerja, dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan dalam Pasal 2 UU No.4/2009 tentang Pertambangan Minerba telah ditetapkan tujuan pengelolaan mineral dan batubara (minerba) antara lain untuk a) menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing, b) menjamin manfaat pertambangan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, c) menjamin tersedianya minerba sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber eenergi dalam negeri, dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Guna mencapai tujuan-tujuan ketentuan Pasal 3 UU No.30/2007 dan Pasal 2 UU No.4/2009 di atas, lebih lanjut diatur tentang dominasi negara atas kekayaan alam yang dimiliki sesuai Pasal 4 UU No.30/2007 dan Pasal 4 UU No.4/2009. Secara umum kedua pasal dalam UU No.30/2007 dan UU No.4/2009 menyebutkan bahwa sumber daya energi maupun sumber daya minerba diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan negara atas seluruh sumber daya tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah.
Jika merujuk pada prinsip penguasaan negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin dominasi pengelolaan oleh BUMN, ternyata praktek pengelolaan sumber daya alam minerba (juga migas, panas bumi, dll.) belum sepenuhnya terlaksana. Dalam penambangan batubara misalnya, BUMN hanya menguasai sekitar 6%. Begitu pula dengan sektor mineral, BUMN (Holding BUMN Tambang) kita diperkirakan hanya menguasai pengelolaan tambang sekitar 20-30%.
Penyimpangan di atas memang bisa dimaklumi karena berbagai kontrak yang mengatur pengelolaan tambang-tambang tersebut dalam kontrak karya (KK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dibuat di masa lalu dalam kondisi kemampuan negara yang masih terbatas dalam hal modal, teknologi, manajemen dan SDM. Namun KK dan PKP2B juga telah memuat pula berbagai ketentuan untuk menjamin terwujudnya dominasi negara tersebut di kemudian hari, seperti ketentuan tentang divestasi saham, luas wilayah tambang, dan lain-lain.
Berbagai ketentuan dalam UU Minerba No.4/2009 dan sejumlah PP maupun Permen di bawahnya telah mengatur agar penguasaan negara atas tambang-tambang yang saat ini dikelola oleh kontraktor KK dan PKP2B lambat laun dapat beralih kepada BUMN. Dengan berbagai ketentuan tersebut, pemerintah telah melakukan renegosiasi kontrak dengan kontraktor KK dan PKP2B sejak 2010 hingga saat ini. Namun hasilnya belum optimal sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Tidak optimalnya hasil renegosiasi kontrak yang berpotensi melanggar konstitusi dan merugikan negara, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Umumnya para kontraktor cenderung untuk mempertahankan dominasi karena selama ini telah memperoleh banyak keuntungan. Di sisi lain, para pejabat negara yang terlibat negosiasi tidak optimal memanfaatkan posisi dan tidak konsisten pula menjalankan peraturan yang berlaku. Guna mengakomodasi kepentingan kontraktor, dalam beberapa kesempatan, dilakukan pula perubahan peraturan atau kebohongan informasi. Ditengarai kedua belah pihak melakukan moral hazard.
Dalam hal kewajiban pembangunan smelter misalnya, pemerintah telah melakukan beberapa kali relaksasi melalui penerbitan PP yang pada prinsipnya melanggar UU No.4/2009. Begitu pula dengan kewajiban divestasi saham untuk menjamin terwujudnya penguasaan negara, pemerintah pun kerap melanggar aturan agar kontraktor lama tetap dominan, atau BUMN luput untuk menjadi pengelola. Dalam kasus divestasi saham Newmont untuk tambang di Batu Hijau NTB misalnya, pemerintah telah melakukan manipulasi informasi, sehingga divestasi saham yang seharusnya menjadi hak BUMN Tambang, beralih menjadi milik AMAN Mineral.
Untuk mengakomodasi kepentingan menyimpang yang sarat moral hazard antara lain telah terjadi perubahan atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebanyak 5 kali. Ternyata dalam waktu dekat pemerintah melalui Kementrian ESDM telah berniat pula untuk melakukan perubahan yang ke-6. Jika ditelusuri lebih rinci, ditemukan bahwa rencana perubahan tersebut lebih disebabkan oleh kepentingan para kontraktor mempertahankan dominasi pengelolaan tambang-tambang di Indonesia.
Dari draf perubahan PP No.23/2010 yang sedang disiapkan oleh Kementrian ESDM tersebut ditemukan adanya ketentuan yang justru bertentangan dengan Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171 UU No.4/2009. Menurut Pasal 83, luas maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15.000 ha. Di samping berkewajiban untuk menyesuaikan ketentuan dalam KK dan PKP2B dengan ketentuan dalam UU Minerba, pemegang kontrak KK dan PKP2B tidak mempunyai hak sama sekali untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir, walaupun bentuk kerja samanya berubah menjadi IUPK. UU Minerba tidak mengenal adanya perpanjangan KK/PKP2B.
Setelah berakhirnya suatu KK atau PKP2B, pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak. Seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR. Jika konsisten menjalankan amanat konstitusi dan kepentingan ketahanan energi nasional, maka sudah seharusnya pengelolaan atas WPN tersebut dilakukan oleh BUMN.
Selanjutnya, pengelolaan WPN ini dapat pula diserahkan kepada Holding BUMN Tambang atau oleh suatu BUMN khusus yang 100% sahamnya milik negara, yang kelak dapat digabungkan menjadi salah satu anggota Holding BUMN Tambang. Dengan demikian, pasokan energi batubara untuk PLN dan industri dalam negeri akan lebih terjamin, bertarif khusus dan berkelanjutan, serta bebas dari potensi penyelewengan dan praktek tidak prudent dan sarat moral hazard yang kerap terjadi selama ini.
Rencana revisi PP No.23/2010 ditengarai bertujuan untuk mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batubara oleh pengusaha PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam waktu dekat. Perpanjangan pengelolaan akan dilakukan melalui penerbitan izin/IUPK. Kementrian ESDM mengatakan perubahan PP No.23/2010 dilakukan guna memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang KK dan PKP2B. Sebaliknya dikatakan bahwa jika WK-WK tambang tersebut dikelola BUMN maka pendapatan negara berpotensi untuk turun.
Tentu saja argumentasi yang dikemukakan tersebut absurd dan sarat kebohongan. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah ketundukan dan takluknya pejabat negara atau adanya konspirasi yang bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan dan agenda sempit para pengusaha, pemburu rente dan anggota oligarki penguasa-pengusaha. Tentu sangat ironis jika pemerintah nekat melanggar konstitusi dan berbuat naif melewatkan kesempatan untuk menyejahterakan rakyat, sambil terlibat aktif merekayasa revisi peraturan dan memfabrikasi kebohongan publik.
IRESS sangat yakin bahwa rente yang terkumpul dan beredar untuk memuluskan rencana perubahan PP No.23/2010 dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang berkuasa untuk menjadi sumber logistik guna memenangkan Pemilu dan Pilpres 2019. Oleh sebab itu, IRESS mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap upaya inkonstitusional dan merugikan negara ini. Rakyat harus terus bersuara melawan upaya perampokan aset negara yang dilakukan secara sistemik ini.
IRESS juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk mematuhi konstitusi dan peraturan yang berlaku, serta konsisten menjalankan Nawacita dan Trisakti. Tidak seharusnya visi-misi hanya dijadikan sebagai program yang diusung saat kampanye guna meraih dukungan publik, namun berubah menjadi slogan kosong setelah berkuasa. Pemerintah harus menjamin dan membersihkan diri dari para genderuwo yang bergentayangan untuk merekayasa perubahan peraturan di sektor minerba guna meraih rente dan keuntungan sempit para oknum oligarki.
SDA minerba adalah kekayaan negara yang menjadi milik rakyat, bukan milik pemerintah. Praktek pengelolaan SDA yang cenderung tidak adil selama ini harus diakhiri melalui konsistensi pelaksanaan amanat konstitusi dan berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku. Jika revisi PP No.23/2010 tetap dilanjutkan, maka ketidakadilan akan terus berlangsung, sebab manfaat terbesar SDA milik rakyat tersebut akan terus dinikmati oleh para pengusaha dan oknum-oknum penguasa yang menjadi komponen oligarki.[]
[1] Disampaikan pada Seminar tentang Rencana
Revisi ke-6 PP No.23/2010, Pulau Dua, Jakarta, 12 Desember 2018