Kaleidoskop ENERGI 2018
****
“Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, Inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptakan pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptakan kemakmurannya sendiri” –Ir. Soekarno
Lalu dia makin lantang…
“Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.” – Ir. Soekarno
“Persetan dengan PBB! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!”
(Pidato Ir Soekarno dari Jawa News, No.2 April 1943 dikutip dari artikel Aiko Kurosawa)
Soekarno tak pernah ingkar janji. Ketika menggelorakan pidato-pidato membara untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia takzim.Rakyat mendaras doa, Soekarno melaksanakan kata: mendorong aset-aset bangsa yang dikuasai asing menjadi milik sendiri.
Pada 1956, Soekarno melakukan langkah dramatis menasionalisasi aset asing. Melalui PeraturanPemerintah (PP) No. 34/1956, Indonesia resmi mengambil alih Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) milik korporasi asal Belanda, Shell, di Sumatera.Soekarno juga menasionalisasi NV. Nederlands Indische Aardolie Maatschappij (NIAM) yang juga dimiliki Belanda.
Penguasaan TMSU dan NIAM diserahkan pada pemerintah Indonesia dan pengelolaannya dilakukan olehsebuah badan hukum yang dibentuk Menteri Perekonomian atas wewenang yang diberikan pemerintah. Memasuki dekade 1960, pemerintah mengubah nama TMSU menjadi Perusahaan Minyak Nasional (Permina), cikal bakal Pertamina.
Orde Baru mengubah semuanya. Tak ada lagi puja-puji revolusi. Soekarno tumbang. Pasca penggulingankekuasaan, Soeharto membuka kembali pintu lebar-lebar bagi banyakperusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran. Dua kontrak raksasa yang sangat fenomenal dan teruskontroversial hingga kini adalah penandatanganan kontrak Freeport dan BlokMahakam (yang ini sudah habis kontrak dan kini di Pertamina). Kontrak Kerja Sama(KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation pada 31 Maret 1967.
Adapun penandatangan Kontrak Karya Generasi I Freeport pada 7 April 1967. Keduanya diteken beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2.
Lalu, kita tahu gerombolan asing datang bergelombang-gelombang. Kontrak-kontrak migas danpertambangan dengan asing berdatangan: ada Exxon Mobile, Newmont, Shell dan lain-lain. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.
Sungguh menyedihkan. Tentakel asing terus berlangsung hingga saat ini. Di sektor minyaksaja, 67% lahan minyak dikuasai asing, 21% kerja sama dengan perusahaan asingdan sisanya untuk perusahaan nasional. Dari total 225 blok migas yang dikelolakontraktor kontrak kerja sama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaanasing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional, dan sekitar 77 blokdioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal.
Saat ini, perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia sangat bejibun. Antara lain Chevron (Amerika Serikat / AS), CNOOC (China), Chonoco Phillips (AS), ENI (Italia), KUFPEC (Kuwait), Exxon Mobil (AS), Premiere oil, Marathon Oil, Huskyenergy, Talisman, Amerada Hess, Anadarko, BP Indonesia, Asia Energi, Citic Seram Energy, Fairfield Indonesia, Hess, Inparol Pte Ltd, Inpex Corp, Japan Petroleum.
Cukup? Belum. Masih ada TOTAL E&P Indonesie, Petro China, Kondur Petroleum, Kodeco Energy, Korea National oil Corp, Kalrez Petroleum, Lundin BV, Nation Petroleum, Petronas Carigali, Pearl Energy, Permintracer Petroleum, Santos Pty, Sanyen, dan Oil 7 Gas.
Di sektor tambang juga tak kalah hebat. Beberapa diantara yang fenomenal adalah PT Freeport Indonesia, dengan penguasaan Freeport McMorRan Copper & Gold Corp. sebesar 81,28% di dalamnya. Freeport mengeruk tambang emas dan tembaga di Papua sejak 1967, dengan Indonesia hanya mendapat kurang dari 1% dari apa yang dihasilkan Freeport mengeruk bumi Papua.
Ada juga PT Newmont Nusa Tenggara (PT Newmont Mining Corp menguasai 80% perusahaan- kini sudah berubah menjadi PT Aman, Medco), PT INCO (kepemilikan asing; Vale Canada Limited 58,73 % dan Sumitomo Mining Co. Ltd 20,09 %), PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (Banpu Public Company Ltd menguasai 73,22 %), PT Singlurus Indonesia (Lanna Resources Public Co Ltd menguasai 65 %), PT Lanna Harita Indonesia (Lanna Resources Public Co Ltd menguasai 55 %), PT Bahari Cakrawala Sebuku (Straits Resources Ltd menguasai 100%).
Faktanya, keberadaan asing tak cukup membantu sektor energi Indonesia dalam waktu lama.
Sudahlah kedaulatan energi kita tergadaikan, ketahanan energi kita juga rapuh. Mayoritas operator migas tak cukup membantu untuk terus mengamankan stok energi di dalam negeri. Sudah lebih dari 10 tahun kita tercatat sebagai net oil importer.
Dalam lebih dari satu dekade terakhir, tingkat produksi minyak bumi Indonesia terjun dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari, atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun. Saban tahun, pemerintah selalu ngos-ngosan untuk memenuhi target lifting. Produksi minyak tertinggi setelah puncak tertinggi pada 1977 sebesar 1,68 juta bph tak pernah tercapai kembali dan mentok pada 1997 di level produksi 1,5 juta bph dan terus melorot hingga kini. Wood Mackenzie bahkan memperkirakan produksi minyak Indonesia akan jatuh ke level 400 ribu barel per hari pada 2020.
Betul bahwa laju pertumbuhan konsumsi lebih cepat dari pertumbuhan produksi minyak. Tapi kemana para operator asing itu?
Di sektor gas, saat ini Indonesia merupakan produsen gas bumi terbesar kesepuluh di dunia dan terbesar kedua di Asia Pasifik. Tapia pa benefitnya buat bangsa? Nyatanya, lebih dari separuh total produksi gas di dalam negeri dialokasikan untuk ekspor, baik dalam gas alam cair (LNG) maupun gas bumi. Padahal, permintaan konsumsi gas di dalam negeri terus melonjak seiring terus naiknya konsumsi minyak.
Saat ini shortage pasokan gas untuk domestik diperkirakan sekitar 1.500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau setara dengan 255 ribu barel setara minyak per hari, dan sejalan dengan laju permintaan gas yang didorong pertumbuhan ekonomi serta menurunnya pasokan gas existing. Maka, gap antara suplai dan permintaan gas akan semakin melebar, mengancam pertumbuhan sektor industri dan kesinambungan pasokan energi primer untuk pembangkitan listrik.
Dari gambaran Neraca Gas Nasional yang dibuat Ditjen Migas, gap antara permintaan dan suplai gas dari lapangan existing akan melebar ke level 3.500 mmscfd pada 2015 dan bertambah lebar lagi menjadi 4.200 mmscfd (sama dengan 700 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.
Potensi gas bumi nasional cukup baik. Berdasarkan data terakhir SKK Migas yang menunjukkan cadangan terbukti (proven) sebesar 100,25 TSCF, dan cadangan potential sebesar 49,04 TSCF. Dengan kapasitas produksi gas bumi sebesar 3,26 TSCF per tahun rasio antara cadangan terbukti dan produksi gas bumi mencapai 32 tahun.
Saat ini cadangan dan produksi energi Indonesia terdiri Minyak Bumi dengan sumber daya 56,6 miliar barel, cadangan 8,4 miliar barel, produksi 348 juta barel dan rasio cadangan/produksi 24 tahun. Gas bumi dengan sumber daya 334,5 TSCF, cadangan 165 TSCF, produksi 2,79 TSCF dan rasio cadangan/produksi 59 tahun.
Batubara dengan sumber daya sekitar 161 miliar ton, cadangan kurang lebih 28 miliar ton dan produksi berkisar 391 juta ton per tahun, sedangkan rasio cadangan/produksi 93 tahun. Coal bed methane (CBM) dengan sumber daya 453 TSCF. Tenaga air 75,67 GW, panas bumi 27 GW, mikro hydro 0,45 GW, biomass 49,81 GW, tenaga surya 4,8 kWh/m2/day, tenaga angin 9,29 GW dan uranium 3 GW untuk 11 tahun (hanya di Kalan, Kalimantan Barat).
Dengan cadangan energi sebesar itu, sudahkah kita benar-benar tahan dan berdaulat? Belum. Sekarang ini 48,4% gas dan 76,3% batubara kita dijual ke luar negeri (IEA, 2007), 41,3% minyak bumi kita juga diekspor (Kementerian ESDM, 2006).
DENGAN CADANGAN NO.7 DI DUNIA, IRONISNYA INDONESIA JUSTRU MENJADI EKSPORTIR TERBESAR DI DUNIA (STEAM COAL), TEPATKAH ?
- ENERGI BATUBARA MASIH MENJADI ANDALAN UTAMA. 2. PEMERINTAH BELUM MEMILIKI WILAYAH CADANGAN NEGARA (WPN) SECARA MASIF,SEHINGGA KETAHANAN ENERGI HANYA DIDUKUNG LEWAT KEBIJAKAN DOMESTIC MARKETOBLIGATION (DMO) BATUBARA. 3. RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL (RUEN) YANGMENETAPKAN BATASAN PRODUKSI DAN EKSPOR BATUBARA, TERNYATA TIDAK MAMPUDIIMPLEMENTASI OLEH PEMERINTAH (ESDM) ATAS DASAR KEBUTUHAN PENDAPATAN NEGARADAN KONDISI INDUSTRI PERTAMBANGAN YANG RELATIF MEMBESAR DAN TIDAK MUDAHDIBATASI. 4. INDONESIA SEBAGAI EKSPORTIR TERBESAR BATUBARA (STEAM COAL)TERBESAR DI DUNIA. 5. PENGUASAAN BUMN PERTAMBANGAN (PT. TB BUKIT ASAM) HANYASEBATAS 5 % (25 JUTA MT) DARI TOTAL PRODUKSI NASIONAL. (480 JUTA MT). 6.KEBUTUHAN BATUBARA DI DALAM NEGERI TERUS MENINGKAT, KHUSUSNYA UNTUK KEPENTINGANSEKTOR KELISTRIKAN.
ESDM SEHARUSNYA MENDORONG TERCIPTANYA KETAHANAN ENERGI YANG KUAT BAGI KEPENTINGAN NASIONAL KE DEPAN, APALAGI MENTERI ESDM SEBAGAI KETUA HARIAN DEWAN ENERGI NASIONAL. 4.MEMPERKUAT KETAHANAN ENERGI, MELALUI KEPEMILIKAN ENERGI SECARA MASIF (WILAYAH, CADANGAN) DENGAN MEMILIKI WILAYAH PKP2B PASCA KONTRAK BERAKHIR. BUKAN SEKADAR LEWAT KEBIJAKAN DMO BATUBARA. 5. ESDM MAMPU MENDORONG BUMN PERTAMBANGAN TUMBUH UNTUK MEMPERKUAT KETAHANAN ENERGI NASIONAL (Catatan YUSRI USMAN – DIREKTUR EKSEKUTIF CERI)
Parahnya, justru neraca energi di sektor minyak bumi lebih memprihatinkan. Sebanyak 44,4% minyak bumi yang kita gunakan berasal dari luar negeri, sebuah komposisi yang rentan terhadap gejolak minyak dunia. Di sisi lain, kita justru mengekspor 45,7% minyak bumi yang kita hasilkan ke luar negeri; kemungkinan karena kemampuan kilang minyak kita yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan BBM dalam negeri (baru sekitar 67% dari kebutuhan BBM dalam negeri).
Adalah benar setelah 70 tahun merdeka, Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Tanpa dibarengi pemerataan pertumbuhan ditopang ketahanan dan kedaulatan energi, bisa matilah kita.
Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tetap timpang. Roda ekonomi di Jawa dan Sumatra masih terlalu dominan kontribusinya kepada kue ekonomi nasional. Sementara, roda ekonomi di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara, sebagai pusat-pusat penghasil sumber daya alam dan energi, masih terlalu lamban untuk mengimbangi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan, per Pulau Triwulan I 2015 Sumatra menyumbang 22,56 persen kue ekonomi nasional, sementara Jawa lebih dari dua kali lipatnya, yaitu sebesar 58,30 persen. Porsi keduanya meninggalkan empat pulau lainnya.
Porsi ekonomi Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua bahkan tak sampai 10 persen. Ekonomi Bali-Nusa Tenggara hanya menyumbang 2,97 persen ke nasional. Lalu, Kalimantan hanya sebesar 8,26 persen, Sulawesi hanya 5,72 persen, dan terakhir Maluku-Papua hanya 2,19 persen.
Kecenderungannya, porsi ekonomi ini dari 2012 memperlihatkan tren yang negatif bagi pulau selain Sumatra dan Jawa. Sejak 2012, misalnya, porsi ekonomi Jawa terus naik dari posisi 57,65 persen (2012), 57,99 persen (2013). Begitu juga Sumatra yang tumbuh dari 23,74 (2012) dan 23,81 persen (2013). Sementara porsi ekonomi Kalimantan justru terus turun dari 9,30 (2012), lalu 8,67 persen (2013). Ataupun kalau tumbuh, lajunya tidak bisa secepat pertumbuhan Jawa dan Sumatra.
Menilik fakta ini, agenda pemerataan dan penguatan ketahanan energi – dan yang lebih ekstrem ialah kedaulatan energi–, harus menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Laporan cukup mengejutkan datang dari Dewan Energi Dunia di kuartal pertama tahun 2015 lalu. Posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, ketidakseimbangan laju ketersediaan energi dengan kebutuhan.
Menurut laporan Dewan Energi Dunia, ketahanan energi Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47. Ketahanan energi meliputi tiga aspek, yakni ketersediaan sumber energi, keterjangkauan pasokan energi, dan kelanjutan pengembangan energi baru terbarukan.
Pemerintahan Jokowi diharapkan tidak abai dalam persoalan geopolitik. Delapan elemen geopolitik yang meliputi Pancagatra (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Pertahanan Keamanan) dan Trigatra (Geografi, Demografi, dan SDA), atau disebut juga Astagatra, mutlak diberdayakan. Tidak hanya itu, juga harus mampu dipertahankan dan diperankan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam implementasi kebijakan serta politik luar negeri.
Relatif tak sulit untuk mengukur kedaulatan energi Indonesia, khususnya di sektor Migas. Salah satu parameternya diukur dari seberapa besar kemampuan Pertamina sebagai produsen migas memproduksi minyak mentah.
Sepanjang rentang sejarahnya sejak resmi berdiri pada 10 Desember 1957, Pertamina tercatat hanya memiliki sedikit kilang unit minyak dengan kapasitas produksi 1,05 juta barel per hari (bph). Adapun beberapa kilang minyak milik Pertamina diantaranya, Kilang Dumai, Kilang Plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong, hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu-850 ribu bph, dari total kapasitas kilang tersebut. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Indonesia memang pernah melewati masa-masa emas puncak produksi, yakni pada tahun 1977 ketika berhasil mencapai angka 1,65 juta barel per hari (bph). Lalu pada 1995, pada masa puncak produksi yang kedua, berhasil menembus angka 1,6 juta bph. Namun setelah itu, produksi minyak Indonesia selalu mengalami penurunan.
Tahun 2011, produksi minyak Indonesia hanya mampu menembus angka 899.000 bph, 2012 sebesar 861.000 bph, dan 2013 sebesar 826.000 bph. Sementara 2014 ini, lifting minyak dipatok pesimis, sekitar 813.000 bph. Hasil lifting minyak hingga Juli 2014 hanya berada di kisaran 776.000 bph. Produksi minyak pun disebut mencapai titik nadhir.
Sementara Singapura, negara yang tidak punya sumur minyak, saat ini memiliki tiga perusahaan kilang minyak. Yakni Exxon Mobil Jurong Island Refinery dengan kapasitas 605.000 barel per hari (bph), Singapore Refinery Company Jurong Island Refinery, dengan kapasitas 285.000 bph, dan Pulau Bukom Refinery, dengan kapasitas 458.000 bph. Tak heran bila Singapura kini berusaha menempatkan negaranya sebagai pusat energi dan petrokimia di Asia Tenggara.
Wacana pembangunan kilang sendiri di Indonesia sesungguhnya telah dimulai lebih dari 15 tahun lalu.Tetapi hingga kini belum juga terealisasi. Beberapa investor yang memiliki kekuatan dalam dana dan jumlah pasokan, seperti Iran, Arab Saudi, dan Kuwait pun telah berminat menjadi investor. Tetapi pemerintah agaknya belum memiliki formulasi yang tepat dengan keinginan para investor. Problem klasiknya, lagi-lagi katanya, soal insentif dan tax holiday (keringanan pajak).
Bagi kita persoalannya bukan sekadar itu. Indonesia sebagai negara yang masih bergantung minyak, sesungguhnya tidak hanya dihadapkan oleh konsumsi yang berlebih, tetapi juga strategi penyediaan cadangan strategis untuk menjamin ketahanan energi nasional.
Bisa dibayangkan, ketika beberapa negara pengimpor minyak di Asia Pasifik, seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Taiwan, yang sangat menggantungkan suplai minyak Timur Tengah, berlomba untuk menaikkan cadangan strategisnya dari semula sekitar 100 hari kini meningkat sampai lebih dari 200 hari konsumsi. Sementara Indonesia, hanya mampu mempertahankan cadangan BBM penyangga dalam kisaran 20 hari.
Sehingga bicara persoalan kilang, seharusnya Indonesia sudah mulai berubah paradigmanya. Dari persoalan untung-rugi, pemberian insentif atau disinsentif kepada hal yang lebih substantif, yakni menjaga ketahanan energi nasional. Memang ada persoalan margin keuntungan yang diprediksi hanya memiliki IRR (internal rate of return) sebesar 9% dengan biaya sekitar 90 Triliun untuk kapasitas kilang sebesar 300.000 bph. Atau sedikit di atas suku bunga kredit yang bernilai 7,5%-8%, sehingga masa investasi baru kembali sekitar 10-15 tahun.
Oleh karena itu, penting “belajar” usaha pembangunan Kilang yang dilakukan Saudi Aramco yang menggandeng BUMN China. Skema patungan yang dikembangkan kedua perusahaan BUMN ini adalah mampu mengembangkan proyek patungan yang saling membiayai antara Saudi Aramco (63 persen) dan BUMN Migas China Sinopec (37 persen). Sehingga pemerintah (negara) dalam hal ini, masih memiliki kedaulatan untuk turut memberikan pengamanan pada bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Ketertarikan China di bisnis pembangunan Kilang ini, lantaran Saudi Aramco berani menjamin IRR 15 persen dan MP (Margin Pengilangan) netto sebesar US$ 5 per barel. Jaminan itu adalah dalam bentuk rabat harga minyak mentah antara US$ 4 – 8 per barel. Hal ini bisa terwujud karena adanya pertemuan antara keekonomian dan kepentingan jaminan pasokan BBM. Termasuk andil negara (pemerintah) dalam kerangka mendukung kepentingan nasionalnya.
Yang menarik dari sini Marwan Batubara dari IRESS
Menulis bahwa Indonesia berada pada posisi ke-71 dari 125 buruk berdasarkan trilemma energi yang meliputi aspek ketahanan, keadilan dan lingkungan (WEC, 2018).
Dalam aspek ketahanan, kita tergantung pada minyak, gas dan BBM impor, serta situasi geopolitik. Dari sisi keadilan, sistem subsidi melalui barang membuat subsidi sekitar 65%-an tidak tepat sasaran. Dari sisi lingkungan, lebih dari 80% energi yang kita gunakan adalah energi fosil yang tidak ramah lingkungan. Sehingga secara keseluruhan keterlambatan di atas akan membuat ketahanan energi akan tetap buruk. Sementara Jadi, jika kita tidak mampu membangun kilang selama bertahun-tahun atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing, tampaknya itu disebabkan oleh sebagian dari kita sendiri. Kita di sini dapat berarti: oknum-oknum yang pragmatis, oknum-oknum yang siap “bekerja sama” dengan asing dan oknum-oknum pengkhianat, yang rela menyiapkan kepalanya untuk diinjak dan negaranya terus dijajah. Anda termasuk golongan yang mana? Buktikan kalau anda memang benar-benar Pancasila dan anda NKRI dalam kata dan tindakan, bukan sekedar dalam slogan yang marak dalam beberapa tahun terakhir! Laman http://migasnesia.com/2018/12/13/pembangunan-kilang-nasional-mari-lawan-mafia/migasnesia.com
Kebutuhan Migas dari Impor
Selama ini konsumsi BBM terus mengalami peningkatan seiring pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sayang, hal itu tidak diimbangi dengan pembangunan kilang. Pertamina sebagai BUMN penyedia sumber energi utama di Indonesia, lebih memilih cara lain: impor minyak dengan cadangan aman nasional hanya berkisar 18 hari. Padahal bila ada kilang, stok minyak nasional bisa jauh lebih aman.
Dulu Dirut PT Pertamina (Persero), Dwi Soetjipto (Kini Kepala SKK Migas), pernah mengatakan setiap harinya Pertamina harus menyediakan uang sebanyak 400 – 500 juta dollar untuk membeli minyak mentah dan BBM dari luar negeri. “Rata-rata sehari membutuhkan US$ 400-500 juta atau sekitar Rp 6,5 triliun, itu untuk impor BBM dan minyak mentah sekitar 750.000 barel per hari” kata Dwi, di Jakarta, Selasa, 16 Juni 2015.
Angka itu terbilang fantastis dan tentu membuka mata kita bagaimana begitu mahalnya energi yang setiap harinya kita gunakan. Kebijakan pembelian minyak mentah dan BBM dari luar negeri ini dikarenakan masih belum mumpuninya kilang minyak di tanah air. Saat ini kilang minyak milik Indonesia hanya bisa memproduksi dan menampung sekitar 850 ribu barel per hari, sedangkan kebutuhan dalam negeri akan BBM mencapai 1,6 juta barel per hari.
Untuk itu, Pertamina menargetkan pembangunan tiga kilang baru untuk meningkatkan produksi minyak perusahaan pelat merah yang baru mencapai 800.000 barel per hari pada penghujung tahun ini. Selain membangun tiga kilang baru, Pertamina juga melakukan upgrading lima kilang minyak untuk meningkatkan pasokan bahan bakar selama lima tahun ke depan. Peningkatan produksi lima kilang itu ditargetkan mampu menggenjot lifting minyak hingga 1,6 juta barel per hari.
Dwi mengungkapkan tahap perdana up grading dilakukan di kilang Cilacap, Jawa Tengah yang ditargetkan tuntas Agustus tahun ini. “Setelahnya, Oktober kami mulai di Balik Papan. Seluruh up grade ini akan diselesaikan dalam 5 tahun ke depan,” ujar Dwi.
Selain itu, Pertamina melalui anak perusahaannya yaitu PT Pertamina EP terus melakukan pencarian sumber minyak dan gas bumi di beberapa wilayah di Indonesia guna menjamin ketersediaan energi nasional. Kegiatan pencarian sumber migas tersebut dilakukan mulai dari Aceh hingga Papua.
Dwi mengatakan bahwa melalui kegiatan eksplorasi, Pertamina EP merencanakan kegiatan survey seismic sepanjang 1167 km. Eksplorasi tersebut terdiri dari wilayah Area Sumatera Utara untuk survey Garcinia dan Seremban, Area Sumatera Selatan untuk survey Karbela dan Selingsing, Area Jawa Barat untuk survey Akasia Besar, Area Jawa Timur untuk survey Lumajang, Area Kalimantan untuk survey Tanjung dan Bunyu, serta di Area Papua untuk survey Kupalanda.
Selain itu, Pertamina EP juga menargetkan pemboran eksplorasi sebanyak 9 sumur yang terdiri dari 5 sumur wildcat yang merupakan sumur yang dibor pertama kali untuk menentukan keterdapatan minyak dan gas pada lokasi yang masih baru, dan 4 sumur deliniasi yang bertujuan untuk mencari batas-batas penyebaran migas pada lapisan penghasilnya.
Dari kegiatan eksplorasi tersebut diharapkan dapat mencapai target penemuan cadangan sampai dengan 90 Juta Barel Minyak Ekuivalen (MMBOE) selama tahun 2015, yang terdiri dari minyak sebesar 22 Juta Barel Minyak Mentah (MMBO) dan gas bumi sebesar 390 Milyar Standar Kaki Kubik (BSCF).
Selanjutnya Dwi mengatakan bahwa meskipun harga minyak mentah dunia tengah mengalami pergerakan harga yang cukup fluktuatif dan harganya saat ini jauh lebih rendah dari periode tahun 2013 – 2014, namun Pertamina terus berjuang menunjukkan komitmen terbaik untuk bangsa Indonesia.
Hal itu dilakukan demi menjaga ketahanan energi nasional, dimana nafasnya ada di penemuan cadangan dan apabila tidak dilakukan eksplorasi maka ketahanan energi bisa terganggu. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh Pertamina EP ini sangat dibutuhkan mengingat sumur-sumur migas yang ada di Indonesia pada saat ini sudah berumur tua sehingga cadangannya semakin menipis.
Sementara itu kegiatan sismic yang dilakukan di Bunyu pada tahun 2015 ini adalah kegiatan seismic yang dilakukan untuk kelima kalinya dengan target panjang lintasan sepanjang kurang lebih 209 KM yang akan melintas di hampir seluruh area Bunyu. Kegiatan seismic yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang semakin berkembang, untuk memperoleh data cadangan sumber migas yang semakin akurat.
Sementara itu, berdasarkan data paparan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, menjelaskan bahwa selisih antara produksi dengan konsumsi makin melebar. “Gap produksi-konsumsi yang makin melebar ini terjadi setelah Indonesia menjadi net importer (negara importir) minyak sejak 2004,” kata Amien yang kini sudah diganti Dwi.
Indonesia sejauh ini tercatat sebagai pengimpor minyak terbesar ke dua di dunia, sementara produksi minyak makin anjlok. Hal ini membuktikan Indonesia bukan negara produsen minyak, dan tidak boleh bergantung lagi pada komoditas ini.
Pada periode tahun 1975-1995 produksi minyak Indonesia masih di atas 1 juta barel, bahkan pada 1980-an dan 1991-an produksi minyak Indonesia hampir mendekati 2 juta barel. Sementara konsumsi BBM dalam negeri pada 1975-1985 di bawah 500.000 barel per hari. Namun seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat hingga pada 2004 produksi minyak tidak mencukupi untuk menutupi konsumsi dalam negeri.
Mulai periode 2004 konsumsi BBM dalam negeri sudah berada di level 1 juta barel per hari, sementara produksinya terus turun. Tahun ini saja konsumsi BBM dalam negeri sudah di atas 1,5 juta barel per hari, sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari. “Pemerintah perlu upaya nyata dan serius untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Harus ada konservasi, efisiensi hingga diversifikasi bahan bakar,” kata Amien.
Sementara itu terkait peningkatan lifting minyak, pihaknya akan terus mengecek semua perizinan yang menghambat eksplorasi migas di Indonesia.
“Saya observasi izin-izin dari pusat sampai kabupaten kota. Lalu, pembebasan tanah di pelosok-pelosok, itu terkait dengan instansi lain. Jadi dibutuhkan koordinasi untuk itu. Harapannya, produksi migas bisa sampai titik optimal. Yang menjadi prioritas saya adalah industri hulu migas yang perlu pembenahan dalam sistem dan prosesnya,” ujar Amien.
Masalah Infrastruktur hingga Regulasi
Satu faktor penting yang turut berkontribusi menjadi penyebab melempemnya ketahanan dan kedaulatan energi kita ialah masih terbatasnya infrastruktur. “Saat ini tantangan terbesar sektor energi nasional ada tertinggalnya kondisi infrastruktur energi,” ujar Maxensius Tri Sambodo, peneliti Pusat Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Maxensius mencontohkan kilang minyak Balongan milik PT Pertamina saat ini telah berumur 20 tahun lebih, dibangun pada tahun 1994. Kilang tersebut harus diperbaharui (upgrade) atau membangun kilang baru. Indonesia juga belum mampu membangun infrastruktur penyulingan minyak dengan tingkat oktan semakin komplek. Diakui Maxensius, pembangunan infrastruktur minyak perlu investasi yang tidak sedikit. “Infrastruktur energi ini butuh investasi banyak. Indonesia belum mampu membangun penyulingan minyak dengan oktan semakin komplek. Saya baru sadar kalau Kilang Balongan itu sudah 20 tahun lebih,” tukas Maxensius.
Selain masalah infrastruktur, kemandirian dan ketahanan energi nasional juga terkendala harga. Selain itu komitmen semua stakeholder terkait juga masih banyak diragukan oleh berbagai kalangan dan masyarakat. “Tantangan lain kemandirian dan ketahanan energi nasional adalah koordinasi. Ini lah yang perlu dijawab oleh semua pihak terkait di Tanah Air,” pungkas Max.
Persoalan lain yang tak kalah pelik adalah regulasi. Pakar Energy Security Dirgo Purbo melihat ada persoalan mendasar terkait UU Migas yang perlu diamandemen. Dia ini menilai, keberadaan SKK Migas dan BPH Migas, dilihat sebagai bagian dari skema asing untuk memarginalisasi peran atau penguasaan migas Indonesia dari hulu hingga hilir.
“Coba bandingkan dengan UU Pertamina No 8/1971, dimana Pertamina menguasai bisnis strategis itu dari hulu hingga hilir, sementara sekarang kondisinya di-un-bundling. Kalau mau fair, harusnya bukan hanya SKK Migas yang dibubarkan tetapi BPH Migas juga yang mengatur tataniaga minyak di sektor hilir,” kata Dirgo.
Menurut Dirgo, dualisme kekuatan politik antara pemerintah Jokowi-JK dengan Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen akan diuji keberpihakannya melalui amandemen undang-undang (UU) minyak dan gas bumi nomor 22 tahun 2001. “Kedua kekuatan itu kan mengklaim sebagai yang berpihak kepada kepentingan rakyat,” katanya.
Dirgo menambahkan, siapa yang menolak melakukan amandemen terhadap undang-undang migas tersebut berarti kelompok yang ingin mempertahankan Indonesia sebagai Negara importer minyak.
Oleh karena itu, jelas Dirgo, Dia mendukung upaya DPR yang akan mengamandemen 122 undang-undang yang dinilai pro asing. “Amandemen itu dibutuhkan demi kepentingan nasional. Ini semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada sumber daya alam kita dan Indonesia agar tidak terus menjadi bangsa pengimpor,” tegasnya.
Dilain pihak, Bank Indonesia (BI) berpandangan bahwa kedaulatan energi menjadi satu prasyarat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Pasalnya, ketersediaan sumber-sumber energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan gas sangat dibutuhkan bagi perkembangan sektor industri yang memiliki peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja dan penguatan daya saing ekspor Indonesia.
Indonesia Belum Berdaulat Energi
Sementara itu, pemerhati kebijakan energi nasional dari CERI, Yusri Usman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan energi adalah, bahwa kita sudah tidak dijajah lagi. “Artinya kita sudah tidak di jajah lagi oleh pihak asing/ pihak lain alias merdeka dari ketergantungan terhadap pihak lain. Dimana kita sudah mandiri dalam merencanakan, menemukan, mengelola dan digunakan semuanya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang efisien untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia,” jelas.
Dia menambahkan, bahwa selama 73 tahun Indonesia merdeka, Indonesia belum berdaulat di bidang energi. Contoh nyata dan kasat mata yang menurutnya terlihat saat ini adalah, masih adanya campur tangan asing dalam pengelolaan Blok Mahakam, yang seharusnya di serahkan kepada Pertamina. “Kebijakan pemerintah dalam memutuskan pengelolaan Blok Mahakam yang masih memberikan saham kepada Total dan Inpex adalah contoh bahwa kita belum berdaulat energi,” tegas Yusri.
Dan melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya potensi energi yang kita miliki, sesungguhnya menurut Yusri, Indonesia terbilang masih memiliki potensi energi yang cukup lumayan. Dengan catatan, jika potensi tersebut direncanakan dengan benar dan konsekuen penggunaannya untuk ketahanan energi nasional. “Kita walaupun terlambat, saatnya kini berhemat dan mendorong keras pemanfaatan energi terbarukan. Diversifikan energi adalah keniscayaan,” ujar Yusri.
Menurutnya, sejauh ini langkah pemerintah guna menjadi negara yang berdaulat energi belum seratus persen menuju kedaulatan energi. Dimana hal tersebut menurutnya lebih disebabakan karena adanya faktor ketergantungan terhadap asing di tambah lagi dengan faktor kekuatan politik yang ikut membuat ricuh untuk tercapainya kedaulatan energi nasional. “Sepanjanga kegiatan operasional partai politik belum di akomodir dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka tentu akan mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang kedaulatan energi. Sehingga rawan akan intervensi politik,” tegasnya.
Yusri menambahkan, sudah seharusnya semua pihak sadar dan penuh tanggungjawab, bahwa energi adalah salah satu modal dasar kemandirian suatu bangsa yang bermartabat dalam melangsungkan kehidupannya. “Kita juga harus sama-sama memikirkan anak cucu kita,” tandasnya.
Rusaknya Tata Kelola dan MENAGIH JANJI KEDAULATAN ENERGI
Empat tahun sudah lewat Pemerintahan Jokowi-JK memimpin negeri, tapi tanda-tanda akan membawa negara kita pada satu situasi yang kita sebut dengan kedaulatan energi masih jauh panggang daripada api. Kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait energi belum signifikan akan akan membawa kita pada arah jalan menuju kedaulatan energi yang sesungguhnya.
- Masih nihilnya konsep nyata dari pemerintah terhadap arah energi kita ke depan seperti apa, menjadi satu alasan utama kenapa kita masih berkutat pada perdebatan tentang kedaulatan energi yang seperti tidak ada ujungnya, ditambah lagi dengan konsolidasi internal di kementrian yang tidak kunjung selesai hingga 8 bulan pemerintahan berjalan. Pengangkatan pejabat yang sangat lambat juga berdampak pada tidak terarahnya kebijakan publik khususnya pada kebijakan energi.
Kebijakan di sektor energi ini melibatkan beberapa kementerian yang harus saling bersinergi terutama Kementrian Kordinator Perekenomian, Menteri ESDM (dua kali ganti Menteri), Mentri BUMN. Di kementrian ini kebijakan terkait masa depan energi diletakkan, namun apa daya, mentri-mentri yang sekarang duduk di pos mentri ini adalah mentri – mentri yang tidak punya konsep arah kebijakan kedaulatan energi, tidak pro rakyat/negara dan tidak memahami apa yang disebut Trisakti Bung Karno yang didengungkan oleh Presiden Jokowi sejak mulai kampanye pilpres tahun lalu. Apakah mereka tidak memahami tentang konsep Kedaulatan Energi atau memang mereka lebih tersandera kepentingan pribadi dan asing?
Ini pertanyaan yang sudah terjawab dari kebijakan-kebijakan yang timbul. Coba kita lihat, setiap bulan kementrian ini hanya sibuk dengan angka-angka impor BBM dan naik turunnya harga BBM, hingga tidak punya waktu merumuskan kebijakan bagaimana supaya kita bisa berdaulat dan zero impor BBM, dengan mendaya gunakan sumber daya alam nasional yang kita miliki.
Kementrian terkait ini malah melakukan kebijakan yang meliberalisasi sektor migas kita, harga BBM kita diserahkan kepada mekanisme pasar yang tentu ini akan melemahkan kita dan bukan memperkuat arah kebijakan menuju kedaulatan energi dan ketahanan energi. Menuju kedaulatan energi dan ketahanan energi tidak boleh menyerahkan mekanisme yang ada pada kebijakan pasar, karena untuk berdaulat dan memiliki ketahanan , kita harus punya mekanisme sendiri yang kita tentukan dan kita atur serta kita kontrol sendiri. Ini sangat penting untuk dicermati dan dirumuskan kebijakannya yang responsif dan antisipatif dan bukan kebijakan reaktif yang muncul hanya karena mereaksi aksi pasar yang timbul atau melakukan reaksi akibat isu yang timbul. Kebijakan reaktif ini membuat kita tidak mampu berjalan didepan memimpin, tapi hanya seperti pemadam kebakaran yang sibuk memadamkan api, dan setelah padam karena kelelahan tertidur menunggu isyarat kebakaran lain muncul kembali.
Pertamina sebagai BUMN terdepan disektor ini juga terlihat gamang dan tidak menempatkan diri sebagai perusahaan yang mampu memimpin. Coba kita lihat Pertamina begitu disibukkan dengan pengadaan BBM dan ribut setiap bulan dengan harga BBM, sampai-sampai pemerintah melihat Pertamina tidak mampu mengelola Blok Mahakam karena sudah terlalu banyak pekerjaan, terlalu ruwet dan sudah over kapasitas kemampuan, akhirnya pemerintah harus memaksa pertamina menyerahkan 30% saham blok Mahakam kepada operator lama. Tentu ini sebuah kebijakan yang tidak sejalan dengan konsep kedaulatan energi maupun ketahanan energi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa hingga 8 bulan pemerintahan Jokowi JK, belum bisa merumuskan peta jalan sektor energi menuju kedaulatan energi dan ketahanan energi, yang cakupannya sangat besar dan luas meliputi sektor migas, tambang dan listrik. Pertanyaannya mengapa pemerintah hingga saat ini masih belum mampu merumuskan peta jalan menuju kedaulatan energi dan ketahanan energi? Ataukah memang pemerintah tidak serius mewujudkan kedaulatan energi dan menjadikan kata trisakti, kedaulatan dan ketahanan sebagai retorika kata-kata saja? Pemerintah harus menjawab pertanyaan ini dengan bukti nyata kebijakan dan kinerja nyata.
- RPJM yang dibuat oleh pemerintah, terkait kebijakan energi juga terlihat tidak serius untuk mewujudkan kedaulatan energi. Ketidak seriusan itu terlihat dari ketidak seriusan pemerintah dalam membangun infrastruktur energi, baik disektor migas, tambang maupun listrik. Infrastruktur ini sangat penting sebagai syarat menuju kedaulatan dan ketahanan energi, tanpa infrastruktur yang kuat dibidang energi, percuma bicara kedaulatan dan ketahanan energi karena itu hanya akan menjadi sebatas retorika dan pemanis kebijakan yang tidak akan terwuju. Di sektor migas contohnya, pembangunan infrastruktur minyak khususnya storage dan refinery tidak masuk menjadi program prioritas, padahal program ini harusnya program jangka pendek yang harus segera direalisasikan. Pemerintah jangan hanya melihat untung rugi dari pembangunan refinery atau pengolahan minyak, tetapi harus melihat infrastruktur ini penting untuk menjaga kedaulatan dan ketahan nasional. Demikian juga infrastruktur gas, mestinya pemerintah membangun infrastruktur untuk pemamfaatan gas secara besar-besaran khususnya untuk kendaraan bermotor dan konsumsi perumahan serta industri. Sehingga pemamfaatan BBM fosil bisa diturunkan dan ditekan dan tentu akan menekan angka impor BBM. Menekan angka impor BBM artinya menyehatakan perekonomian bangsa dan mengangkat neraca perdagangan nasional yang selama ini sangat didominasi impor khususnya BBM. Tidak kalah pentingnya juga adaalah pembanguna infrastruktur pertambangan, tambang yang menjadi sumber energi masa depan bangsa seperti batu bara dan panas bumi harus ditata dengan baik. Pembangunan smelter pengolahan hasil tambang juga menjadi sangat penting diambil alih oleh negara untuk meningkatakan pendapatan negara daris ektor tambang.
Di bidang listrik, memang pemerintahan Jokowi sudah punya program untuk membangun 35 GW listrik, yang meski saat ini masih sebatas kebijakan yang belum dibuktikan dengan program jelas. Sulitnya perijinan dibidang ini menjadi salah satu sumber masalah yang harus diselesaikan oleh negara secepatnya, supaya program ini kelak tidak menjadi cerita dongeng pengantar tidur, bahwa kita pernah bermimpi membangun infrastruktur listrik 35 GW. Disektor ini ada beberapa masalah yang menjadi botle neck atau penyumbatan yang berakibat melambatnya program ini hingga jalan ditempat dan lama-lama akan duduk ditempat. Perijinan dan pengadaan lahan menjadi 2 hal yang utama hambatan percepatan bidang ini. Hal-hal inilah yang kami tidak melihat masuk dalam RPJM, artinya apa, RPJM belum mampu menjadi peta jalan menuju kedaulatan energi.
APBN maupun APBNP, jelas-jelas tidak memiliki anggaran yang cukup memadai untuk minimal memberikan gambaran jelas bahwa negara kita sedang bergerak menuju jalan kedaulatan energi dan ketahanan energi. Subsidi BBM yang dihapus dari APBN mestinya dialihkan minimal 30% untuk pembangunan infrastruktur disektor energi dan bukan dialihkan ke sektor lain seluruhnya. Ini bukti bahwa janji kedaulatan belum hendak diwujudkan secara serius.
- Berbicara tentang janji kedaulatan energi yang disampaikan oleh presiden Jokowi saat pilpres 2014, saat ini bila mengacu pada kebijakan terkini dari pemerintah, mustahil dalam periode pemerintahan Jokowi kita akan mampu wujudkan kedaulatan energi atau minimal berjalan di jalan yang benar menuju tujuan kedaulatan energi dan ketahanan energi. Bagaimana mungkin kita akan bisa berdaulat dibidang energi jika kebijakan – kebijakan pemerintah tidak berpihak pada kedaulatan energi?
Kedaulatan energi tidak jatuh dari langit, atau tidak muncul tiba-tiba, tetapi kedaulatan energi hanya bisa dicapai dengan konsep jelas, hanya bisa dicapai dengan program yang jelas, terstruktur dengan langkah-langkah kebijakan yang kompeherensif dan didukung dengan anggaran yang memadai dari pemerintah. Salah satu contoh, pemerintah lebih gencar mebangun jalan tol daripada membangun angkutan massal yang baik serta membangun infrastruktur energi. Artinya apa? Kebijakan yang dilakukan pemerintah sangat jelas tidak menuju kedaulatan energi. Jika bicara ingin mencapai kedaulatan energi, maka seharusnya pembangunan jalan tol harus menjadi prioritas ke 3 setelah prioritas pertama membangun angkutan massal yang baik dan cepat serta membangun infrastruktur bidang energi. Anggaran negara ratusan trilliun untuk membangun jalan tol, sangat berbanding terbalik dengan anggaran untuk membangun kedaultan energi seperti mengoptimalkan pemamfaatan energi baru terbarukan dengan membangun sarana – prasarana disektor energi. Konsep negara maritim tidak sejalan lagi dengan pembangunan jalan tol yang lebih kepada bisnis semata. Jadi pemerintah harus serius merevisi kebijakannya kedepan. Harus menyelesaikan masalah bangsa yang benar-benar menjadi prioritas. Pembangunan jalan tol sumatera itu salah satu contoh kebijakan yang tidak perlu-perlu bangat. Disamping karena sudah ada jalan nasional yang menghubungkan ujung sumatera ke ujung sumatera, mestinya untuk pengangkutan barang dari sumatera harus lebih menggunakan pengangkutan kapal laut, tidak lewat darat, sehingga anggaran jalan tol itu bisa dialihkan ke sektor pembangunan energi.
Jadi memang ini tergantung pemimpinnya, kemana arah kebijakannya. Namun jika bicara kedaulatan energi, maka pembangunan jalan tol itu harus dikaji ulang skala prioritasnya. Dan tentu kebijakan-kebijakan disektor energi harus mendapatkan perhatian lebih besar di APBN. Termasuk bagaimana mengkonversi kendaraan bermotor dari BBM ke Gas, kebijakan ini harus diperhatikan lebih serius karena 70% BBM habis dikonsumsi oleh kendaraan bermotor.
- Kecenderungan kebijakan di sektor migas saat ini belum terlihat dengan jelas. Belum ada upaya maksimal dan terkonsep tentang bagaimana harusnya sektor migas kita dikelola mulai dari hulu hingga hilir. Coba kita simak dan perhatikan seluruh kebijakan pemerintah disektor migas, mulai dari pembubaran Petral dan status SKK Migas. Petral memang dibubarkan karena telah menjadi sarang mafia selama ini, tapi apakah pembubaran Petral saat ini bermamfaat? Jawabannya tidak. Kenapa tidak bermamfaat? Karena hingga kini kebijakan pembubaran petral itu tidak ditindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan lanjutan yang mampu memperbaiki sistem dan tata kelola serta tata cara pengadaan BBM kita. Yang bermasalah itu adalah sistem, bukan wadahnya dan bukan produknya yang bermasalah. Itulah yang kenapa sampai saat ini tidak ada perbaikan disektor migas kita, karena tim Reformasi Tata Kelola Niaga Migas yang sempat dibentuk oleh mentri ESDM yang dikomandoi oleh Faisal Basri hanya berkutat pada masalah wadah dan produk tetapi bukan pada sistem yang menyebabkan wadah itu bersamasalah dan produknya juga dicap bususk oleh Faisal Basri. Kedepan supaya pembubaran Petral tidak hanya jadi sebatas basa basi politik, pemerintah perlu segera merumuskan tata niaga dan tata kelola migas kita dengan konsep yang baru dan tidak meneruskan sistem yang lama dengan membubarkan Petral memindahkannya ke ISC, tapi sistem tetap sama. Khusus pada pengadaan migas, presiden harus berani menerbitkan Kepres Khusus Pengadaan BBM dengan pola G to G lewat MOU dan ekesekusinya oleh B to B oleh NOC masing – masing negara. Kita harus punya kepastian pasokan BBM secara berkelanjutan dan tidak tender periodik pendek. Polanya harus dirobah, itu untuk membenahi sektor hilir. Di hulu, pemerintah juga harus segera menentukan status hukum SKK Migas, tidak boleh seperti pola yang sekarang, pilihan ada dua, dilebur ke Pertamina dengan menjadikan Pertamina sebagai holding company atau menjadikan SKK Migas sebagai BUMN khusus. Ini pilihan yang harus segera dieksekusi supaya perbaikan di sektor hulu bisa diperbaiki dengan menata ulang seluruh kontrak karya kita disektor migas.
- Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menuju kedaulatan energi adalah didasari dari konsep. Harus ada langkah – langkah strategis dan taktis uantuk mencapai kedaulatan energi dengan target waktu tertentu. Setelah langkah-langkah strategis dan taktis ditentukan, maka ditindak lanjuti dengan memasukkan program tersebut didalam penganggaran APBN, dilakukan bertahap sesuai langkah – langkah yang diurutkan dalam langkah strategis dan taktis menuju kedaulatan energi. Jika kebijakan masih sporadis, kita tidak usah bicara kedaulatan energi, karena itu hanya akan menjadi omong kosong belaka. Setiap tahun, negara minimal harus menyediakan anggaran sedikit-dikitnya 50T – 100T untuk pembangunan infrastruktur disektor energi diluar pembangunan yang bersumber dari investasi asing. Anggaran itu ditujukan untuk pembangunan energi baru terbarukan, baik itu pada energi listrik maupun bahan bakar. Jika pemerintah melakukan itu, maka baru dapat kita kategorikan pemerintah serius menuju kedaulatan energi, dan sekitar 8 tahun kedepan kita sudah bisa berdaulat dibidang energi. Tidak seperti sekarang, konsep langkah strategis dan taktis tidak punya, anggaranpun sangat minim disektor ini, dengan begitu kita simpulkan kedaulatan energi masih sebatas retorika.
- Kedaulatan energi dan ketahanan energi dapat kita capai antara 8-10 tahun kedepan dengan pembangunan infrastruktur disektor ini dilakukan secara serius, yang juga dibarengi kebijakan-kebijakan lain di hulu industri dan disektor perhubungan. Sinergi dibidang ini diperlukan untuk menuju kedaulatan energi karena pembangunan infrastruktur energi tidak akan sukses jika tidak dibarengi dengan kebijakan dihulu industri sebperti industri otomotif / kendaraan bermotor yang siap menggunakan bahan bakar dari sektor energi baru terbarukan. Jadi harus ada langkah-langkah strategis dan taktis yang dibuat dalam satu konsep yang dengan target capaian dalam waktu tertentu. Kebijakan tanpa time frame yang jelas, maka kebijakan itu akan cenderung setengah hati dan tidak maksimal.
- Berikut ini contoh garis besar langkah-langkah yang harus disusun dalam langkah strategis dan taktis untuk menuju kedaulatan energi sebagai berikut , Program garis depan untuk konversi energi ; Target menurunkan ketergantungan konsumsi pada minyak fosil hingga zero konsumsi ; Perubahan sektor transportasi ke energi generasi baru ; Rencana nasional energi nuklir ; Strategi konperehensif untuk mengamankan sumber energi.
Garis besar tersebut kemudian dapat ditindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan makro sebagai berikut, Membangunan fasilitas pengolahan minyak / refinery ; Menetapkan konversi penggunaan BBM ke konsumsi bahan bakar gas oleh seluruh kendaraan milik pemerintah dari pusat hingga daerah, BUMN, BUMND, TNI POLRI dengan pemasangan konventer kit untuk pengalihan BBM ke BBG ; Memberikan insentif dan kemudahan-kemudahan pada explorasi dan riset energi baru terbarukan ; Mendorong pembangunan pembangkit energi nuklir demi kemanan energi ; Mendorong pemanfaatan bio energi yang bersumber dari tumbuhan seperti Biji jarak, Jerami rapa, Sorgum dll ; Memberikan insentif dan kemudahan-kemudahan investasi pada poduksi bio energy ; Mendorong pertumbuhan penggunaan energi matahari ; Menghentikan produksi mobil murah, dan bila tetap diproduksi adalah untuk dijual dipasar internasional bukan untuk lokal ; Membuat regulasi yang mewajibkan produsen mobil wajib menggunakan converter kit ke BBG untuk bisa dijual dipasar lokal atau fasilitas yang siap menggunakan energi baru serta mobil listrik ; Menghentikan operasi pembangkit listrik berbasis BBM dan menggantinya dengan pembangkit bertenaga Gas atau batu bara ; Membangun pembangkit-pembakit mini hydro di daerah-daerah yang rasio elektrifikasinya masih kecil/rendah dan bahkan belum teraliri listrik ; Membangun infrastruktur untuk penggunaan sepeda/jalur sepeda dan membagikan sepeda gratis kepada seluruh pegawai negeri sipil, TNI POLRI BUMN, BUMND dan wajib sepeda kekantor ; Mendorong penggunaan lampu berbasis LED untuk seluruh kantor pemerintah tanpa terkecuali dan kemudian mendorong pengunaan LED disetiap rumah penduduk dan lampu-lampu outdoor ; Mendorong dan mengutamakan pemamfaatan energi berbasis geothermal atau panas bumi ; Mendorong kemandirian energy nasional ; Merenegosiasi kontrak-kontrak ayang akan berakhir 5 tahun kedepan dengan melibatkan porsi perusahaan lokal, atau meningkatkan bagi hasil bagi negara atau mengambil alih secara total dengan melibatkan BUMN dan perusahaan lokal. Nasionalisasi ; Segera membangun storage untuk menyimpan cadangan minyak hingga mencukupi 100 hari demi keamanan bangsa ; Mendorong pembangunan pembangkit-pembangkit listrik dengan kapasitas besar dengan mengutamakan basis energi lokal;; Wujudkan UU Keberpihakan Nasional ; Moratorium pembangunan jalan tol dan mengalihkan anggarannya untuk infrastruktur energi.
Semua kebijakan ini harus ditindak lanjuti secara sekasama dengan perpres supaya bisa dilakukan secepatnya untuk menuju ketahan energi dan ketahan energi.
- Kontrak karya kita disektor migas saat ini boleh kita katakan tidak berkeadilan terutama pada kontrak-kontrak karya atau PSC yang sudah habis masa kontraknya dan diperpanjang. Pada kontrak yang sudah habis masanya dan diperpanjang mestinya pemerintah lebih serius dalam upaya mengambil alih atau menasionalisasi karena 85% blok migas kita saat ini dikuasai oleh asing, artinya apa kita mesti secara bertahap mengambil alih blok tersebut atau setidak-tidaknya menjadikan kita sebagai pemelik share mayoritas dan menjadi operator. Ini jika tidak dilakukan, tentu wilayah-wilayah kerja tersebut tidak bisa kita miliki dan tetnu akibatnya ada ancaman pada kedaulatan dan ketahan energi kita secara umum. Ada 2 pilihan yang bisa dilakukan, mengambil alih atau meningkatkan share pemilikan kita dan menjadi operator. Tapi pemerintah harusnya lebih memprioritaskan pada pengambil alihan wilayah kerja karena itu akan berdampak besar bagi tujuan kedaulatan energi kita secara maksimal. Dan jika
- Peran mafia disektor energi tidak bisa kita pungkiri meski agak sulit menjawab siapa mafianya, namun jika melihat situasi yang terjadi disektor energi, mustahil carut marut begini jika bukan karena ada intervensi, permainan dan kartelisasi kelompok tertentu yang bermain disektor ini. Sistem yang berjalan sekarang adalah sistem yang diinginkan oleh para mafia, karena dengan sistem yang ada seperti sekarang, mafia bisa mendapatkan nilai lebih dari dari permainan yang mereka ciptakan sehingga dampaknya adalah rakyat yang harus membayar lebih mahal harga BBM yang dijual, rakyat harus membayar listrik yang mahal dan lain lain. Harga mahal itu adalah akibat dari peran mafia yang mengambil untuk besar tanpa memperhatikan nasib rakyat. Indikator utamanya itu, rakyat membayar harga yang mahal diatas rata-rata. Menghilangkan peran mafia disektor ini tidaklah mudah dan juga tidak sesulit yang dibayangkan, namun butuh keberanian untuk bertentangan dengan kehendak mafia yang tidak ingin sistem disektor energi ini diperbaiki. Seperti mafia migas, apakah saat ini habis setelah petral dibubarkan? Jawabannya tentu tidak karena sistem tetap sama dan mafia hanya berpindah dari Petral ke ISC serta mungkin adanya mafia-mafia baru yang dekat dengan kekuasaan. Tanpa merobah sistem, mustahil kita menghilangkan praktek kemafiaan yang ada.
- Saat ini sebetulnya kita tidak sedang masuk dalam praktek nasionalisasi, bagaimana mungkin kita bicara nasionalisasi tanpa konsep dan langkah jelas bagaimana dan apa yang harus dinasionalisasi? Memang dikalangna pemerhati migas ada keinginan besar untuk mengambil alih blok-blok migas yang sudah habis masa kontraknya, dan itu bukan termasuk menasionalisasi, tetpi memang mengambil alih yang menjadi hak dan kepunyaan kita. Karena seyogyanya, setelah kontrak selesai, para KKKS tidak lagi punya hak di blok migas kita karena seluruh biaya investasinya sudah dibayarkan lewat mekanisme cost recovery dan mendapat keuntungan yang sangat besar. Ide pengambil alihan itu memang ide yang sangat baik, seharusnya kita bisa menguasai minimal 50% blok migas kita yang saat ini 85% dikuasai oleh asing. Ini demi kedaulatan dan ketahanan energi. Kita bukan anti asing dan tidak boleh anti asing, tetapi demi kepentingan nasional kita harus lebih berpihak pada negara. Maka pemerintah harus serius dalam mengambil alih blok-blok migas byang akan segera berakhir kontraknya, termasuk pada tambang seperti Freeport yang sekarang masih belum terlihat 51% devistasi itu. Dan memang harus menjadi isu strategis untuk direncanakan langkah strategis dan taktis untuk bisa mengelola energi itu secara secara mandiri.
TIM ENERGY WORLDINDONESIA.
AENDRA MEDITA, HERMANA, USSIE, RAH