Home BUMN Ada Langkah “Sesat” Pemerintah Atas Pajak Nail Down PKP2B

Ada Langkah “Sesat” Pemerintah Atas Pajak Nail Down PKP2B

416
0
Yusri Usman/ist

ENERGYWORLDINDONESIA – Rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlakuan Perpajakan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) khusus untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan skema
nail down atau berlaku dengan nilai tetap selama kontrak berjalan, dinilai dapat merugikan negara.

Arah kebijakan ini sangatlah jelas, langkah pemerintah atas kebijakan ini
sebatas untuk kepentingan segelintir pengusaha batubara pemegang PKP2B yang akan berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Hal ini disampaikan Rofianto Kurniawan, Kepala Pusat Kebijakan Pendapat Negara Badan Kebijakan Fiskal ( BKF ) Kementerian Keuangan (26/12/2018). Bahkan, PP untuk memperkuat langkah tersebut direncanakan segera keluar dalam beberapa hari kedepan, sebelum tutup tahun 2018. Sehingga PP dapat diimplementasikan sejak awal tahun 2019.

Begitu mudah ditebak. Kebijakan pemerintah atas PP ini, dapat dipandang
sebagai sesat pikir alias konyol. Langkah pemerintah dan lobi PKP2B yang seolah menilai apa yang diperoleh PT. Freeport Indonesia (PT.FI), harus juga diperoleh oleh PKP2B adalah hal yang sangat fatal. Mengingat masalah habisnya kontra PKP2B dan pilihan sikap pemerintah, berkaitan dengan pertarungan terhadap ketahanan energi nasional ke depan.

Tentu, selain tujuan pendapatan negara di sektor batubara. Dengan sikap
pemerintah menyetujui pola nail down, sama saja pemerintah melanggar UU Minerba dan bahkan pemerintah menjeratkan kakinya sekadar untuk kepentingan segelintir pengusaha pemilik PKP2B. Semestinya pemerintah justru berpihak untuk kepentingan rakyat dalam memperoleh keamanan ketahanan energi nasional ke depan.

Apakah masalah PT.FI, tidak dapat dijadikan pelajaran pemerintah selama nail down diberlakukan ?

Bahkan, kita tidak salah mengkritisi lebih jauh. Seberapa jauh pemerintah
bersikap dan bertindak untuk memperkuat BUMN , BUMD lewat IUP atau IUPK?

Dalam UU Minerba sangat jelas, bahwa BUMN/BUMD mendapatkan prioritas untuk mendapatkan IUP/IUPK. Dan ini amanah yang harus dilakukan pemerintah. Bukan sebaliknya, pemerintah justru membenturkan dengan perusahaan swasta untuk mendapatkan akses untuk melakukan operasi pertambangan di sektor batubara

Kebijakan energi sangat menentukan arah pembangunan nasional ke depan. Mengingat strategisnya energi kebutuhan rakyat, dan sekaligus kepentingan industri, semestinya pemerintah harus tegas untuk tidak memperpanjang PKP2B.

Justru momen inilah saatnya pengelolaan sumber daya alam, khususnya
batubara sebagai energi harus dikelola pemerintah sendiri (BUMN).

Dengan total produksi dari 8 PKP2B sebesar 200 juta ton, jelas akan dapat mengamankan kebutuhan batubara ke depan. Di tahun 2026 saja, kebutuhan seluruh PLN baru sebatas 160 juta ton. Selain pemerintah akan mendapat potensi keuntungan sebesar USD 2 miliar. Bukan sebatas pemerintah menikmati royalti dan pajak korporasi saja.

Sisi strategis lainnya, pemerintah tidak perlu merengek-rengek untuk
mendapatkan kepastian pasokan dan harga kepada pengusaha batubara.

Dengan mengambil alih PKP2B dan diserahkan ke BUMN, national energy security diperkuat melalui buffer stock energy, bukan sebatas melalui kebijakan DMO Batubara.

Alasan legal lainnya, ke 8 PKP2B generasi 1 sebagai Perjanjian Production Sharing antara BUMN PT BA ( PT Tambang Batubara Bukit Asam) di tahun1993. Lewat Kepres No.75 tahun 1996 dan Kepmentamben No. 680.K
/29/M.PE/1997 pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa ” Semua hak dan kewajiban PTBA dalam PKP2B dialihkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi “.

Sehingga menjadi sangat wajar, dengan berakhirnya kontrak PKP2B untuk selanjutnya dapat diserahkan kembali ke PTBA atau BUMN yang ditunjuk pemerintah.

Dari proses selama ini, tidak salah siapapun menduga bahwa proses
perpanjangan PKP2B (termasuk pola perpajakan nail down) lebih didikte oleh ke 8 pengusaha besar PKP2B generasi 1, sebut saja PT Tanito Harum ( 2019) , PT Arutmin ( 2020) PT Kendilo Coal Indonesia (2021) , PT Kaltim Prima Coal (2021), PTMulti Harapan Utama (2022 ) , PT Adaro Indonesia (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023) dan terakhir Berau Coal ( 2025).

Atas kepentingan nasional menyeluruh, sebaiknya BKF Kemenkeu mengurungkan menerbitkan kebijakan yg berpotensi merugikan negara. Bahkan menjadi kewajiban Komnas HAM , Komisi Obusman dan KPPU untuk terlibat mengoreksi kebijakan yang berpotensi merugikan negara.

Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.