Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Belum lama ini, Aleg di Senayan mulai mewacanakan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan pengawasan terhadap proses divestasi PT Freport Indonesia (PTFI) oleh Pemerintah. Meskipun dituding politis, tetapi publik perlu mendapat gambaran dan pemahaman yang utuh atas simpang siurnya ‘isu divestasi’ melalui wakil rakyat di DPR. Karenanya, pembentukan Pansus oleh DPR wajib didukung publik.
Secara kelembagaan DPR, Panitia Khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR & DPRD (UU MD3), khususnya Pasal 69 ayat (1) disebutkan bahwa DPR mempunyai fungsi: a. legislasi;
b. anggaran; dan c. pengawasan.
Ketiga fungsi DPR berupa fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran dijalankan oleh DPR dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan pasal 70 ayat (3) UU MD3 ditegaskan bahwa Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
UU MD3 adalah hukum materiil untuk mengatur fungsi DPR sebagai lembaga negara. Adapun secara formil, kaidah untuk menjalankan fungsi DPR telah diatur dalam Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Peraturan DPR ini telah diubah dua kali, dan beberapa waktu yang lalu telah disepakati oleh DPR untuk diubah lagi untuk yang ketiga kalinya.
Namun menurut hemat Penulis substansi perubahan Peraturan DPR yang ketiga, tidak akan jauh berbeda dengan Peraturan DPR No. 3 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (PERTATIB DPR), khususnya yang terkait mengatur fungsi dan pelaksanaan, tugas dan pembentukan panitia Khusus (Pansus).
Dalam ketentuan Pasal 22 PERTATIB DPR, disebutkan DPR memiliki Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan Legislasi;
e. Badan Anggaran;
f. Mahkamah Kehormatan Dewan;
g. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen;
h. Badan Urusan Rumah Tangga;
i. panitia khusus; dan
j. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna DPR.
Disebutkan dalam Pasal 96 ayat (2) bahwa Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna DPR. Dengan demikian, secara kewenangan dan prosedur DPR dapat membuat Pansus Divestasi Saham PTFI yang diberi tugas untuk mengawasi proses pembelian 51 % saham PTFI oleh PT. Inalum, dalam jangka waktu yang memungkinkan DPR dapat segera menjelaskan kepada publik tentang gambaran rincian dan agar publik dapat memahami proses dan substansi secara utuh dan menyeluruh.
Adapun berkaitan dengan substansi, apakah urgen Pemerintah mengambil alih 51 % saham PTFI melalui PT Inalum, maka DPR dapat mendalami substansi persoalan sebagai berikut :
PERTAMA, apakah Pemerintah yang membeli saham PTFI melalui PT. Inalum, telah menjadikan Laporan hasil pemeriksaan BPK nomor 6/LHP/XVII/2017 tanggal 21 April 2017, sebagai rujukan untuk menetapkan keputusan dimaksud. Sebab, pada pertemuan antara Pemerintah dengan DPR justru Pemerintah didorong untuk menindaklanjuti hasil audit BPK sebelum mengambil kebijakan difestasi saham PTFI.
Beberapa Temuan BPK yang parut dicermati, seperti : Adanya Potensi Peningkatan Penerimaan Negara dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi/Royalti PTFI selama Periode Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2015 Sebesar USD445.967.326,90. BPK juga menemukan adanya Kelebihan Pembebanan Biaya Concentrate Handling pada PTFI Tahun 2013 s.d 2015 Mengakibatkan Kekurangan Penerimaan Royalti Sebesar USD181,459.93;
Secara hukum, BPK juga menyimpulkan Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan yang Dilakukan PT Kuala Pelabuhan Indonesia pada PTFI Tidak Sesuai dengan Peraturan Perundangan-undangan. Pengawasan dan Pengendalian Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pemasaran Produk Hasil Tambang PTFI juga dipandang Masih Lemah.
Dan paling penting Terdapat Potensi Peningkatan Nilai Tambah Mineral Minimal Sebesar USD135,904,449.35 yang Tertunda Akibat Belum Terlaksananya Pembangunan Fasilitas Pemurnian PTFI. Ini perlu ditanyakan kepada Pemerintah, apakah Freport telah memaksakan kewajibannya.
Ihwal Penciutan Luas dan Status Blok B pada Wilayah Kontrak Karya PTFI Belum Ditetapkan Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku juga perlu diteliti. Apalagi PTFI terbukti telah Menggunakan Kawasan Hutan Lindung Dalam Kegiatan Operasionalnya Seluas Minimal 4.535,93 Ha Tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Hal Ini Bertentangan Dengan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004.
PTFI juga diketahui Melaksanakan Kegiatan Operasional Pertambangan DMLZ (Deep Mill Level Zone) serta Memperpanjang Tanggul Barat dan Timur Tanpa Izin Lingkungan. PTFI Telah Menimbulkan Perubahan Ekosistem Akibat Pembuangan Limbah Operasional Penambangan (Tailing) di Sungai, Hutan, Estuary, dan Telah Mencapai Kawasan Laut;
Ada kewajiban lain PTFI, yakni Terdapat Kelebihan Pencairan Jaminan Reklamasi PTFI Sebesar USD1,434,994.33 Yang Seharusnya Masih Ditempatkan Pada Pemerintah Indonesia, kenapa bisa diambil Freport ? Parahnya, PTFI Belum Menyerahkan Kewajiban Penempatan Jaminan Pasca tambang Kepada Pemerintah Indonesia Untuk Periode 2016 Sebesar USD22,286,839.11 dari Total Kewajiban Periode 2016-2019 Sebesar USD353,759,351.00;
DPR wajib memeriksa dan mengawasi hasil audit BPK ini, karena BPK ditugaskan untuk mengaudit PT Freport Indonesia (PTFI) sebagai bahan due diligent untuk mempertimbangkan masa depan kontrak Karya PTFI. Jika Pemerintah terbukti mengabaikan hasil audit BPK, bisa dipastikan proses divestasi saham Frereport bermasalah.
KEDUA, apakah Pemerintah yang membeli saham PTFI melalui PT. Inalum, telah menerapkan rezim Ijin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) berdasarkan ketentuan UU No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Padahal, hingga 2021 demi hukum PTFI tetap wajib tunduk pada konsesi pengelolaan tambang yang tunduk pada rezim Kontrak Karya (KK). Jika Pemerintah ternyata menerbitkan IUPK kepada PTFI sehubungan pembelian saham ini agar PTFI bisa menambang hingga 2014, maka benarlah apa yang disampaikan oleh Hikmahanto Juwono, Pemerintah telah melakukan ‘Penyelundupan Hukum’.
Seharusnya PTFI tunduk pada rezim Kontrak Karya hingga berakhir pada tahun 2021, baru kemudian Pemerintah mempertimbangkan untuk menerbitkan IUPK kepada PTFI atau mengambil alih tambang untuk dikelola sendiri. Dugaan penulis, PTFI mendapatkan konsesi IUPK dengan dalih tunduk pada ketentuan UU No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, sehingga bisa menambang (baca: menjajah) di Papua hingga tahun 2021.
KETIGA, apakah Pemerintah yang membeli saham PTFI melalui PT. Inalum, telah melakukan kajian potensi keuntungan deviden atas kepemilikan 51% saham PTFI, dibandingkan besaran kewajiban PT Inalum yang mengambil pinjaman dengan menerbitkan Global Bond kepada beberapa Bank Asing.
Hal ini penting, agar tidak terjadi realisasi yang justru merugikan dimana besaran kewajiban karena utang lebih besar ketimbang keuntungan yang diperoleh negara melalui kepemilikan 51% saham PTFI. Jika tidak, khawatir Pemerintah menerapkan falsafah Saudagar Bogor dalam memborong saham PTFI. Artinya, biar tekor asal kesohor. Pengambilan saham PTFI tidak didasarkan kajian mendalam atas potensi keuntungan yang diperoleh negara, melainkan hanya untuk memoles citra Pemerintah.
KEEMPAT, apakah Pemerintah yang membeli saham PTFI melalui PT. Inalum, telah melakukan kajian pertimbangan kedaulatan negara dalam konstelasi politik internasional. Sebab, secara substansi hubungan hukum antara Pemerintah RI dengan PTFI esensinya adalah penjajahan. Bagaimana mungkin negara berdaulat, rela mendapatkan royalti kecil dari perusahaan tambang emas seperti PTFI ini.
Bagaimana mungkin negara yang berdaulat bisa tunduk kepada PTFI hingga audit BPK menemukan kerugian negara yang jika diakumulasi sekitar 185 T. Anehnya, terhadap kecurangan PTFI ini negara bukannya menindak secara hukum justru membeli 51 % saham PTFI dan diduga menyelundupkan IUPK untuk PTFI hingga tahun 2041.
KELIMA, apakah Pemerintah yang membeli saham PTFI melalui PT. Inalum, dilaksanakan secara fair atau ada tindakan curang dengan melakukan penyuapan pejabat negara, partai politik, adakah tindakan pejabat dan penyelenggara yang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang dalam proses pembelian saham PTFI.
Dalam hal ini, DPR bisa mendorong atau menggandeng KPK untuk ikut menyelidiki. Sebab, transaksi super besar yang dilakukan di tahun politik patut diduga dibarengi dengan tindakan yang melanggar hukum baik berupa suap kepada pejabat negara dan partai, konsesi dukungan politik pada capres tertentu, atau pengkondisian kebijakan untuk memuluskan pencapresan.
Penulis kira, lima substansi penting ini bisa menjadi kerangka acuan bagi Pansus Freeport yang dibentuk DPR. Publik perlu dan memiliki hak atas informasi dan kejelasan proses pengambilan saham PTFI oleh Pemerintah. DPR selaku lembaga wakil rakyat, memiliki kewajiban untuk membuka proses difestasi PTFI ini secara terang benderang dan mengabarkannya kepada rakyat. [].