ENERGYWORLDINDONESIA – Pada sore itu, 29 Januari 2019 Simon Fellix Sembiring (SFS) begitu terlihat sumbringah. Ia punya hajatan dimana hari jadinya ke-70 SFS meluncurkan buku yang kedua dengan judul: Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan;Mengungkap Karut-marutnya Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan
Mantan Direktur Jendral Mineral & Batu Bara Departemen ESDM (2003-2008) rupanya gelisah melihat dua fenomena besar di dunia pertambangan. Pertama, impelementasi UU No. 4/2009, atau biasa disebut UU Minerba yang berlangsung karut-marut setelah 10 tahun diundangkan dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan
Kedua, divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang meskipun telah dikuasai 51% oleh Pemerintah RI, namun menyisakan begitu banyak persoalan.
Namun, banyak hal yang belum memenuhi harapan karena sejumlah kendala. Salah satunya adalah upaya pemberian nilai tambah lewat fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter & refinery) yang berlangsung seperti siput berjalan.
Yang lebih memprihatinkan adalah aturan pelaksananya yang karut-marut. Tercatat ada sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) yang saling tumpang tindih, bahkan terlihat bertentangan dengan UU Minerba yang semestinya harus dijabarkan secara konsisten. Sejumlah PP itu adalah PP No. 23/2010, PP No. 24/2012, PP No. 1/2014, PP No. 77/2014, dan PP No. 1/2017.
Contoh yang bertentangan: dalam PP No. 23/2010, Pasal 97 dinyatakan setelah 5 tahun, IUP & IUPK wajib divestasi. Kemudian dalam PP No. 24/2012, Pasal 97 dinyatakan divestasi 51%. Tapi dalam PP No. 77/2014 itu mentah kembali. Pasal 97 ayat (1b): IUP-OP dan IUPK-OP divestasi 40% pada tahun ke-15 produksi. Dan Pasal 97 ayat (1c): underground mining, divestasi 30% pada tahun ke-15 produksi. Baru pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo, lewat PP No. 1/2017, aturan itu dikembalikan lagi menjadi 51%.
“Adanya peraturan yang tumpang tindih dan bertabrakan ini merupakan bukti karut-marutnya implementasi UU Minerba. Sesuatu yang sangat disayangkan,” ujar Simon.
Sebagai mantan Mantan Direktur Jendral Mineral & Batu Bara Departemen ESDM, dia adalah orang yang turut menggodok UU Minerba. “Dalam buku ini, seluruh karut-marut yang lain dijabarkan secara detail.”
Kenyataan ini tentunya sangat memprihatinkan. UU Minerba yang sejatinya bertujuan mulia, yang memberikan jalan baru bagi pengolahan serta pemanfaatan pertambangan nasional demi bangsa dan negara, ternyata pelaksanaannya penuh kontradiksi serta inkonsistensi. Padahal UU Minerba menyuarakan semangat nasionalisme bagi dunia pertambangan Indonesia.
Sementara pelaksanaan UU Minerba belum berjalan konsisten dan terimplementasi dengan baik, dunia pertambangan nasional dikejutkan dengan terjadinya pembelian saham PTFI oleh Pemerintah Indonesia yang diwakili PT Inalum. Untuk membeli saham asing milik Freeport – McMoran Copper & Gold Inc. (FCX) di PTFI, PT Inalum memilih jalan membeli participating interest (PI) milik Rio Tinto di PTFI berdasarkan surat Menteri Pertambangan Energi (MPE), I. B. Sudjana tahun 1996.
Sebagian kalangan bersorak karena merasa Indonesia telah memiliki PTFI setelah berpuluh-puluh tahun kewajiban divestasi saham asing di perusahaan tersebuttidak terlaksana. Namun, di balik itu, muncul sejumlah pertanyaan, termasuk menyangkut posisi Rio Tinto yang tidak ada dalam Kontrak Karya (KK) 1991 antara Pemerintah Indonesia dan PTFI. Publik bertanya-tanya mengapa Pemerintah Indonesia membeli PI Rio Tinto yang baru dieksekusi tahun 2022, sementara KK itu sendiri berakhir tahun 2021.
Di luar itu, sederet pertanyaan lain juga turut menyeruak, dan tampaknya tidak terungkap dalam pemberitaan di media massa. Diantaranya: Apakah PI Rio yang disetujui oleh MPE IB Sudjana tahun 1996 sudah sesuai dengan isi KK Tahun 1991? Apakah PI Rio bisa berlaku melebihi masa KK tahun 2021? Dan apabila itu benar, apakah PI Rio itu mencakup operasi Blok A yang dilanjutkan dengan sistem penambangan bawah tanah sampai tahun 2024? Dan sederet pertanyaan lain yang mengganjal dan membuat publik bingung.
Sebagai orang yang menggagas dan terlibat langsung dalam penyusunan UU Minerba, juga mengetahui duduk perkara PTFI, terlebih dengan posisinya sebagai mantan Dirjen Minerba, Simon merasa terpanggil untuk mencari data serta informasi sekaligus mengupas hal itu dengan alur berpikir yang jernih, analitik, dan kritis.
Dia menuangkan seluruh pemikirannya dalam sebuah buku untuk mengritisi serta mengevaluasi pelaksanaan UU Minerba, juga isu-isu hangat PTFI di Indonesia dengan menunjukkan bagaimana duduk perkara sebenarnya, dan siapa yang sesungguhnya diuntungkan dalam hal proses dan eksekusi divestasisahan FCX di PTFI seperti yang diributkan orang. Pengetahuannya yang mendalam, juga pengalamannya yang luas, membuatnya lugas bercerita apa yang sesungguhnya terjadi, yang luput dari pengetahuan publik. Dan hasil telusurannya atas divestasi PTFI boleh dibilang mengejutkan, yang semuanya dituangkannya dalam buku.
Di luar dua fenomena di atas, hal terakhir yang juga dikupas dalam buku ini adalah perihal perubahan PKP2B dengan IUPK yang sepertinya juga luput dari pengamatan publik. Dalam PKP2B (Khusus Generasi 1), aset Perusahaan menjadi Barang Milik Negara (BMN). Belakangan, beredar sebuah rancangan PP yang isunya menyatakah bahwa IUPK tersebut akan melebihi luas maksimum yang ditetapkan dalam UU Minerba. Kemudian, BMN akan disewakan kepada Pengusaha.
Rancangan kebijakan ini sungguh mengundang tanda tanya besar. Pasalnya, apabila BMN itu dijual kepada pemegang IUPK, maka penerimaan negara akan meningkat. Kemudian, dalam pemberian IUPK itu sendiri, seharusnya Pemerintah RI mempertimbangkan adanya prinsip mendahulukan “ketahanan energi batubara nasional”. Dengan kata lain, sebenarnya ini merupakan kesempatan BUMN untuk mengembangkannya, bukan saja memenuhi kepentingan ketahanan energi nasional, tetapi juga meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Melihat hal ini, maka sangatlah tragis mengingat PLN sendiri “tunggang langgang” mengakuisisi perusahaan-perusahaan IUP batu bara untuk menjamin pasokan kebutuhannya pada masa ke depan. Tentang ironi ini pun dikupas dalam buku.
Alhasil, diluncurkan pada usianya yang menginjak 70 tahun pada Januari 2019, buku ini bukan hanya sebentuk sharing informasi dan pengetahuan kepada publik yang sangat berharga, meluruskan apa yang terjadi di dunia pertambangan nasional, khususnya divestasi PTFI, tapi sesungguhnya buku ini juga mempunyai nilai lebih: tanda bakti kecintaan seorang SFS pada bangsa dan tanah air tercinta, serta pelengkap dan legacy hidup yang bermakna, sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan sebagai seorang anak bangsa.
“Saya hanya bertanya dalam buku ini dan bukan menuduh, jadi jika ada yang akan bantah ayo jawab saja dengan buku lagi,”jelasnya berapi-api di atas panggung yang disaksikan sejumlah kolega dan tokoh tambang nasional. Selamat Pak SFS….!!! |AME/EWINDO