ENERGYWORLD.CO.ID – KOALISI RAKYAT UNTUK KEDAULATAN SUMBER DAYA ALAM (KRKSDA) melaporakan ke Ombusman inilah isinya:
Bahwa dalam 2 minggu terakhir telah terungkap di ruang publik tentang kontroversi fakta keberadaan PI (Participacing Interest) 40% Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran (FCX) dalam komposisi saham PT
Freeport Indonesia (PTFI). PI Rio Tinto tersebut telah dibayar lunas pada 21 Desember 2018 oleh PT Inalum (Holding BUMN Tambang) sebesar USD 3,5 miliar.
Bahwa Fakta mengejutkan di atas terungkap ketika Dr Simon F Sembiring menulis buku “Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport Yang Penuh Jebakan” disertai pembahasan serta analisanya secara mendetail. Buku tersebut telah resmi beredar setelah acara peluncuran dan bedah buku oleh sejumlah pakar pertambangan. Acara tersebut dihadiri oleh Dirjen Minerba Bambang Gatot Arioyono, dan mantan Menteri Purnomo Yusgiantoro, Fredy Numberi, Rohkmin Daruri dan sejumlah praktisi dan pakar pertambangan pada 29 Januari 2019 di Hotel Luwansa Jakarta. PI Rio Tinto dalam struktur saham FCX di PTFI dianggap oleh sebahagian pihak berstatus “ilegal”.
Hal ini didasari oleh surat-menyurat antara Freeport McMoRan dengan Menteri Pertambangan Energi (MPE) No.1047/03/M.SJ/1995 tertanggal 28 Maret 1995, surat nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April
1996, serta surat Penegasan Menteri Keuangan No.S-176/ MK.04/1996 tertanggal 1 April 1996 (lihat copy surat seperti terlampir). Bahkan secara tegas kedua surat menteri tersebut mengatakan PI Rio Tinto di Blok B sebagai pengembangan, bukan Blok A yang sudah dan sedang berproduksi. Kontrak tersebut pun hanya sampai 30 Desember tahun 2021 sesuai KK 1991. Pemberian opsi saham kepada pihak lainnya melewati batas waktu kontrak yang sudah disepakati, yakni hingga tahun 2041, dapat diklasifikasikan maladministrasi dan merupakan sebagai tindakan ilegal serta berpotensi mengandung unsur perbuatan pidana.
Di dalam KK 1991 tercantum jelas data koordinat batas Blok A dengan Blok B merupakan wilayah pertambangan yang berbeda. Oleh sebab itu, valuasi PI Rio yang telah dilakukan oleh konsultan yang telah ditunjuk oleh PT Inalum perlu diuji kebenaran dan akurasinya. Dengan memperhitungkan masa kontrak hingga 2041 telah menyebabkan harga/evaluasi saham/PI Rio Tinto menjadi jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.
Jika ditinjau dari perspektif KK 1991, ternyata surat menyurat antara Menteri Pertambangan dengan FCX mengandung ketidaklaziman dan melanggar Pasal 28 ayat 2 KK. Hal tersebut terungkap dari surat IB Sujana menggunakan kode “M.SJ” dan surat tersebut tidak ternyata tidak ada tembusannya kepada Dirjen Pertambangan Umum.
Surat berkode “M.SJ” adalah surat yang dikeluarkan oleh Sekjen Kementerian Pertambangan dan Energi, bukan surat dari Direktorat Jenderal Pertambangan Umum yang berkode M.DPJ. Seperti disepakati dalam Pasal 28 ayat 2 KK 1991 dikatakan bahwa “setiap pemberitahuan, permintaan, peniadaan, izin, persetujuan, dan pengunguman lain… harus dilakukan tertulis … dst” ditujukan kepada Kementerian Pertambangan dan Energi, U.p Dirjen Pertambangan Umum (sekarang Dirjen Minerba).
Tindak lanjut persetujuan PI Rio Tinto dituangkan dalam “Participation Agreement” (PA) antara PTFI dengan PT Rio Tinto Indonesia ( PTRII ) baru dibuat pada 11 Oktober 1996 dan sudah diamandemen sebanyak 7 kali. Terakhir amandemen terjadi pada 11 Oktober 2016. Akan tetapi PA tersebut tidak pernah disampaikan secara resmi kepada Ditjen Pertambangan Umum. Padahal menurut Pasal 14 ayat 4 KK 1991 telah disepakati dan dinyatakan bahwa “Perusahaan harus menyampaikan kepada Departemen tidak lebih lama dari tanggal 15 November dalam setiap tahun selama jangka waktu persetujuan ini, rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja, kontrak penjualan dan rencana pemasaran untuk tahun berikutnya dengan rincian yang cukup agar departemen dapat meneliti rencana fisik, keuangan dan pemasaran/penjualan tersebut dan menetapkan apakah rencana rencana
tersebut itu sesuai dengan kewajiban Perusahaan menurut persetujuan ini….”.
Mengingat PTFI dan PT Rio Tinto Indonesia adalah badan hukum yang didirikan di Indonesia, seharusnya kedua perusahaan tunduk kepada semua ketentuan UU Perseroan Terbatas.
Oleh sebab itu setiap langkah korporasi yang penting dan strategis seharusnya ditentukan oleh RUPS, sehingga langkah korporasi PTFI yang mendominasi sekitar 81,28 % saham, harus tidak boleh merugikan kepentingan pemilik saham minoritas, yaitu saham milik PT Indocoper Investama dan milik pemerintah Indonesia.
Saham pemerintah Indonesia yang awalnya masing masing 10 % telah terdilusi menjadi 9,36 % , terakhir terdilusi lagi menjadi tinggal 5,6 %.
Anehnya Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan sampai saat ini tidak pernah sekalipun secara resmi menjelaskan detail apa makna dan maksud isi surat IB Sujana dan Marie Muhammad serta sejak
kapan saham Indonesia terdilusi menjadi 5,6%. Sebaliknya, bukanlah kapasitas PT Inalum untuk memberi penjelasan dan menyatakan bahwa PI 40% Rio Tinto dengan FCX di dalam struktur PTFI telah
disetujui oleh 2 Menteri (IB Sujana dan Marie Muhammad) pada April 1996. Inalum terkesan arogan dengan menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempertanyakan surat kedua menteri sebagai orangorang yang tidak paham masalah, padahal kedua surat tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Dugaan sementara PT Inalum tidak ” prudence” alias tidak hati hati dalam melakukan verifikasi data data terkait keberadaan PI Rio Tinto dengan FCX didalam PTFI dan tidak berupaya mempermasalah
perbedaan fakta ke pengadilan arbitrase yang akan digunakan sebagai dasar apakah wajar atau sah PT Inalum membayar PI Rio Tinto senilai USD 3,5 miliar, karena dari fakta yang kami temui terdapat pelanggaran terhadap UU maupun KK 1991.
Proses akuisisi 45,6% PI Rio Tinto dan saham PT Indocopper Investama telah dilunasi oleh PT Inalum pada 21 Desember 2018 berdasarkan penugasan oleh Menteri BUMN pada tanggal 18 Desember
- Tertangkap kesan bahwa pejabat-pejabat terkait yang terlibat proses negosiasi divestasi diduga menyembunyikan sejumlah fakta yang berpotensi merugikan negara. Potensi kerugian ini terkesan
ditutupi dengan “framing” keberhasilan pemerintah menguasai 51,2%” dan memberikan harapan besar
di kemudian hari bahwa Indonesia akan menikmati hasil yang lebih besar dari pada sekarang. Faktanya meskipun sudah menguasai saham 51, 2 % didalam PTFI , posisi penting Komisaris Utama dan
Direktur Utama ternyata ditempati oleh perwakilan dari FCX.
Inalum juga akan menanggung dosa warisan kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah tambang sejak tahun 1972 sampai dengan 2018. Hal ini sesuai dengan hasil audit BPK RI yang telah menemukan potensi kerusakan lingkungan dengan nilai ekosistem yang dikorbankan atas perhitungan jasa ekosistem oleh IPB dan LAPAN sebesar USD 13.592.299.294 atau setara Rp 185 triliun. Selain itu ditemukan juga pelanggaran penggunaan sekitar 4,555 Ha kawasan hutan lindung tanpa izin. Ternyata BPK dengan Kementerian LHK telah gagal memastikan adanya ganti rugi yang harus dibayar oleh PTFI akibat kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Padahal didalam dokumen resmi, termasuk informasi dari dokumen PT Inalum dikatakan bahwa Rio Tinto sejak tahun 2008 sudah didesak untuk keluar dari Freeport karena persoalan kerusakan lingkungan akibat limbah tambang, kaerna Rio Tinto beranggapan tailing PTFPI telah merusak lingkungan dan memicu kekhawatiran investor internasional. Ditahun 2008, Norwegia melarang lembaga dana pensiun Negara untuk menginvestasikan dananya di Rio Tinto karena masalah lingkungan. Secara spesifik Norwegia menuduh Rio Tinto terlibat langsung dalam kerusakan lingkungan akibat tambang Grasberg. Ternyata dana pensiun serupa di Negara Negara Skandanavia dan Eropa juga melarang atau membatasi investasi di Rio Tinto akibat masalah ini. Oleh sebab itu, kerusakan lingkungan yang merupakan fakta yang tak terbantahkan adanya, sehingga berpotensi akan menjadi beban yang akan ditanggung oleh PT Inalum sebesar 51,2% untuk biaya pemulihannya di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal-hal di atas, kami dari Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA memohon Komisi Ombudsman RI untuk dapat melakukan investigasi terhadap semua dokumen dan proses yang terjadi dalam kesepakatan divestasi saham PTFI, termasuk terhadap pejabat terkait yang terlibat dalam negosiasi. Dengan demikian, publik akan terhindar dari informasi yang simpang siur tentang divestasi saham tersebut, dan diharapkan negara pun dapat terhindar dari potensi kerugian finansial yang sangat besar. Hormat kami: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA ( KRKSDA)
1.Dr. Marwan Batubara, (IRESS)
2.Dr. Ahmad Redy SH (KJI)
3.Ir Budi Santoso, IPM, CPI, MAuss IMM (CIRUSS).
4.Bisman Bakhtiar SH, MH, MM (PUSHEP)
5.Yusri Usman (CERI).
#ENERGYWORLDINDONESIA