ENERGYWORLD.CO.ID – Langkah Sofyan Basir (SB) mempraperadilankan KPK bisa jadi adalah langkah blunder yang dia lakukan untuk melepaskan status tersangka dalam kasus suap PLTU Riau 1.
“SB terkesan ingin menunjukan dirinya ke publik adalah sosok yang bersih dari praktek suap dalam kapasitas jabatannya. Meskipun langkah praperadilan itu sesuai hukum acara dalam KUHP,” demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman kepada ENERGYWORLD.CO.ID, Senin (13/5/219).
Menurut Yusri, KPK tentu tak sembarangan dalam menetapkan status SB sebagai tersangka. Langkah KPK mesti berdasarkan alat bukti lebih dari cukup, karena resikonya besar bagi KPK di mata publik kalau tidak hati-hati dalam menetapkan status tersangka seseorang termasuk dalam kasus SB.
“Proyek pembangkit listrik 35.000 MW itu memang banyak melibatkan pengusaha kakap yang punya akses politik, baik ke istana, elit partai politik partai berkuasa, maupun akses ke lembaga legislatif serta yudikatif,” lanjutnya.
Mereka pun, jelas Yusri, rata-rata punya akses dana yang tak terbatas, sehingga bagi mereka sangat mudah membeli kekuasaan itu. Kesan itu ibarat kentut, baunya ada, tapi susah dibuktikan.
“Sehingga dengan operasi tangkap tangan (OTT)-lah KPK sampai saat ini terbukti bisa membongkar jaringan ini semua secara tuntas. Bisa jadi alat bukti yang dimiliki KPK lebih dari dua seperti dipersyaratkan oleh KUHAP. Ataupun KPK bisa saja akan membuka kasus lain yang diduga melibatkan SB,” ungkap Yusri.
Contohnya, sambung Yusri, kasus sewa pembangkit listrik MVPP dari perusahaan Turki yang diduga telah merugikan negara berdasarkan temuan BPK.
“Jadi, sebaiknya SB bisa jadikan kasus ini sebagai upaya tobatan nasuha demi kepentingan nasional, agar proyek-proyek strategis nasional jauh dari bancakan mafia proyek,” tegas pakar energi ini tegas.
Yursri mengutarakan saat ini dibutuhkan sikap kepahlawanan SB membongkar siapa-siapa saja yang terlibat dan siapa-siapa saja elit politik yang sering menodong proyek pembangkit di PLN.
“Kalau hal itu dilakukan, tentu publik memuji langkah dia, dan akan memaafkan dia sebagai korban kerusakan sistem politik di pemerintahan ini. Namun pertanyaannya, jalan mana yang akan dipilih oleh SB? Tentu akan kita lihat proses yang akan terjadi kedepannya,” katanya.
Kasus MVPP
Dilansir radarbogor.id, 6 Mei 2019, bola panas dugaan korupsi pengadaan Marine Vessel Power Plant (tongkang pembangkit listrik terapung / MVPP) PT PLN kini merambat ke Kejaksaan Agung.
Korps Adhyaksa dikejutkan dengan nama Jampidsus Adi Toegarisman dalam pusaran korupsi yang diduga melibatkan korporasi BUMN tersebut dan Radjacorp Group.
Dugaan itu bermula saat Adi menjabat Jamintel dan Ketua Penggerak dan Pengarah Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4).
Kala itu, Adi mengklaim PLN berhemat Rp1,5 triliun per tahun lewat pengadaan MVPP tersebut.
Sayangnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menyebut negara kehilangan potensi menghemat anggaran karena harga perkiraan sendiri (HPS) atas tender proyek MVPP “tidak wajar”.
Penyusunan HPS atas pengadaan 5 unit leasing MVPP tersebut tidak menggunakan asumsi finansial yang tepat, sehingga harga kontrak pengadaan 5 unit LMVPP lebih tinggi dibandingkan dengan HPS terkoreksi.
BPK mencatat, nilai HPS untuk komponen mesin kapal dan biaya operasional maintenance lebih tinggi Rp 1,01 triliun. Seharusnya, nilai HPS seharusnya hanya Rp6,8 triliun, bukan Rp 7,8 triliun seperti yang disahkan PLN.
Diberitakan kumparan.com, 13 Mei 2019, Anggota II BPK RI Agus Joko Pramono mengatakan, saat ini BPK RI telah membentuk unit investigasi untuk menelaah kerugian negara akibat penggunaan kapal pembangkit listrik asal Turki yang sudah digunakan sejak 2017 itu.
“Unit investigasi sedang menelaah, mendalami, dan itu ada tetapi belum memutuskan angka (kerugian negara), belum mutuskan jumlah, dan belum menentukan bentuk tindak pidana atau bentuk permasalahannya,” kata Pramono di Kantor BPK Perwakilan Maluku, Sabtu (12/5).
Penggunaan MVPP yang disewa dari perusahaan Karpowership Turki, menurutnya, tidak efisien karena dioperasikan menggunakan bahan bakar minyak jenis Heavy Fuel Oil atau solar. Untuk mengungkap kerugian negara akibat penggunaan MVPP, pihaknya akan membangun kerjasama dengan aparat penegak hukum.
“Setelah hasil kita dapat, kita akan segara laporkan,” kata Pramono.
Selain di Ambon, Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menyewa MVPP untuk menambah pasokan listrik di sejumlah daerah yakni, Belawan, Mataram, Lombok, Kupang, dan Amurang.
BPK juga menemukan potensi inefisiensi sebesar Rp 1,61 triliun jika PLN tidak menggunakan gas untuk mobile power plan (MPP) di 5 daerah tersebut dalam 2 tahun ke depan.
Sebelumnya pada 15 Maret 2017, MVPP tiba di dermaga kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Kapal pembangkit listrik tersebut berkapasitas 120 MW dan dikontrak PLN untuk menambah pasokan listrik di Kota Ambon.
Persahabatan duo Adi
Menanggapi perkara tersebut, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk Adi Toegarisman.
“Supaya fakta BPK tersebut terang benderang, KPK harus panggil dan periksa Jampidsus Adi Toegarisman terkait mengapa TP4 bisa memberikan rekomendasi proyek pengadaan MVPP bisa menghemat keuangan negara. Apa dasarnya,” kata Haris di Jakarta, Senin 6 Mei 2019.
Haris pun mengomentari ‘persahabatan’ Adi Toegarisman dengan Adi Radja, pengusaha yang punya saham di Karpowership Indonesia, perusahaan yang memenangkan tender MVPP PLN tersebut. Adi diduga kerap bermain golf bersama Adi Radja.
“Persahabatan duo Adi ini juga harus dipertanyakan. Kenapa bisa seorang penyidik atau pengawas TP4 bermain golf dengan peserta lelang PLN. Ini yang harus diselidiki KPK,” ujarnya.
Pada kesempatan ini pun Haris meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja TP4 Kejaksaan yang dikhawatirkan justru menjadi tim yang ‘melegalkan’ proyek-proyek titipan kementerian ataupun BUMN.
“Dari dugaan kasus MVPP saja bisa kita tarik benang merahnya jika ada dugaan kejaksaan ‘ikut’ menikmati permainan para mafia proyek pemerintahan di Indonesia, khususnya di PLN,” kata dia.
Tender yang dipaksakan
Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Kelistrikan Indonesia (AKKLINDO), Janto Dearmando mengatakan pengadaan MVPP itu merupakan inisiatif Direktur Utama PLN Sofyan Basyir.
Padahal, kata dia, proyek itu dari awal sudah ditolak di internal PLN karena masih adanya hal-hal teknis pembangkit.
“Pengadaan MVPP dilakukan pada saat proses pengadaan sewa genset untuk mengatasi defisit listrik. Ketika mau tanda tangan kontrak sewa genset, Sofyan langsung membatalkan dan dia menunjuk langsung perusahaan Turki, Kapowership Zeynep Sultan sebagai pemenang lelang pengadaan MVPP,” kata Janto.
Penujukkan Kapowership Zeynep Sultan ini dilakukan usai tim dari PLN yang terdiri dari bagian keuangan dan pengadaan berkunjung ke Turki.
“Saat itu tidak ada orang teknis pembangkit yang diajak. Padahal menurut internal PLN yang ahli pembangkit menyebutkan MVPP tidak cocok dipakai, karena transmisinya tidak nyambung. Perlu modifikasi,” ujarnya.
“Akibatnya muncullah permasalahan koneksi transmisi saat MVPP mulai dioperasikan. Setelah terkoneksi, kapasitasnya tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Jadi pengadaan MVPP ini sebenarnya gagal dan merugikan negara,” kata Janto lagi.
Terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku, dirinya belum bisa memastikan apakah KPK sudah melakukan penyelidikan soal kasus itu atau belum. “Kami belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut,” kata Febri.
Cuma kenal
Sementara itu dikutip dari tirto.id, Adi Toegarisman membantah soal kedekatannya dengan Adi Radja sebagai teman main golf, tapi ia mengaku kenal dengan Adi Radja.
“Enggak ada hubungannya, cuma kenal. Jangan (tanya) pribadi-pribadi. Ada apa sih?” kata Toegarisman kepada reporter Tirto di kantornya pada 2 Mei 2019.
Toegarisman membenarkan TP4 mengawal proyek PLN tersebut. TP4 pernah berkomunikasi dengan Adi Radja, kata dia, tapi dia menegaskan tidak memiliki kedekatan pribadi dengan Adi Radja.
Ia menjelaskan TP4 saat itu mengecek pelaksanaan proyek di lapangan setelah tender proyek berjalan. Hasilnya, menurut TP4, proyek sewa kapal listrik itu menghemat Rp1,5 triliun per tahun.
Hasil itu berbeda dari laporan BPK: nilai proyek per tahun menjadi lebih tinggi Rp521,86 miliar. BPK meminta PLN menegosiasikan ulang nilai proyek kapal listrik dengan PT Karpowership Indonesia. Ia berujung penurunan harga Rp115 miliar per tahun untuk lima lokasi MVPP sesuai amandemen perjanjian pada 18 Agustus 2017. |RNZ/ATA/EWINDO